Mohon tunggu...
Miran Nari
Miran Nari Mohon Tunggu... Penulis - IRT

Ibu Rumah Tangga Suka Membaca dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senyum Yang Hilang Dari Wajah Adikku

18 Desember 2024   01:42 Diperbarui: 18 Desember 2024   01:42 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Minggu pagi ini, udara terasa lebih dingin. Gerimis tak hentinya turun sejak subuh tadi dan baru mereda tak lama setelah aku selesai berolahraga di ruang kelurga yang merangkap juga sebagai ruang serbaguna. 

Setelah mandi dan berganti baju,  aku bersiap untuk sarapan bareng ibu. Di meja makan sudah terhidang beberapa menu sarapan khas keluargaku.  Ada nasi goreng, telor ceplok,  udang goreng tepung dan tak ketinggalan kerupuk udang.

Aku melirik ibu yang terlihat bangga sudah menyiapkan hidangan untuk keluarga tercintanya. Meski menurutku, menu yang Ibu masak untuk sarapan terlalu berat. 

"Tanti koq belum keluar kamar sudah jam berapa ini?" tanya Ibu padaku. Tanti adalah adik perempunku. Satu-satunya saudara yang kumiliki. 

Aku mengedikan bahu. Sejak tadi aku memang tidak melihatnya keluar dari kamar. 

"Mungkin masih tidur Bu, apa perlu Nawang samperin ke kamarnya? " tawarku yang disambut dengan anggukan kepala ibu. 

Namun,  sebelum aku beranjak dari kursi, Tanti sudah datang menghampiri kami. Mataku tak bisa berkedip melihat penampilan adikku yang terlihat wah. Riasannya terlalu berlebihan untuk seorang wanita lajang. Riasan mata dan pipinya, juga warna lipstiknya sangat mencolok. Setidaknya itu menurutku yang lebih suka wajah polosan.

"Pagi-pagi gini sudah rapi dan cantik begini,  memangnya mau kemana ?" tanya Ibu dengan lembut. 

"Biasalah Bu anak muda. Hari minggu ya enaknya jalan-jalan sama pacar. Emangnya Mbak Nawang, yang cuma jadi pawang kasur," sindirnya padaku. 

 Aku melirik sinis padanya, sambil menyuapkan sesendok nasi goreng ke mulut. 

"Huss jangan bicara begitu sama Mbak mu. Ayo sarapan dulu, semalam kamu juga gak makan kan? Kamu pasti lapar,  Ibu ambilkan nasi goreng yah," ajak Ibu padanya. 

"Gak ah Bu,  Tanti gak selera makan," tolak adikku. 

"Nanti kamu sakit lho Tanti,  jangan terlalu keras dietnya. Tubuhmu terlihat sudah ideal koq Nak,"

"Tapi kalo tiap pagi makannya kayak gini,  bisa-bisa nanti badanku juga melar kayak Mbak Nawang," sentilnya lagi.

Aku mendengus kesal mendengarnya. Enak saja badanku disebut melar, BMI ku masih di rentang ideal. Sepertinya dia sedang sensi padaku akhir-akhir ini. Dia sering menyindir dan memancing emosiku, sejak aku menasehatinya untuk tidak sering keluar malam dengan teman laki-lakinya. Apalagi aku lihat, teman yang pergi dengannya sering berganti-ganti. 

Aku berusaha keras untuk tetap tenang, meski kuping dan hati terasa panas. Nasehat almarhum bapak untuk pantang ribut di hadapan makanan selalu terpatri di sanubari. Apalagi saat ini,  masakan ibulah yang sedang aku nikmati. Seekor udang goreng tepung yang gurih dan renyah masuk ke dalam mulutku. 

Ibu terlihat kecewa dengan penolakan Tanti,  tetapi seperti biasa beliau tetap lembut pada padanya. 

"Mau ibu buatkan makanan lain? Wajahmu terlihat pucat lho Tanti,  meski sudah disamarkan dengan make up, " ujar Ibu hati-hati.

"Enggak Bu,  bentar lagi Fahri mau jemput," katanya sambil beranjak dari kursi. 

Namun,  kulihat dia kepayahan saat berdiri.  Tangannya memegang  kepala dan dia sempoyongan. 

"Kamu gak apa-apa sayang? Kamu pusing yah? " tanya Ibu yang dengan sigap membantunya kembali duduk. 

"Enggak papa koq Bu, Tanti baik-baik saja hanya sedikit pusing tadi pas mau berdiri, "

"Mending gak usah pergi, dari pada nyusahin diri sendiri. Wajah dah pucat kaya mayat juga, " celetukku. 

"Apaan sih ikut campur aja, " sungutnya padaku. 

"Ngaca tuh di sana," kataku sambil menunjuk cermin besar di dinding. 

"Betul apa kata Nawang, kamu terlihat kurang sehat Tanti. Lebih baik ikuti sarannya demi kebaikanmu. Ibu juga khawatir kamu bakal kenapa-napa," kata Ibu. 

"Gak bisa gitu dong Bu, aku sudah janjian sama Fahri. Dia sudah bela-belain gak jadi pergi sama temannya buat jalan sama aku. Aku gak mau ngecewain dia," balas Tanti. 

Aku menggelengkan kepala mendengarnya. 

"Dasar batu kali, segitunya kah kamu dihadapan laki-laki yang statusnya cuma pacar? " sengatku pada Tanti. 

Tenagaku sudah pulih dan siap bertanding dengannya setelah sepiring nasi goreng dan kawan-kawannya berhasil aku habiskan. 

