"Hemmmm..."
"Syukur Oca bisa langsung tertidur lagi."
Gusti memang baru sekitar dua minggu meninggali rumah barunya. Rumah di pinggiran kota. Bahkan tak lagi masuk wilayah Jakarta, tapi sudah masuk wilayah Bekasi. Sebuah perumahan yang belum terlalu ramai dihuni. Menurut Mama Gusti, perumahan ini memang sudah cukup lama dibangun tapi penghuninya belum penuh. Masih ada beberapa rumah yang dibiarkan kosong. Sehingga beberapa rumah sampai hancur atapnya.
"Sudah ramai kok," kata Mama waktu Gusti menanyakan suasana di rumah baru yang akan ditinggalinya.
Saat pindah, Gusti baru tahu kalau rumah di sebelah kanan rumahnya masih kosong. Bahkan nyaris ambruk karena tak pernah diurus oleh pemiliknya. Rumah yang persis di depan rumahnya juga masih kosong. Tapi menurut berita, sebentar lagi akan dihuni. Maka Gusti pun sempat protes kepada Mamanya.
"Mama bohong!" protes Gusti waktu itu.
"Ya, kan tidak harus seramai di rumah lama yang di tengah kota, Gusti," jawab Mamanya mencoba menjelaskan.
Untung saja sudah pindah. Kalau belum pindah, Gusti pasti akan menolak pindah. Lebih enak tinggal di rumah lama. Di Jakarta. Di tengah kota.
Tapi Gusti juga kasihan dengan Ayahnya. Usaha Ayah Gusti yang semakin maju membutuhkan modal tambahan. Kalau harus meminjam modal ke bank, nanti harus membayar bunga segala. Setelah bermusyawarah, Gusti dan Oca pun menyetujui Ayahnya menjual rumah lama di tengah kota yang lebih besar terus pindah ke rumah di pinggiran kota yang agak lebih kecil. Selisih uangnya untuk tambah modal usaha Ayah.
"Demi masa depanku juga," batin Gusti.
"Sreeeek...sreeekkkkkkk...srekkkkkkk."