Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Teror

7 Juli 2015   10:43 Diperbarui: 7 Juli 2015   10:43 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Gusti tergerayap.  Entah kenapa, malam terasa sudah begitu larut.  Begitu sepi.  Begitu sunyi.  Begitu senyap.  Seakan tak ada suara apa pun.  Kecuali suara detak jantung Gusti sendiri.  Juga detak jarum jam dinding yang serasa kepayahan.  Terdengar begitu keras di tengah senyap malam.

"Hemmmmmm," Gusti mendesah.  Resah. 

Baru kali ini Gusti terbangun malam-malam.  Mungkin karena tidur kesorean.  Kecapaian di sekolah mengikuti acara Pentas Seni.  Dan akibatnya, terbangun sebelum waktunya.

"Hemmmmmm," Gusti mendesah.  Mencoba melepas resah.

Memang tidak sama. Sama sekali tidak sama.  Beda.  Beda banget.  Banget sekali.  Di rumah lama, sampai larut pun masih sering terdengar suara kendaraan.  Juga pedagang makanan.  Hampir setiap lima menit.  Ada teriakan pedagang.  Jadi, kalau malam-malam kelaparan, tinggal buka pintu saja.

Jakarta memang tak pernah sepi.  Jakarta memang tak pernah mati.  Selalu ramai.  Dari pagi hingga pagi lagi.

Malam ini.  Di rumah yang baru dua minggu dihuni.  Gusti terbangun.  Bukan karena suara berisik.  Gusti bangun justru karena sepi.  Aneh kan?  Tapi itulah kenyataannya.  Setengah terpejam, Gusti pun berdiri.  Berdiri untuk menyalakan lampu.  

"Mau apa ya?" tanya Gusti pada dirinya sendiri.

Diliriknya jam dinding.  Masih seperti kemarin.  Melekat di dinding.  Namanya juga jam dinding, tak mungkin melekat di plafon.  Kalau melekat di plafon berarti namanya harus diganti menjadi jam plafon.  Tapi lucu juga ya?

Gusti tersenyum.  Tapi jam didinding tak mau membalas senyum Gusti.  Cuek..  Cuek sekali.  Tak mau sekedar membalas senyum Gusti.  Apalagi menyapa.  Mungkin jam dinding sedang sibuk menyusun waktu.  Biar matahari tetap terbit pada pukul enam.  Tidak terlambat atau keduluan.

"Kasihan," kata Gusti saat melihat jarum panjang milik jam dinding yang terseok-seok mendaki angka sebelas.  Sementara jarum pendeknya menunjuk dengan angkuh tepat ke angka dua belas.  Berarti tepat tengah malam.  Masih lama lagi mungkin baru akan terdengar azan Subuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun