Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tak Seperti yang Disangka

8 Juli 2015   08:04 Diperbarui: 8 Juli 2015   08:04 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Sejak kelas tiga SD, Sabrina memang diangkat anak oleh Pak Toto.  Sabrina sangat bersyukur.  Tapi Sabrina tak pernah melupakan Nenek Niah yang telah berjasa membesarkannya dan menyekolahkannya hingga kelas tiga SD.

"Kamu tinggal di sini?" tanya Dwi.

"Iya.  Sejak kecil hingga kelas tiga SD," jawab Sabrina.

Sabrina pun bercerita panjang kali lebar sama dengan luas.  Termasuk kondisinya sekarang.  Yang  hanya kadang-kadang saja datangnya.  Jika kangen nenek, Sabrina minta izin kepada orangtua angkatnya untuk menginap di rumah nenek Niah.  Tak selalu.  Tapi setiap ada kesempatan, Sabrina selalu datang melepas rindu dengan neneknya.

"Sebetulnya sudah lama sekali aku ingin mengajak kamu main ke rumahku yang hanya gubuk ini, Dwi.  Tapi aku takut kalau kamu tahu siapa aku terus kamu tak mau lagi menjadi sahabatku.  Nanti kamu terus menjauhiku," kata Sabrina setelah Dwi duduk di kursi yang tak jelas lagi warnanya.

Ada perasaan bersalah pada diri Dwi.  Dwi teringat ibunya.  Pasti sedih.  Akhir-akhir ini Dwi selalu membantahnya.  Tak mau membantunya lagi.  Hanya gara-gara ingin seperti Sabrina.  Ternyata Sabrina bukan seperti dibayangkan Dwi selama ini.  Sabrina juga anak nenek miskin.  Bahkan lebih miskin dari dirinya.  Tapi Sabrina masih tetap menyayangi neneknya meski dia sudah bisa hidup di rumah yang lebih baik di tempat orangtua angkatnya. 

"Ibu, maafkan Dwi," jerit Dwi dalam hati.

Derai-derai mutiara bening tak mungkin dibendung lagi.  Dwi menangis.  Menyesali apa yang telah dilakukan.  Tak mau mensyukuri apa yang didapatnya.  Padahal Dwi lebih baik nasibnya jika dibanding Sabrina.  Di rumah Dwi tak ada bau busuk sampah seperti di gubuk nenek Niah.  Masih ada kamarnya walau kecil.  Rumah nenek Niah tak ada kamar.  Karena hanya 4 x 4 meter.  Lantainya tanah.  Tak ada jendela pula.

Tapi Sabrina masih merindukan neneknya.  Sementara Dwi? 

Dwi ingin secepatnya pulang.  Secepat kilat.  Dwi ingin memeluk ibunya.  Meminta maaf.  Membantunya membuat kue tanpa disuruh.  Seperti dulu lagi. Ya, seperti dulu.

"Maafkan Dwi, Bu," Dwi betul-betul menyesali apa yang dilakukannya selama ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun