"Ah, tidak!" jawab Dwi agak kelabakan.
"Pasti mikirin Rio," tambah Sabrina.
Sabrina memang tahu banyak tentang Dwi. Termasuk impian Dwi menjadi pacar Rio. Anak basket yang juga selalu diantar dengan mobil oleh ibunya., Tapi sayang, Dwi selalu memendam rasa itu. Dan selalu pasrah jika muncul rasa itu. Tak berani mengungkap. Karena merasa dirinya miskin.
"Iiiihhhhh....!" Dwi pun mencubit Sabrina. Tapi yang hendak dicubit pandai berkelit. Lari buru-buru ke kelas. Dwi mengejar Sabrina. Terlalu semangat mengejar, Dwi pun menabrak seseorang.
"Maaf," kata Dwi.
Cowok yang ditabrak Dwi tak marah. Malah tersenyum. Senyum paling manis yang selalu diharapkan Dwi selama dua tahun. Cowok itu ternyata Rio.Â
Rio membungkuk. Membantu Dwi. Mengambilkan buku Dwi yang terlepas dari genggamannya dan tercecer di jalanan.
"Cie...cie," ledek Sabrina.
Mendengar ledekan Sabrina itu, kontan muka Dwi berubah merah. Jelas merah padam. Menahan malu tapi juga senang. Untung saja Rio tetap bertingkah biasa. Bahkan senyumnya itu terus mengembang bagai cakrawala yang begitu luas. Mirip Justin Bieber.  Ah...! Oh...!
"Sakit?" tanya Rio.
Dwi hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Kata-kata tak ada yang bisa meluncur dari mulut Dwi. Walau seluruh sekolah sudah tahu. Bahkan sangat tahu.  Kalau mulut Dwi adalah mulut paling ember. Paling rombeng pula. Tapi begitu ada di hadapan Rio, segalanya seakan tak sama. Mulut Dwi terkunci. Kenapa? Karena jantung Dwi nyaris copot oleh senyum paling manis sedunia itu.