Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tetralogi Air & Api, Petualangan Cinta Air dan Api (Bag. Terakhir)

9 Januari 2019   03:10 Diperbarui: 9 Januari 2019   04:06 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bab XV

Perang Bubat
Adalah sejarah yang ditulis
Oleh pekatnya tinta berwarna hitam.
Mengiringi sebuah ambisi
Dan kilau kejayaan
Kerajaan kerajaan besar
Dalam persaingan harga diri
Dan tumpahnya darah berkolam kolam.

Bab XVI

Cipamali, Perbatasan Galuh Pakuan-Majapahit.  Suasana perbatasan sedang memanas.  Kematian mengenaskan Panglima Suwanda beserta pasukan kecilnya menjadikan bara yang tak terdinginkan dengan cepat.  Jumlah penjaga di setiap pos penjagaan perbatasan dilipatgandakan.  Yang biasanya hanya satu regu yang terdiri dari dua belas orang, sekarang ditambah menjadi dua regu.  Bahkan di pos pos tertentu, menjadi tiga regu.

Pasukan perbatasan kerajaan Galuh Pakuan sedang bersiaga penuh.  Iring iringan agung Raja Galuh Pakuan dalam beberapa hari ini akan melalui perbatasan.  Beberapa perahu besar telah disediakan untuk menyeberang.  Pangeran Bunga sebagai pimpinan pasukan perbatasan sibuk memerintahkan pasukannya untuk menghias markas dan perahu perahu yang akan digunakan menyeberang. 

Di sisi lain perbatasan juga berlangsung hal yang kurang lebih sama.  Pasukan perbatasan Majapahit juga menghiasi jalanan dan markas dengan umbul umbul kebesaran.  Warna warna meriah terlihat dari ujung ke ujung.  Tambur dan gamelan disiapkan untuk menyambut kedatangan raja besar Galuh Pakuan melintasi wilayah Majapahit.

Namun semua orang merasakan hal yang sama.  Kemeriahan itu hanya sedikit saja menutup ketegangan yang ada.  Semua tahu bahwa ini adalah api dalam sekam.  Sedikit saja kesalahpahaman terjadi, maka sebuah perang besar akan meletus antara dua kerajaan besar ini.  Dan itu semua akan bermula di sini.  Di perbatasan Sungai Cipamali.

Pasukan dari kedua pihak telah diperintahkan oleh panglima perang masing masing untuk menahan diri.  Tidak ada perintah menyerang namun senjata senjata lengkap telah dikeluarkan dari barak barak.  Para prajurit tidak ada yang diperkenankan untuk meninggalkan pos penjagaannya. Namun pasukan bersenjata lengkap siap kapan saja dikerahkan. 

Sebuah sulutan api kecil akan meledakkan ketegangan ini menjadi perang.  Perang perbatasan yang mungkin akan menyulut api yang lebih besar dan berkobar kobar di seantero tanah Jawa.  Pasukan Galuh Pakuan mungkin kalah jumlah dan tidak terlalu terlatih untuk berperang seperti pasukan Mahapatih Gajahmada.  Namun mempunyai keunggulan lebih tertib dan taat aturan perang serta sangat patuh terhadap perintah atasan.

----

Dan hari penting itupun tiba. Didahului oleh suara tambur yang dipukul tak henti henti, dari jauh terlihat iring iringan kereta kencana yang membawa keluarga kerajaan Galuh Pakuan beserta para pengiringnya.  

Di kanan kiri iringan kereta itu, pasukan berkuda Garda Kujang Emas Garuda dan Elang, berjalan dengan gagah di atas kuda-kuda yang kuat dan perkasa.  Di bagian paling depan rombongan, Andika Sinatria dan Putri Anjani berkuda dengan gagah dan anggun.  Pangeran tampan Galuh Pakuan dan putri cantik dari laut utara ini tidak nampak tegang sama sekali.  Mungkin rasa percaya diri yang timbul karena di dalam rombongan ada tokoh tokoh sakti yang dipercayai bisa mengatasi gangguan sebesar apapun juga. 

Iring iringan itu berhenti persis di gerbang perbatasan di pinggir Sungai Cipamali.  Semua prajurit perbatasan yang dipimpin Pangeran Bunga bersimpuh memberi hormat lalu berdiri tegap kembali.  

Andika Sinatria mengangkat tangannya.  Puluhan perahu kecil dan sebuah kapal yang cukup besar terlihat berjajar.  Siap mengantar iring iringan megah itu ke seberang.  Semua rombongan menaiki perahu dan kapal bergantian.  Pangeran Bunga tidak dibawa serta karena baginda raja memberi perintah kepadanya agar tetap menjaga perbatasan.  

Semuanya berjalan dengan tertib.  Kemegahannya semakin terasa karena suara tambur dan gong terus berbunyi berdentum dentum dan bertalu talu. Membawa hati yang mendengarkannya melayang ke angkasa.  Membuat jiwa yang merasakannya tertunduk kagum.

Setelah semua menaiki perahu dan kapal.  Rombongan itu bergerak menyeberang.  Suara tambur dan gong tetap mengiringi.  Andika Sinatria berdiri di haluan kapal.  Matanya menyapu sisi seberang yang berada di wilayah kerajaan Majapahit.  Terlihat dari jauh pasukan Majapahit sedang berjajar di tepi sungai dan di sepanjang jalan.  

Suara gemuruh bunyi bunyian tambur dan gong di tepian sungai mulai terdengar riuh.  Andika Sinatria kembali mengangkat tangan, memberi isyarat agar pemukul tambur dan gong dari Galuh Pakuan menghentikan kegiatannya.  Mereka sudah disambut di wilayah Majapahit dengan megah dan meriah.

Puluhan perahu dan kapal akhirnya tiba di tepian sungai.  Saat Baginda Raja Galuh Pakuan turun menjejak tanah Majapahit, semua prajurit Majapahit membungkuk memberi sembah.  Baginda Raja mengangkat tangannya, dan semua prajurit Majapahit kembali dalam posisi tegap.  Seorang wanita sangat cantik pembesar kerajaan Majapahit maju ke depan dan memberi hormat dengan takzim seraya berkata.

"Terimalah sembah dan hormat hamba, paduka yang mulia Raja Galuh Pakuan.  Perkenalkan nama hamba adalah Dyah Nertaja.  Hamba adalah adik dari paduka Raja Hayam Wuruk.  Hamba datang kesini mewakili Kakanda Raja untuk menyambut kedatangan Paduka Raja Galuh Pakuan.  Sesuai dengan adat jawa, Kakanda Raja tidak boleh datang sendiri menyambut paduka karena beliau adalah pengantin laki laki.  Kakanda Raja akan menunggu di Istana Trowulan."

Putri cantik itu melanjutkan dengan senyuman ramah.

"Selanjutnya dari sini, hamba akan memandu Paduka Raja hingga tiba di Pesanggrahan Bubat.  Tempat Paduka dan rombongan beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke Trowulan dimana upacara pernikahan akan dilaksanakan."

Baginda Raja mengangguk sambil tersenyum lebar.  Dia memberi isyarat kepada Andika Sinatria.  Pangeran tampan itu membungkuk kepada Dyah Nertaja.

"Putri Dyah Nertaja yang mulia.  Hamba adalah Andika Sinatria.  Putra dari Paduka Raja Galuh Pakuan.  Adik dari paduka putri Dyah Pitaloka.  Kami akan mengikuti panduan paduka putri.  Terimakasih telah menyambut kami dengan kemegahan yang luar biasa ini."

Dyah Nertaja memandang dengan kagum yang tidak bisa disembunyikan.  Namun putri cantik Majapahit itu kembali pada sikapnya yang agung dan berkata.

"Pangeran, ikutlah dengan panduan kami.  Kami akan menjaga keselamatan paduka raja dan rombongan.  Untuk menghargai jalinan yang penuh persahabatan dan menghilangkan segala rasa curiga, kami mohon agar pangeran membatasi jumlah pengawal dan mohon juga untuk meninggalkan segala bentuk senjata."

Andika Sinatria yang sudah mengetahui persyaratan ini sebelumnya, mengangguk mengerti.

