"Apa? Alasan apa lagi? Kamu bukan anak muda lagi?"
"Iya, bu... tapi..."
"Ibu malu! Setiap hari ibu mendengar tetangga-tetangga bergunjing tentangmu..."
"Apa yang mereka katakan bu?"
"Ibu malu! Putri ibu dibilang perawan tua yang gak laku-laku!" Seperti tanggul yang jebol akibat rapuh materialnya, air mata ibu tiba-tiba tumpah tak tertahan. Pertahanan ibu runtuh seketika.
"Ibu, sudahlah, jangan dengarkan lagi kata-kata mereka ya, jangan menangis lagi..."
"Menikahlah dan ibu tak akan menagis lagi!" Sesaat, ibu melepas lembut rangkulan tanganku. Hanya hentakkan pintu kamarnya yang ditutup keras membuatku tersadar, aku pun bergegas, masuk ke kamar.
***
Wulan Purnama Adijaya. Kata orang, namaku cantik secantik rupaku, seelok tubuhku, sehalus suara, dan budi pekertiku. 'Sempurna' begitu orang bilang. Dan, begitu juga yang aku rasa.
Aku berdiri di depan cermin. Telanjang. Memandangi dan memuji keelokan tubuhku sendiri. Bangga dan cinta pada diriku sendiri.
Lihatlah sepasang mata yang membulat dalam porsi yang pas, tidak besar juga tidak sipit. Tatapanku yang setajam ini, tentu mampu menusuk hingga ke dalam dada. Bulu mata yang lentik, alis yang tidak terlalu tebal namun terlihat hitam dan serasi. Dagu yang lancip, pipi yang tirus, sedikit kemerahan bila bersemu dan hidung yang ah, sulit bagi diriku sendiri untuk menggambarkannya, saking indahnya.Â
Bibir yang mungil berwarna merah muda, seakan memanggil, menuntut untuk dikecup. Deretan gigi yang putih, bersih, dan rapi yang jika aku menyingkap kedua bibirku, ah, siapa yang tak terpesona dengan seyuman manisku. Semua seperti gambaran seni terindah Sang Pencipta pada sebuah bidang yang putih bersih, cerah, lembut, mulus, dan kencang.