"Gak ah Bu, Â Tanti gak selera makan," tolak adikku.Â
"Nanti kamu sakit lho Tanti, Â jangan terlalu keras dietnya. Tubuhmu terlihat sudah ideal koq Nak,"
"Tapi kalo tiap pagi makannya kayak gini, Â bisa-bisa nanti badanku juga melar kayak Mbak Nawang," sentilnya lagi.
Aku mendengus kesal mendengarnya. Enak saja badanku disebut melar, BMI ku masih di rentang ideal. Sepertinya dia sedang sensi padaku akhir-akhir ini. Dia sering menyindir dan memancing emosiku, sejak aku menasehatinya untuk tidak sering keluar malam dengan teman laki-lakinya. Apalagi aku lihat, teman yang pergi dengannya sering berganti-ganti.Â
Aku berusaha keras untuk tetap tenang, meski kuping dan hati terasa panas. Nasehat almarhum bapak untuk pantang ribut di hadapan makanan selalu terpatri di sanubari. Apalagi saat ini, Â masakan ibulah yang sedang aku nikmati. Seekor udang goreng tepung yang gurih dan renyah masuk ke dalam mulutku.Â
Ibu terlihat kecewa dengan penolakan Tanti, Â tetapi seperti biasa beliau tetap lembut pada padanya.Â
"Mau ibu buatkan makanan lain? Wajahmu terlihat pucat lho Tanti, Â meski sudah disamarkan dengan make up, " ujar Ibu hati-hati.
"Enggak Bu, Â bentar lagi Fahri mau jemput," katanya sambil beranjak dari kursi.Â
Namun,  kulihat dia kepayahan saat berdiri.  Tangannya memegang  kepala dan dia sempoyongan.Â
"Kamu gak apa-apa sayang? Kamu pusing yah? " tanya Ibu yang dengan sigap membantunya kembali duduk.Â
"Enggak papa koq Bu, Tanti baik-baik saja hanya sedikit pusing tadi pas mau berdiri, "