"Baiklah Putri yang mulia.  Kami akan penuhi semua persyaratan Yang Mulia Putri."

Pangeran ini memberi tanda kepada Panglima Candraloka.  Yang diberi isyarat melaksanakan dengan patuh lalu mengatur dan memberi perintah sana sini.  

Seperti yang sudah diatur sebelumnya, rombongan pengawal hanya disisakan 50 orang orang pilihan.  Ditambah Andika Sinatria, Putri Anjani, dan Nini Papatong.  Sedangkan Panglima Candraloka akan menyeberang dan tidak akan ikut rombongan.  Semua senjata kecuali bilah kujang, dikumpulkan dan akan dibawa kembali menyeberang.

Iring iringan kembali diberangkatkan.  Kali ini kereta kencana yang dinaiki baginda raja disediakan oleh kerajaan Majapahit.  Perjalanan sangat lancar dan aman.  Andika Sinatria yang memimpin rombongan kerajaan Galuh Pakuan menjadi berlega hati.  Menurut perkiraan pemandu dari Majapahit, menjelang sore mereka akan tiba di Pesanggrahan Bubat tempat mereka beristirahat sebelum melanjutkan ke Trowulan.

Benar saja.  Menjelang sore iring iringan itu tiba di Pesanggrahan Bubat.  Sebuah tempat peristirahatan sekaligus lapangan besar dan sakral tempat raja raja Majapahit melakukan upacara adat atau keagamaan. 

Dyah Nertaja mempersilahkan semua rombongan untuk membersihkan diri dan beristirahat di pesanggrahan yang sangat megah itu.  Setelah itu sang putri melanjutkan perjalanan menuju Trowulan untuk melapor kepada kakaknya Hayam Wuruk dan mempersiapkan segala sesuatunya demi lancarnya upacara pernikahan.

Saat semuanya sedang beristirahat, Andika Sinatria berjalan jalan di sekeliling pesanggrahan untuk memeriksa keadaan dengan ditemani oleh seorang petugas pesanggrahan.  Pesanggrahan itu sangat besar dan luas.  Bangunan bangunannya sangat banyak dengan bentuk unik dan artistik.  

Bangunan bangunan itu mengelilingi sebuah lapangan yang sangat luas dan indah. 

Untuk sesaat pandang mata Andika Sinatria terpaku pada lapangan tersebut. Sebuah pemandangan aneh tersaji di sana. Nampak sehamparan kabut tipis menyelimuti. Kabut itu terangkat perlahan lahan bersamaan dengan angin luar biasa dingin yang tiba tiba datang menusuk hingga ke dalam tulang.  

Lalu bayangan bayangan penari terlihat setelah kabut itu terangkat sepenuhnya.  Tarian yang terlihat tidak terlalu jelas itu mengandung daya magis yang menyedot sukma.  Tarian itu terus berlangsung di depan mata Andika Sinatria.  Bau wangi kamboja bercampur dengan bau tanah yang baru digali menguar memenuhi lapangan ini.  Bahkan di antara bau yang sangat tajam itu, menyeruak bau amis darah!

Andika Sinatria bergidik ngeri.  Ini adalah bau kematian!  Ini adalah firasat!

Sebuah tepukan halus di bahunya membangunkan khayalan Andika Sinatria.  Pemuda itu menoleh kaget.  Putri Anjani tersenyum manis ke arahnya sambil bertanya halus.

"Ada apa pangeran?  Pangeran terlihat seperti melihat hantu?...aku melihatmu termangu di sini cukup lama...apa yang menarik dari lapangan ini?"

Dengan tergagap Andika Sinatria menyahut pelan.

"Aku mendapatkan firasat tidak enak Putri.  Ada sesuatu yang aneh di sini.  Lihatlah bayangan yang menari nari di lap...lapangan...i...itu..."  Ujar Andika Sinatria sambil menunjuk Lapangan Bubat.

