Entah berapa helai kertas bertumpuk di meja belajar, yang besok-besok bisa saja bertambah lagi jumlahnya. Entah berapa pesan yang masuk ke ponsel, yang mirisnya mengantar pesan yang sama, itu dan itu lagi.
Selepas lebaran, menjadi hari-hari yang paling tak menyenangkan bagiku, pada masa inilah musim pengantin dimulai. Dan entah sejak kapan pertanyaan perihal pernikahan menjadi kian melekat padaku di hari lebaran hingga musim pengantin tiba.
Jika para petani di desa takut pada musim kemarau yang menyebabkan kekeringan, dan warga di kota yang takut musim hujan karena dapat  mendatangkan banjir, maka satu musim lagi yang paling aku takuti, musim pengantin.Â
Terkadang aku merasa sebal dengan surat-surat beraneka ukuran, warna, dan rupa itu. Meski beragam, intinya tetap satu, isinya tetap sama; sama-sama mengabarkan sebuah kabar yang kerap kali membuat ibuku kepanasan, ya, pernikahan.
Tak apalah jika pesannya masuk ke ponselku, ibu tidak akan melihatnya, tidak akan mengetahuinya. Tapi, jika siang hari surat itu datang ke rumah, tentu saja ibu yang selalu menerima langsung di tangannya. Lalu menumpukkannya di meja belajar dalam kamarku, dan ia akan sudah bersiap dengan raut wajah tegang, rahangnya mengeras, ekspresinya jelas menuntut sesuatu dariku.
"Bu,"
"Kapan kamu menyusul?"
"Maksud ibu?"
"Tuh!" Ibu hanya memberi isyarat dengan satu gerakan dagunya, mengarah ke arah meja belajar di kamarku yang terbuka pintunya. Aku mengerti, setumpuk undangan itu sudah sangat jelas merangkum satu tanya;Â kapan aku akan menyusul menikah?
Ya, ibu sudah berdiri di depan kamarku. Tahu kapan aku pulang, ibu selalu menungguiku akhir-akhir ini.
"Bu..."
"Apa? Alasan apa lagi? Kamu bukan anak muda lagi?"
"Iya, bu... tapi..."
"Ibu malu! Setiap hari ibu mendengar tetangga-tetangga bergunjing tentangmu..."
"Apa yang mereka katakan bu?"
"Ibu malu! Putri ibu dibilang perawan tua yang gak laku-laku!" Seperti tanggul yang jebol akibat rapuh materialnya, air mata ibu tiba-tiba tumpah tak tertahan. Pertahanan ibu runtuh seketika.
"Ibu, sudahlah, jangan dengarkan lagi kata-kata mereka ya, jangan menangis lagi..."
"Menikahlah dan ibu tak akan menagis lagi!" Sesaat, ibu melepas lembut rangkulan tanganku. Hanya hentakkan pintu kamarnya yang ditutup keras membuatku tersadar, aku pun bergegas, masuk ke kamar.
***
Wulan Purnama Adijaya. Kata orang, namaku cantik secantik rupaku, seelok tubuhku, sehalus suara, dan budi pekertiku. 'Sempurna' begitu orang bilang. Dan, begitu juga yang aku rasa.
Aku berdiri di depan cermin. Telanjang. Memandangi dan memuji keelokan tubuhku sendiri. Bangga dan cinta pada diriku sendiri.
Lihatlah sepasang mata yang membulat dalam porsi yang pas, tidak besar juga tidak sipit. Tatapanku yang setajam ini, tentu mampu menusuk hingga ke dalam dada. Bulu mata yang lentik, alis yang tidak terlalu tebal namun terlihat hitam dan serasi. Dagu yang lancip, pipi yang tirus, sedikit kemerahan bila bersemu dan hidung yang ah, sulit bagi diriku sendiri untuk menggambarkannya, saking indahnya.Â
Bibir yang mungil berwarna merah muda, seakan memanggil, menuntut untuk dikecup. Deretan gigi yang putih, bersih, dan rapi yang jika aku menyingkap kedua bibirku, ah, siapa yang tak terpesona dengan seyuman manisku. Semua seperti gambaran seni terindah Sang Pencipta pada sebuah bidang yang putih bersih, cerah, lembut, mulus, dan kencang.
Aku selalu suka membelai diriku sendiri. Wajah seanggun ini, hanya boleh disentuh dan dibelai oleh tangan yang halus, mulus, dan indah juga. Tanganku. Siapa yang tak mau menggenggam tanganku? Semua ingin meraih dan menggenggamnya. Ah, kuku-kuku yang bening dan cantik, tidak panjang, tidak terlalu pendek juga. Lalu jari-jari yang mungil nan cantik pun lentik. Ah, aku suka memainkan jari-jariku ini, seperti penari Bali yang tentu saja akan membuat siapapun terpikat melihat tarian jariku ini.
Aku selalu suka membelai tubuhku sendiri. Tak ada yang terlewat. Aku yakin, sangat yakin bentuk tubuh dan semua yang ada pada tubuhku ini adalah yang paling indah dari semua wanita yang ada di dunia. Merawat tubuh, menjaga dan mengagungkan kesucianku. Inilah tubuhku, tubuh yang paling indah di dunia. Yang putih, bersih, lembut, mulus, dan kencang, hanya milikku seorang.
Sungguh, tidak akan ada habisnya menjelajah tubuhku ini. Dari rambut yang tergerai sebahu. Hitam pekat, lebih pekat dari model iklan sampo di tv, lebih tebal pula. Siapa coba yang tak ingin membelainya.Â
Ah sungguh, sungguh tidak akan ada habisnya menjelajahi tubuhku yang indah, yang paling indah, yang terindah ini.Â
Hanya angin malam yang kian menusuk yang mampu menghentikan aktivitasku memuji tubuh molekku. Jangankan tangan-tangan kotor di sana, angin yang lembut pun tak akan kubiarkan menikmati setiap inci tubuhku.
Aku memakai piyama, lalu membanting tubuhku ke kasur. Melepas kepenatan, penat lahir maupun batin. Kuraih selimut yang tebal, mendaratkan perlahan kepalaku pada bantal bulu angsa yang empuk sekali. Jangankan ketika terjaga, tidur pun aku selalu cantik.
***
Siang ini, aku duduk di singgasanaku sebagai seorang wanita yang disegani dengan jabatan tertinggi di sebuah gedung perusahaan di pinggiran Jalan Sudirman yang padat. Aku sebagai pendiri, pimpinan dan tentunya otak dibalik karya-karya yang luar biasa di sini.
Ya, aku Wulan, seorang desainer. Pakaian rancanganku aku produksi sendiri dan banyak diminati. Di lantai dasar hingga lantai tiga gedungku adalah butik, butik ternama di negeri ini. Aku tinggal di lantai 17, lantai tertinggi di gedung ini.
Namaku sudah tidak asing lagi, sering kali berseliweran di layar kaca. Baju-baju rancanganku tentu saja menjadi langganan para pesohor, selebriti papan atas ibu kota. Sempat ada tawaran untuk menjadi model, rupa-rupanya model-model mereka kalah cantik olehku. Tapi, jelas aku tolak, berapa pun bayarannya, jelas tubuhku tidak semudah itu menjadi tontonan khalayak.
Sesekali jika aku rehat dari menggambar desain, menandatangani beberapa berkas, mengecek ini dan itu, seperti kebanyakan orang aku akan bermain ponsel. Baru saja aku berniat untuk meraih ponsel, tiba-tiba terdengar ponselku berdering. Pas. Seseorang memanggilku via panggilan sebuah aplikasi komunikasi Whatsapp.
"Halo Wulan, tentu kamu masih ingat aku kan?" suara dari seberang sana, tak asing dan jelas membawaku kembali ke hari itu.
Sepuluh tahun lalu, belum juga aku lulus S1, dia, Deny Sandra datang membawa keluarganya ke rumahku. Jelas maksud mereka melamarku. Aku menolaknya. Aku pernah berbincang intens dengannya.
"Apa tujuanmu menikah?" tanyaku.
"Tentu melestarikan keturunan, berkembang biak. Hahaha." jawabnya diakhiri tawa yang renyah. Sudah tergambar jelas pikirannya yang melayang ke mana saja membayangkan yang tidak-tidak.
"Dari awal, kita sudah tak sejalan, pergilah, jangan berharap apapun lagi dariku."
"Lho, memang begitu kan Wulan? Apa kamu tak ingin punya anak?"
"Aku pergi!"
Kala itu, aku meninggalkannya dengan segenap kebingungan yang kutangkap dari sorot matanya, yang kuyakin mengikutiku terus hingga aku benar-benar lenyap dari pandangannya.
Suaranya juga mengingatkanku pada empat pria lainnya, yang juga kutolak lamarannya. Dan, sungguh menyakitkan, itulah yang memperburuk hubunganku dengan ibu di kemudian hari.
Yang tentu saja semuanya sama-sama buntu karena satu hal, berkaitan dengan anak, dengan keturunan. Yang otomatis, menyeret dan menuntut kesucianku. Yang paling aku tak ingin, paling aku  tak mau.
"Wulan?" suaranya menyadarkanku dari lamunan.
"Ya, tentu aku ingat." jawabku, sesingkat mungkin. Tak ingin aku terdengar ramah, seolah memberi harapan lagi padanya.
"Apa kabarnya? Lama aku gak dengar kabarmu."
Aku tahu dia basa-basi saja, mencari kabar tentangku tentu tak sulit, banyak media yang sering mengabadikan momen aktivitasku. Atau cari saja di mesin pencarian google, sedikitnya, semua hal yang berhubungan denganku, semua hal tentangku ada di sana.
"Seperti yang kamu dengar, aku baik-baik saja bukan, dan jika hanya sekadar basa-basi, maaf aku sedang sibuk."
Tak lama, kututup sambungan.
Kenapa dia? Kenapa dia dari masa lalu muncul kembali?
***
Segala beban terasa menyumbat, mendorongku untuk segera membanting tubuh ke ranjang dan melepas segala penat. Beberapa hari ini terasa berat dan tentu saja sangat melelahkan.
Pikiranku yang tambah kalut, undangan yang bertumpuk, belum lagi ibu, eh ditambah lagi bayang-bayang masa lalu yang tiba-tiba muncul. Bisakah aku melepas semua masalah ini satu persatu? Ah, aku hampir dibuat gila dengan semuanya.Â
Malam ini, aku mencoba mencari ketenangan. Setelah sejenak berdiam diri, kembali aku melakukan ritual. Ritual memuji, mencintai diri dan tubuhku sendiri, sebelum akhirnya aku tertidur.
"Wulan! Wulan! Wulan! Wulan! Wulan! Wulan! Wulan! Wulan! Wulan!"
"Kapan nyusul? Kapan nyusul? Kapan nyusul? Kapan nyusul?"
"Wulan! Wulan! Wulan! Wulan! Wulan! Wulan! Wulan! Wulan! Wulan!"
"Kapan nyusul? Kapan nyusul? Kapan nyusul? Kapan nyusul?"
"Wulan! Wulan! Wulan! Wulan! Wulan! Wulan! Wulan! Wulan! Wulan!"
"Kapan nyusul? Kapan nyusul? Kapan nyusul? Kapan nyusul?"
Aku terduduk, diguyur lembaran-lembaran kertas undangan. Lalu dikepung teman, kerabat, dan orang-orang yang kukenal yang akan menikah. Suara-suara itu suara mereka yang terus berulang memenuhi ruang yang sempit dan hampa, memekakkan telinga.
"Arrrgggh!!!"
"Aku tidak mau menikah!!!"
 Aku terjaga, itu hanya mimpi.
Aku bangkit dan duduk, tanganku meraih segelas air putih di meja kecil samping ranjang. Menenangkan diri dari mimpi yang sungguh menakutkan. Jam dua pagi dan aku tidak bisa tertidur lagi.
***
Kejutan datang bertubi sejak hari kemarin. Lihatlah siapa yang datang hari ini, dia duduk di sofa dalam ruanganku yang mewah dan sejuk ini. Sosok wanita cantik berjilbab. Sama dengannya, sejak SMA, aku memutuskan untuk berjilbab menutup semua aurat, dan yang terpenting melindungi tubuh yang paling indah ini dari pandangan orang banyak.
Ya kali, aku kasih mereka lihat tubuh seindah ini cuma-cuma.
Rinka atau dr. Marinka Septiani. Temanku sejak SMA, seorang dokter kecantikan, menikah dengan seorang dokter bedah yang sebaya dengannya dan kini dikaruniai anak tiga.
"Lan, apa kamu gak bosan?"
"Hmmm?" aku mnegernyitkan dahi. Bingung. Bosan? Bosan apa?
"Sampai kapan kamu begini Lan?" tiba-tiba pertanyaan itu meluncur dari bibirnya yang tebal.
"Maksudmu?" tanyaku.
"Tentang statusmu." jawabnya tegas.
"Jika maksudmu menikah, sampai kapanpun aku tak mau. Kau pikir, kesucian dan keindahan tubuhku ini mampu dibeli dengan mas kawin? Gak!"
"Lan, ubah pola pikirmu!"
"Kalau kamu datang hanya untuk menasehatiku, lebih baik kau pergi, maaf aku sedang tidak ingin menerima nasehat apapun."
"Siapa yang kamu inginkan? Berapa yang kamu mau untuk menebus semua keindahan dan kesucian tubuhmu itu?"
"Seisi dunia pun tak ada yang sanggup membayarnya! Dan, kesucian juga keindahan tubuhku ini, tak akan terbayarkan oleh apapun. Tak ada bandingnya, tak ada duanya!"
"Entah apa yang ada di pikiranmu, aku tak mengerti. Tapi aku selalu mendoakanmu Lan, semoga kau segera sadar, sebelum nanti kau benar-benar menyesal. Masih 33 tahun. Masih ada waktu, Lan."
Aku terdiam, meremas tanganku sendiri, menahan kekesalanku pada Rinka.
"Aku permisi." Dia pamit, pertemuan siang ini terbilang pahit.
Aku membanting tubuh pada kursi kerjaku yang empuk, memutarnya menghadap ke kaca yang mengantarkan luas pandanganku pada hamparan gedung-gedung yang berlomba mencapai langit ibu kota.
***
Waktu berjalan begitu lamban. Bagiku, musim pengantin selalu menjadi musim terlama di setiap tahun. Tapi kejutan seakan tak ada habisnya. Siang ini, tepat sehari setelah aku merayakan ulang tahun ke 34, seorang pria datang, duduk seperti Rinka beberapa hari lalu.
Raffi Wardhana, teman sejak SMP. Tampilannya lebih menarik, pipinya bercambang tipis. Dua puluh tahun sudah dia tinggal di Amerika.
"Kamu masih sendiri?" tanyanya.
"Seperti yang kamu lihat. Tapi, jangan kau coba merayuku."
"Hahaha. Asal kamu tahu, banyak pria di luar sana melafalkan namamu Wulan Purnama Adijaya dalam doanya. Tidakkah ada yang menarik perhatianmu satupun?"
"Tidak sama sekali. Kamu sendiri, kenapa belum punya istri? terus, tumben kamu pulang?"
"Justru itu, aku pulang buat cari istri. Hahaha."
Sejenak aku terdiam. Pandanganku turun pada dasar meja kerjaku yang bening.
"Lan..."
"Hah! Iya?" aku terkejut.
"Besok, boleh aku main-main lagi, aku ingin melihat butikmu."
"Tentu, silakan, dengan senang hati. Kau akan terpukau melihat semua karya Wulan Purnama." Jawabku percaya diri.
"Tentu saja, kau memang hebat."
Aku tersipu.
"Sampai bertemu besok, Lan."
"Ya, see you.."
Entah apa yang membuatku terdisktraksi. Pertemuan kembali dengannya, setelah hampir dua puluh tahun lebih tak jumpa, memberi kesan yang tak terlupakan. Yang tak pernah kurasakan sebelumnya, pada pria manapun.
***
"Cantik sekali kamu." Pujian itu begitu lancar, meluncur dari bibirnya yang tipis. Tulus dan spontan.
"Hahaha. Fi! Semua orang juga tahu kalau aku cantik."
"Tapi, kali ini lebih cantik lagi. Benar deh."
"Thank you." Aku kehabisan kata.
Kami melangkah beriringan, bersamaan dengan tatapan orang-orang yang kagum kepada kami. Entah itu karyawanku, atau pengunjung lain.
Tiba-tiba.
"Lan, coba kamu lihat baju itu, yang dalam kaca itu." Raffi menujuk ke sebuah gaun putih yang paling indah tahun ini, tentu saja rancangan tangan ajaibku. Entah sudah berapa ribu gaun pengantin yang kurancang, tapi sekalipun tak pernah terbesit niatku untuk memakainya.
"Ya, itu gaun pernikahan milik putri presiden yang akan menikah bulan depan."
"Hmmm, bagus." Raffi manggut-manggut.
"Ya jelas, siapa yang buatnya dan siapa juga yang akan memakainya."
"Ya, ya, kau memang hebat dan tak diragukan lagi kalau soal begini."
Kami sama-sama terdiam. Dalam bisu, kami terlarut pada semua gaun yang ada, yang jelas semuanya indah-indah.
"Lan. Kamu lebih suka gaun-gaunmu itu terpajang rapi di kaca atau dipakai oleh seseorang?" Tiba-tiba dia bertanya, memecah sunyi yang sejenak tercipta.
"Dipakailah, buat apa kalau hanya pajangan."
"Coba kau bayangkan kau adalah gaun itu."
Aku tercekat, terdistraksi oleh ucapannya. Dan anganku melayang jauh. Spontan, aku menarik kesimpulan, yang bahkan aku sendiri tak percaya bisa mengatakannya.
"Jadi, aku, buat apa aku hidup jika hanya untuk dilihat keindahannya? Tidak ada gunanya."
"Renungkanlah." Katanya. Tatapannya mantap, meresap hingga ke dada.
***
Semalaman aku masih memikirkan ucapanku tadi yang lahir karena perumpamaan yang diucapkannya. Dirinya semakin membuatku tertarik. Hal yang tak pernah kurasa sebelumnya.
Dan sejak hari itu, kami kian lekat. Seperti siang ini, kami kembali bersama. Makan siang bersama.
"Lan, kenapa sih sebenarnya, kok kamu gak ingin punya anak?" tanyanya, membuatku tersedak.
Hampir saja sepotong daging ayam berbalut tepung crispy terlempar dari mulutku karena pertanyaannya.
"Minum dulu..." Dia menyodorkan segelas jus jeruk dingin ke tanganku.
"Thanks." Kataku, sesaat setelah meneguk jus itu.
Setelah dirasa netral, aku kembali membuka suara, menjawab pertanyaan yang sedari membuat lidahku gatal ingin menjawab.
"Bukan soal anak. Tapi..., caranya. Aku bisa punya anak, tinggal adopsi anak saja. Banyak anak di panti asuhan bisa diadopsi.
"Ah! Baru aku paham. Tapi, seperti yang kemarin kau katakan bukan, kau tidak ada gunanya jika begitu."
Ucapannya terasa menusuk. Namun, tidak membuatku emosi seperti biasanya, jika dia yang mengatakannya, aku malah semakin ingin meresapi ucapannya.
"Tapi, bagiku sih gak masalah. Kalau kau tidak mau ya tak apa. Mungkin kau berdosa karena tidak memberi hakku dan menjalankan kewajibanmu."
"Hah?" aku kebingungan, entah, aku pura-pura bingung lebih tepatnya. Jelas aku mengerti maksud ucapannya.
"Hahaha! Gak, gak usah dipikirkan."
Kami melanjutkan makan, perbincangan beralih ke lain hal dan Raffi seolah menghormati dan mengerti aku, tak sekalipun lagi ia menyinggung soal pernikahan, soal hubungan. Aku semakin tertarik. Dia berbeda.
Namun, setiap kali sudah bertemu dengannya, pikiranku menelisik jauh. Lelaki mana yang bisa membuatku begini? Dialah orangnya. Segala rasa yang dulu tak pernah ada atau memang tak pernah ku beri ruang kehadirannya, kini hadir. Ya, aku jatuh cinta.
Ini akan menjadi kabar gembira bagi ayah dan ibu. Tapi, aku akan menyimpannya sementara, sebelum aku yakin dan semuanya benar-benar nyata.
Namun, beberapa bulan lamanya, kala aku sedang meniti rasa sedang Raffi perlahan hilang. Banyak spekulasi berkelebat, aku kehilangan kabar. Begitupu, dia menutup diri dari dunia, menutup akses bagi orang lain untuk mengetahui tentang dirinya, kabarnya, dan keberadaannya.
 Berbagai rasa mulai timbul, yang sebelumnya tidak pernah muncul atau memang aku tahan agar tak muncul kini bertubrukan dalam hatiku; aku rindu, aku merindukan Raffi.
Hingga aku menjadi gila. Benar, asmara terkadang membuat seseorang gila. Bahkan, aku  sampai pergi mencarinya, ke rumahnya di kawasan Bintaro. Setelah aku melawan gengsi, seorang Wulan menanyakan alamat seseorang?
Senyum ramah yang menyiratkan paduan rasa sedih, iba, bahagia, dan berbagai rasa yang sulit diungkap menyambut kedatanganku di sana. Seorang wanita berusia senja tak banyak bicara, hanya memberiku sepucuk surat dan sebuah album berisi foto-foto Raffi.
Rupanya, berbulan lamanya Raffi menjalani pengobatan, kanker paru-paru yang diidapnya semakin menggerogoti tubuhnya. Rasa penasaran yang terjawab, rasa kesal yang kini kumaafkan, dan tentunya rindu yang baru kurasakan hanya saat kehilangannya, berbaur menampung air mata pilu. Sebisa mungkin aku bertahan untuk tidak menjatuhkan air mata.
Sebelum semuanya pecah, aku pamit dan baru berani membuka surat itu di rumah. Dengan gemetar, aku coba membuka suratnya, membacanya seksama dan penuh rasa. Terngiang suaranya, seakan dia ada dan nyata mengucapkan langsung jalinan kata yang ditulisnya dalam surat ini.
Katanya;
Wulan, jujur aku mencintaimu. Tapi, aku tak mungkin bisa menggapaimu. Musim pengantin tahun ini hampir saja berlalu. Aku gagal menjadikanmu pengantin di musim pengantin tahun ini.
Lan, kuharap di musim pengantin tahun depan aku dapat melihatmu menjadi pengantin, meski bukan bersamaku. Buatkah gaun pengantin yang indah, sepertimu, Wulan Purnama.
Mengenalmu adalah menelisik sesuatu yang menarik untuk diulik, tak ada letih, kau semakin menarik jika semakin kuusik. Menyayangimu adalah hal yang tak perlu diragukan lagi, tanpa diminta, tanpa disuruh lagi, meniti jalan-jalan kecil menembus dalam hatimu telah membuatku menyayangi dan mencintaimu.
Lan, akankah sampai aku pada impian memiliki keindahan pada dirimu seutuhnya? Meski tak dapat kusentuh pada akhirnya, tapi betapa bangga aku dengan kata orang nantinya: kau milikku.
Lan, Aku mencintaimu.
Salam Sayang
Â
Raffi Wrdhn.
Tanpa kusadari kehadirannya, ibu telah berada di belakangku, memelukku erat, air matanya ikut meleleh.
"Lan, ibu baru saja merasa bahagia, tapi, tiba-tiba hancur kembali, kenapa kau harus mencintai dia yang bahkan kini sudah tak lagi nyata?"
"Bu..."
"Semalam, ibu baru ingat, ibu sadar." Baru kali ini ibu kembali membuka suara, setelah sekian lama membisu.
"Kenapa bu?"
"Apa mungkin ini kutukan? Dulu, kau lahir di saat bulan purnama bersinar, tengah cantik-cantiknya. Ibu rasa itu bulan purnama tercantik yang pernah ibu lihat. Lalu ibu memandangmu, yang baru terlahir. Pelan, ibu berbisik di telingamu, kau adalah putri paling cantik yang pernah tercipta. Kecantikan, keindahan, kemuliaan, dan tentu kesucianmu akan selalu terjaga, lestari. Kecantikanmu abadi, selamanya." Ibu tak berhenti menangis.
Tanpa perlu kejelasan lanjut, aku tahu apa maksudnya. Apakah Tuhan mengabulkan ucapan ibu sebagai doa?
Kini, musim pengantin bukan hanya lagi bayang-bayang menyebalkan dan menakutkan yang jika mampu ingin aku lompati waktu. Tapi, betapa menyakitkannya musim pengantin selanjutnya yang akan ku lalui. Meski harus kuakui, satu dari masalah yang acapkali membebaniku di musim pengantin, usai terpecahkan.
Konflik anatara aku dengan ibu. Pengakuannya, jelas menunjukkan bahwa ia telah menerima. Di musim pengantin kali ini, ibu melunak. Hubungan kami menemukan titik terang, berangsur membaik.
Namun, masalah satu berlalu, diganti masalah lain yang baru. Kepergian Raffi cukup menggores luka dalam hatiku. Meninggalkan kenangan kelam  yang akan kuingat setiap musim pengantin tiba. Yang ingin kuhindari, ingin kulupakan, dan mustahil. Bayangan-bayangan itu sudah memenuhi ruang ingatan, bahkan musim pengantin inipun belum berlalu.
Dalam pilu, aku dan ibu, kami saling memeluk erat. Dan aku berkata lirih, berharap dan memohon.
"Ya Tuhan, kuatkan, kuatkan aku menghadapi semuanya."
Sejenak aku menyesap rasa sakit, mengingat pengakuan ibu yang tadi dan kini, lirih aku memohon pada ibu,
"Lepaskan, bu, lepaskan kutukan itu..." ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H