"Biarin dari pada Mbak,  pacar aja gak pernah punya. Cowok juga malas kali berteman sama kamu," balas Tanti dengan sewot. 

Ibu mengeluarkan sesuatu dari saku dasternya. Rupanya ibu berniat menggosokan minyak cap kapak pada punggung adikku,  tetapi ditolaknya. 

"Ibu,  nanti aku bau minyak itu lagi. Sia-sia nanti parfumku,"

Aku terkekeh membayangkan bau minyak itu dengan bau parfum menyengat yang dipakai Tanti. 

Tanti tersinggung dengan tertawaku,"Kalau iri bilang saja,  gak usah ngetawain orang kaya gitu,"

"Sudah sudah gak baik ribut pagi-pagi, "

"Jadi kalau ributnya selain di waktu pagi bagus yah Bu?"

"Kamu juga Wang, jangan bikin kesel adikmu kenapa? "

Aku mingkem juga mendengar kata-kata ibu. Terus saja Ibu membela Tanti. Anak bungsu memang selalu jadi kesayangan.

Aku tinggalkan ibu dan adik perempuanku ke kamar. 

"Lebih baik membaca novel daripada melihat langsung adegan sinetron, " kataku sambil memilah buku di rak. 

Terdengar teriakan Ibu dari luar.  Aku segera berlari menghampiri.  

Kulihat Tanti sudah tergeletak pingsan di pangkuan ibu.

"Tanti kenapa Bu? " 

"Tiba-tiba dia jatuh pingsan, tolong kamu gosok-gosokan minyak ini ke hidung, ke kaki, ke tangan apalah semua badannya  cepat! " perintah Ibu. 

Aku langsung melaksanakannya. Aku gosok minyak cap kapak yang memiliki aroma khas nenek-nenek ke telapak kaki,  dan tanganya,  tidak lupa ke bawah hidungnya juga. Tetapi tidak ada tanda-tanda dia akan segera siuman. 

"Kaosnya terlalu ketat nih Bu, " kataku saat hendak menggosokan minyak ke bagian dada. 

"Dari bawah sajalah kamu buka,  gosok juga bagian perutnya. Pasti masuk angin gara-gara gak makan dari semalam, "

"Bawa ke klinik saja yah Bu, gak bangun-bangun nih dari tadi, "

Ibu mengiyakan usulku. 

"Tapi bagaimana bawanya,  pasti berat bawa orang pingsan,"

"Kita bawa pake motor.  Nawang kuat koq kalo cuma gendong sebentar, nanti pas jalan ibu yang jaga di belakang,"

Aku segera menyiapkan motor di teras rumah. Saat aku kembali masuk ke dalam, datang seseorang yang ternyata adalah laki-laki yang sedang ditunggu Tanti. 

Deg,  jantungku berdetak lebih cepat saat pandanganku dan laki-laki itu bertemu. Sialan kenapa harus dia sih? Laki-laki bernama Fahri itupun tampak kaget melihatku. Namun,  dia segera mengalihkan pandangannya ke arah ibu dan adikku. 

"Tanti kenapa Tante? " tanya laki-laki itu saat melihat keadaan adikku.

"Tanti pingsan Fahri, untunglah kamu datang. Kami mau membawanya ke klinik. Tolong kamu bopong dia ke motor ya, " pinta Ibu padanya. 

"Iya Tan," 

Dia segera membopong tubuh Tanti ke mobil, lalu segera melajukannya ke klinik bersama ibu. Sementara aku menyusul di belakang menggunakan sepeda motor.

Sampai di klinik, aku dan ibu menemani Tanti di periksa oleh dokter perempuan. 

"Bagaimana dokter, anak saya cuman masuk anginkan? Dari semalam dia tidak makan apa-apa. Dia terlalu ketat dietnya," Ibu terlihat sangat khawatir. 

"Tunggu dulu Bu,  dokter belum selesai memeriksanya," bisikku di telinga ibu. 

Mendengar pertanyaan dari ibu, dokter itu tidak langsung menjawab. Dia kembali memeriksa perut bagian bawah adikku. Setelah selesai, dia baru  berkata,

"Anak Ibu tidak apa-apa, hanya sedikit lemah karena kehamilannya. Untuk dietnya bisa distop dulu yah..."

"Aa...apa dok? Ha..hamil ?" tanya Ibu tanpa menunggu penjelasan dari dokter.

Dokter itu hanya menjawab dengan anggukan kepala. Ibu yang sangat terkejut langsung lemas dan terjatuh. 

Aku segera memapah ibu menuju kursi ruang tunggu di depan, meninggalkan adikku yang mulai siuman bersama dengan sang dokter. 

Di ruang tunggu itu juga, Fahri sedang berdiri menghadap ke jendela kaca. Sekelebat kenangan muncul begitu saja di kepalaku, kenangan saat aku dan Fahri duduk berhadapan di sebuah kafe beberapa tahun silam. Saat itu kami sepakat untuk mengakhiri hubungan kami. Semenjak itu, tak ada lagi kabar darinya dan aku tak ingin lagi menjalin hubungan dengan lelaki manapun. 

Setelah mengantar ibu,  aku kembali menemui Tanti yang sedang duduk sambil menangis sendirian di atas ranjang pasien.

Maafkan Nawang Pak,  tidak bisa menjaga Tanti dengan baik seperti janji Nawang pada Bapak. 

Aku mendekat dan memeluknya dengan erat. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun