Gusti tergerayap. Entah kenapa, malam terasa sudah begitu larut. Begitu sepi. Begitu sunyi. Begitu senyap. Seakan tak ada suara apa pun. Kecuali suara detak jantung Gusti sendiri. Juga detak jarum jam dinding yang serasa kepayahan. Terdengar begitu keras di tengah senyap malam.
"Hemmmmmm," Gusti mendesah. Resah.Â
Baru kali ini Gusti terbangun malam-malam. Mungkin karena tidur kesorean. Kecapaian di sekolah mengikuti acara Pentas Seni. Dan akibatnya, terbangun sebelum waktunya.
"Hemmmmmm," Gusti mendesah. Mencoba melepas resah.
Memang tidak sama. Sama sekali tidak sama. Beda. Beda banget. Banget sekali. Di rumah lama, sampai larut pun masih sering terdengar suara kendaraan. Juga pedagang makanan. Hampir setiap lima menit. Ada teriakan pedagang. Jadi, kalau malam-malam kelaparan, tinggal buka pintu saja.
Jakarta memang tak pernah sepi. Jakarta memang tak pernah mati. Selalu ramai. Dari pagi hingga pagi lagi.
Malam ini. Di rumah yang baru dua minggu dihuni. Gusti terbangun. Bukan karena suara berisik. Gusti bangun justru karena sepi. Aneh kan? Tapi itulah kenyataannya. Setengah terpejam, Gusti pun berdiri. Berdiri untuk menyalakan lampu. Â
"Mau apa ya?" tanya Gusti pada dirinya sendiri.
Diliriknya jam dinding. Masih seperti kemarin. Melekat di dinding. Namanya juga jam dinding, tak mungkin melekat di plafon. Kalau melekat di plafon berarti namanya harus diganti menjadi jam plafon. Tapi lucu juga ya?
Gusti tersenyum. Tapi jam didinding tak mau membalas senyum Gusti. Cuek.. Cuek sekali. Tak mau sekedar membalas senyum Gusti. Apalagi menyapa. Mungkin jam dinding sedang sibuk menyusun waktu. Biar matahari tetap terbit pada pukul enam. Tidak terlambat atau keduluan.
"Kasihan," kata Gusti saat melihat jarum panjang milik jam dinding yang terseok-seok mendaki angka sebelas. Sementara jarum pendeknya menunjuk dengan angkuh tepat ke angka dua belas. Berarti tepat tengah malam. Masih lama lagi mungkin baru akan terdengar azan Subuh.