Putri Anjani mengarahkan matanya ke arah yang ditunjuk oleh Andika Sinatria.  Pangeran itu juga mengikuti.  Tidak ada apapun di sana.  Sebuah lapangan rumput yang terlihat hijau dan cerah.  Hening dan dingin.  Putri Anjani mengalihkan pandang matanya ke Andika Sinatria yang terlihat pucat.  Wajah pangeran itu nampak dibasahi keringat sebesar besar kelereng.

Putri dari Laut Utara itu menarik tangan Andika Sinatria pindah dari tempat itu.  Tangan sang pangeran sangat dingin.  Tubuhnya sedikit menggigil.  

Putri Anjani mengajaknya segera berlalu.  Mereka menuju ke tempat berkumpul di ruangan pendopo.  Berkali kali Andika Sinatria menghela nafas panjang.  Pemandangan tadi masih tercetak jelas dalam ingatannya.  Ini firasat buruk!  Sangat buruk!

Malam akhirnya dilewati tanpa kejadian apa apa.  Pagi menyapa dengan riang.  Suara burung prenjak bercuitan penuh kegembiraan.  Seluruh rombongan Galuh Pakuan sudah bersiap siap hendak menaiki kereta yang sudah disiapkan di lapangan Bubat.  Namun mendadak dari jauh terlihat debu mengepul tinggi.  Nampak rombongan berkuda yang berlari dengan tergesa gesa menuju lapangan. 

Rombongan berkuda itu dipimpin oleh seorang laki laki tinggi besar dengan rambut digelung tinggi ke atas.  Wajahnya yang keras terlihat sangat berwibawa.  Pengaruh yang dibawanya terasa sampai ke lapangan ini meski rombongan itu belum juga tiba.  Andika Sinatria tercengang kagum.  Siapa lagi yang mempunyai aura kewibawaan sekuat ini? Mahapatih Gajahmada!

Sang Penyumpah Palapa ini sampai di depan rombongan Galuh Pakuan.  Setelah turun dari kuda, mahapatih yang sangat terkenal ini membungkukkan tubuh dan memberikan sembah kepada Baginda Raja Galuh Pakuan yang memandangnya, juga dengan takjub!

"Sembah hamba Paduka Yang Mulia Maharaja Galuh Pakuan.  Hamba Mahapatih Gajahmada.  Selamat datang di tlatah Majapahit.  Hamba haturkan salam dari junjungan hamba Paduka Raja Hayam Wuruk."

Mahapatih Gajahmada melanjutkan sapaannya dengan kata kata yang sangat tegas.

"Hamba juga diperintahkan oleh Paduka Yang Mulia Maharaja Hayam Wuruk untuk menyampaikan pesan.  Paduka dan rombongan diterima dengan senang hati di Majapahit.  Paduka Putri Dyah Pitaloka akan diterima menjadi mempelai wanita oleh Paduka Raja Hayam Wuruk sebagai tanda persembahan dan takluk dari Kerajaan Galuh Pakuan terhadap Kerajaan Majapahit.  Demikian yang Mulia....sembah hamba."

Mendengar arahan panjang lebar tersebut, sontak wajah Baginda Raja Galuh Pakuan merah padam.  Namun raja yang bijak ini menahan kemarahan hatinya dengan berkata penuh wibawa.

"Mahapatih Gajahmada yang luar biasa.  Aku terima salam dari Paduka Raja Hayam Wuruk.  Tapi maaf, kami datang ke Majapahit dengan penuh damai dan persahabatan.  Bahkan aku membawa putriku Dyah Pitaloka sebagai sebagai mempelai yang akan memberi ikatan keluarga antara Galuh Pakuan dan Majapahit.  Kami datang sebagai sahabat yang setara.  Galuh Pakuan dan Majapahit berkedudukan sama.  Tidak ada yang merendahkan yang lain.  Kami datang sebagai sahabat! Kami datang bukan sebagai taklukan!"

Sang Maharaja Galuh Pakuan menekankan kalimatnya dengan penuh ketegasan.

"Jika sebelumnya aku tahu Majapahit akan memperlakukan Galuh Pakuan sebagai taklukan, dan putriku Dyah Pitaloka sebagai persembahan, aku tidak akan sudi menginjakkan kakiku di tanah Majapahit!" 

Sabda raja yang sangat tegas berwibawa ini disambut sorak sorai membahana dari para pengawal Galuh Pakuan.  Bahkan pasukan kecil itu mulai membentuk lingkaran melindungi Sang Raja dan Putri Dyah Pitaloka.  Andika Sinatria, Putri Anjani, dan Nini Papatong mendekati Sang Raja.  Mulai bersiaga penuh jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Mahapatih memberikan sembah sekali lagi.

"Paduka Raja Galuh Pakuan yang kami muliakan.  Paduka tentu tahu pendirian teguh Majapahit.  Paduka juga tentu tahu bahwa hamba akan patuh terhadap apapun perintah junjungan hamba.  Jika Paduka bersikukuh dengan pendirian Paduka, maka hamba akan menghormatinya.  Namun semua akibat dari itu bukan lagi tanggungjawab hamba.  Hamba permisi Paduka yang Mulia....sembah hamba."

Mahapatih tinggi besar perkasa ini melompat ke atas kudanya dengan ringan dan pergi dengan cepat dari lapangan Bubat diiringi oleh para pengawalnya. 

Begitu bayangan Sang Mahapatih tidak terlihat lagi, suara gemuruh mengiringi terbukanya rumah rumah besar yang sebelumnya terlihat kosong tak berpenghuni. Tiba tiba lapangan itu sudah dikepung oleh ratusan pasukan Majapahit.  

Nampak para pimpinan Sayap Sima berdiri di jajaran terdepan.  Ki Tunggal Jiwo, Madaharsa, Maesa Amuk, Bledug Awu Awu, dan Siluman Lembah Muria. Di jajaran sebelah kiri terlihat rombongan Lawa Agung.  Raja Iblis Nusakambangan, Resi Amamba, Nini Cucara, Nyai Genduk Roban dan...Panglima Kelelawar.

Andika Sinatria maju ke depan.  Firasatnya benar!  Ini sangat berbahaya!  Jelas sekali bahwa mereka kalah kekuatan.  Namun pangeran gagah dari Galuh Pakuan ini membusungkan dadanya. 

"Hmmmm....kalian orang orang Majapahit!  Menggunakan segala cara rendah seperti ini untuk melawan kami.  Bahkan kalian bersekutu dengan segala biang iblis tak bernurani! Jangan dikira kami takut!  Kami akan tumpahkan darah kami di sini hingga tetes darah penghabisan!  Lapangan Bubat ini menjadi saksi!  Bahwa Galuh Pakuan bukanlah pecundang yang menyerahkan harga diri sebagai persembahan!  Kami adalah pejuang yang akan menjunjung tinggi harga diri kerajaan kami! Meski tulang tulang kami harus berserakan di sini!"

Kembali suara sorak sorai membahana dari pasukan Galuh Pakuan mengiringi kalimat kalimat penuh daya juang Andika Sinatria.

"Blambangan juga akan merelakan tulang tulang kami bersama sahabat sahabat kami dari Galuh Pakuan!!"  Bersamaan dengan teriakan keras ini, berkelebat tiga sosok bayangan bergabung dengan rombongan Galuh Pakuan.  Menak Suro, Ki Mangkubumi dan putrinya Arawinda berdiri dengan gagah di samping Andika Sinatria.

Suasana menjadi sangat luar biasa tegang dan hening sekarang.  Namun keheningan itu dipecahkan dengan suara lengkingan tinggi penuh kemarahan.

"Para pengecut hanya berani beradu nyawa dengan cara curang.  Di mana harga diri kalian!!"  sebuah bayangan kembali berkelebat dan berdiri di samping Andika Sinatria. 

"Dewi...kau akhirnya datang juga..." suara Andika Sinatria bergetar lirih penuh kerinduan dan kebahagiaan sambil menatap hangat Dewi Mulia Ratri yang tersenyum kepadanya.

Ki Tunggal Jiwo maju dan berkata tenang penuh permohonan maaf.

"Kami hanya menjalankan titah Sang Mahapatih yang menjadi junjungan kami kisanak dari Galuh Pakuan.  Maafkan kami..."  seraya berkata, tokoh nomor satu Sayap Sima ini mengayunkan tangannya ke depan.

Ratusan pasukan Majapahit bersenjata lengkap menyerbu dengan gegap gempita.  Disambut dengan tidak kalah gegap gempita oleh puluhan pasukan Galuh Pakuan yang hanya bersenjatakan bilah kujang.

Ki Tunggal Jiwo menyerbu ke depan mengarah ke Andika Sinatria.  Pimpinan Sayap Sima berhadapan dengan ketua rombongan Galuh Pakuan. Terjadilah pertarungan dahsyat antara dua tokoh yang berbeda usia ini.

Dewi Mulia Ratri memegang tangan Raja Galuh Pakuan dan Putri Dyah Pitaloka untuk diselamatkan terlebih dahulu ke belakang.  Namun sang raja dengan gagah menolak.  Raja hanya berbisik lirih kepada Dewi Mulia Ratri untuk menyelamatkan Putri Dyah Pitaloka ke belakang.  Sang Raja sangat yakin tidak ada siapapun yang akan mengganggu putrinya yang bukan seorang petarung.  Peraturan perang dimanapun mengatakan itu.  

Setelah melihat putrinya aman di belakang yang tidak terjadi pertempuran, Raja Galuh Pakuan yang gagah perkasa ini mencabut kujang dari pinggangnya dan ikut terjun dalam pertempuran bersama pasukan setianya.  Namun Madaharsa menyambut dan menyerang sang raja dengan hebat.

Saat Maesa Amuk hendak maju untuk menyerang pasukan Galuh Pakuan yang tangguh.  Di hadapannya telah berdiri Putri Anjani dengan tatapan mata penuh murka.  Putri Laut Utara ini tanpa ba bi bu lagi menerjang Maesa Amuk dengan serangan dahsyat penuh dengan rasa dendam.

Resi Amamba menyerbu ke depan. Niatnya adalah untuk memporak porandakan pasukan kecil Galuh Pakuan.  Namun sebuah bayangan berkelebat menghadang.  Ki Sampaga berdiri di hadapannya dengan senyum mengejek.  Dua tokoh sesat ini langsung saja saling serang dengan ganas.

Di sisi yang lain, Ki Gularma yang datang bersamaan dengan Ki Sampaga atas suruhan Ki Mandara yang sangat mengkhawatirkan keselamatan Sang Raja, tanpa basa basi menyerang Siluman Lembah Muria yang sudah membunuh setidaknya dua orang pengawal Garda Kujang Emas Garuda.

Di sudut lapangan Bubat yang tidak dipenuhi dengan orang yang bertempur, Nini Cucara berhadap hadapan dengan kakak kandungnya Nini Papatong. Kedua kakak adik ahli sihir yang bermusuhan ini tanpa ragu ragu dan saling sapa terlebih dahulu, telah saling serang dengan ilmu sihir mereka yang berlainan aliran.  Pertempuran aneh dan menyeramkan terjadi di sini.

Raja Iblis Nusakambangan yang belum menemukan lawan tanding, berteriak penuh ancaman kepada Nyai Genduk Roban untuk membantu Nini Cucara yang sebetulnya sama sekali tidak terdesak dalam adu sihir melawan kakaknya itu.  Nenek sakti ahli sihir ini dengan enggan menuruti perintah itu setelah si Raja Iblis memberikan isyarat ancaman akan membunuh cucunya Ayu Wulan dengan menggerakkan jari ke leher.

Si Raja Iblis yang kejam ini kemudian jelalatan matanya untuk mencari lawan.  Matanya bertemu dengan mata Ki Mangkubumi yang kebetulan menatapnya dengan rasa ingin tahu.  Tubuhnya yang tinggi besar menerjang ke depan.  Arawinda segera menghadangnya seraya berteriak kepada ayahnya untuk menghadapi Bledug Awu Awu.  

Gadis ini tahu bahwa tokoh sihir Majapahit itu tidak akan bisa dihadapinya.  Hanya ayahnya yang sanggup.  Oleh sebab itu dia memilih berhadapan dengan si Raja Iblis dan ayahnyalah yang menghadapi Bledug Awu Awu.

Pertempuran pecah di mana mana.  Menak Suro yang datang bersama Arawinda dan Ki Mangkubumi, menceburkan diri dalam pertempuran. Bergabung bersama puluhan pasukan Garda Kujang Galuh Pakuan yang terdesak luar biasa hebat melawan ratusan pasukan Sayap Sima Majapahit.

Panglima Kelelawar yang sedari tadi hanya mengamati jalannya pertempuran, sangat terkejut ketika tiba tiba sebuah angin pukulan dahsyat mengarah kepadanya.  

Dewi Mulia Ratri dengan hebatnya menyerang menggunakan jurus jurus pukulan Gempa Pralaya yang telah tamat dipelajarinya dari Si Bungkuk Misteri.  Ilmu pukulan yang luar biasa ini sengaja langsung dikeluarkan oleh Dewi Mulia Ratri karena gadis ini tahu bahwa tokoh yang satu ini memiliki kemampuan tertinggi di antara semua lawan.

Pertempuran dahsyat namun tidak seimbang ini sepertinya membuat alam ikut ikutan murka.  Cuaca yang tadinya sangat cerah, mendadak menjadi sangat redup dengan datangnya mendung gelap yang sangat hitam.  Angin bertiup kencang menerbangkan dedaunan yang sebelumnya membelasah di bawah pohon pohon Maja besar di sekeliling Lapangan Bubat.  

Didahului oleh suara halilintar menggelegar dan kilat yang bertubi tubi menghantam bumi, hujan rintik rintik pun turun.  Angin yang berputar putar kencang menjadi bibit puting beliung.  Semakin membesar dan menyambar pepohonan serta membuatnya tumbang sekaligus mencabut sampai ke akar-akarnya.

Tumbangnya pepohonan itu diikuti dengan tumbangnya puluhan orang pasukan Garda Kujang Galuh Pakuan di tangan pasukan Sayap Sima Majapahit.  50 orang pengawal setia kerajaan Galuh Pakuan secara bergantian meregang nyawa di tangan musuh yang berlipat jumlahnya.  Bahkan Menak Suro ikut juga tewas dengan gagah berani di antara mereka. 

Sebuah petir yang luar biasa besar dengan keras menghantam lagi sebuah pohon Maja terbesar yang tumbuh persis di tengah Lapangan Bubat.  Pohon besar itu roboh perlahan lahan lalu tumbang dengan suara menggelegar.  

Ajaib! Ternyata itu adalah sebuah tanda bagi gugurnya seorang Raja Besar Tanah Jawa.  Baginda Raja Galuh Pakuan terduduk dengan sebilah pisau beracun Madaharsa menancap di dada kirinya.  Wajah gagah dan bijak Sang Raja tersenyum lebar penuh kebanggaan.  Sang Raja tewas terduduk bersandar pada sebuah tombak yang berhasil direbutnya tadi.

Terdengar suara jeritan menyayat hati.  Putri Dyah Pitaloka berlari kencang ke dalam gelanggang pertempuran tempat ayahandanya gugur.  

Dipeluknya tubuh perkasa sang ayah.  Diciumnya tangan yang berlumuran darah itu dengan khidmat dan takzim.  Dicabutnya pisau Madaharsa dari dada Sang Raja.  Sambil memandang langit yang masih dipenuhi petir, Putri Mahkota itu menjerit tinggi kemudian menancapkan pisau penuh darah ayahnya ke dadanya sendiri.  Kembali suara keras petir menghantam bumi.  Bersamaan dengan perginya nyawa putri pasundan yang gagah berani.

Semua tokoh pengikut Galuh Pakuan berteriak keras bersama sama mengutuk Majapahit.  Menyaksikan junjungan mereka dan putrinya tewas dalam pertempuran yang sama sekali tidak adil.  Alam semakin ikut murka.  Puting beliung menderu deru menghantam rumah dan bangunan yang ada di Lapangan Bubat.  Beberapa bangunan hancur berantakan dihantam angin ganas tersebut. 

Ki Gularma adalah seorang tokoh sesat dan jahat.  Namun melihat rajanya tewas, kemarahannya memuncak begitu hebat.  Serangan serangannya kepada Siluman Lembah Muria seperti bertambah kekuatannya.  Akibatnya begitu mengerikan.  Siluman Lembah Muria tewas dengan kepala pecah setelah pukulan dahsyat Ki Gularma menghantam kepalanya.  

Tokoh sesat ini kemudian berlari ke tengah lapangan tempat rajanya tewas.  Bersimpuh di hadapan jenazah Sang Raja yang masih bersandar pada sebuah tombak.  Menghaturkan sembah berkali kali sambil menangis tak henti henti.

Tidak berbeda dengan Ki Gularma.  Menyaksikan rajanya tewas, Ki Sampaga menyerang Resi Amamba dengan amarah yang meluap luap.  Sampai akhirnya kedua tangan mereka beradu pukulan pamungkas.  Pukulan Tangan Maut Resi Amamba menghantam dada Ki Sampaga.  Sementara pukulan sakti Ki Sampaga mengenai dengan telak dada Resi Amamba.  

Keduanya terpelanting dengan keras.  Resi Amamba tewas seketika dengan dada remuk.  Sedangkan Ki Sampaga terluka sangat parah.  Dengan darah yang mengalir deras dari mulut, mata dan telinganya, tokoh ini merangkak beringsut menuju tempat Sang Raja tewas.  Dengan niat yang luar biasa besar, sampai juga tokoh ini ke hadapan Sang Raja.  Dengan susah payah, bersimpuh dan menyembah Sang Raja, lalu tewas di tempat itu juga.

Nini Papatong yang dikeroyok oleh Nini Cucara dan Nyai Genduk Roban, meski nenek satu ini hanya melakukannya dengan setengah hati,  dalam pertandingan sihir yang luar biasa aneh.  Kini terdesak hebat.  Apalagi setelah peristiwa tewasnya Sang Raja sangat mempengaruhi konsentrasinya.  

Akhirnya Nini Cucara berhasil menyuruh ular raja kobra jejadian yang diciptakannya menggigit kakaknya.  Nini Papatong bahkan tak sempat lagi menjerit kesakitan, karena bisa ular itu langsung membuatnya tewas seketika.

Ki Mangkubumi yang masih bertarung dengan hebat melawan Bledug Awu Awu melesat cepat meninggalkan lawannya setelah melihat Arawinda yang sedari tadi terdesak bukan main menghadapi Raja Iblis Nusakambangan.  Disambarnya tubuh putrinya tepat saat sebuah pukulan si Raja Iblis yang mengarah leher putrinya justru mengenai dadanya sendiri.  

Arawinda menjerit menyaksikan ini.  Tubuh ayahnya seperti layangan putus.  Terhuyung huyung lalu jatuh dengan nyawa telah pergi dari tubuhnya. Raja Iblis ini memang tidak mengenal belas kasihan sama sekali.  Diayunkannya pukulan maut ke kepala Arawinda yang sedang duduk menangisi ayahnya.  Raja Iblis ini terpelanting keras saat sebuah tangan kecil penuh keriput menangkis pukulannya.  Belum sempat dia melihat siapa yang telah berani menghadang pukulannya.  Tubuh Arawinda telah lenyap dibawa oleh bayangan yang tadi menangkis pukulannya.

Pertarungan antara Putri Anjani melawan Maesa Amuk juga berlangsung berat sebelah sekarang.  Putri Laut Utara itu hanya sanggup bertahan saja tanpa bisa menyerang.  Ilmu kanuragan Maesa Amuk masih lebih tinggi dua tingkat di atasnya.  Tadi di awal pertarungan gadis ini sanggup mengimbangi karena banyak terdorong oleh rasa semangat berlipat lipat oleh dendamnya yang segunung terhadap tokoh Sayap Sima yang dulu menewaskan ayahnya ini.  

Namun setelah beberapa belas jurus akhirnya gadis ini tak kuasa lagi melawan dengan sepadan.  Sebuah pukulan keras Maesa Amuk tepat mengenai pinggangnya.  Gadis ini terjungkal dengan luka dalam yang sangat parah.  Jika saja Maesa Amuk mau, dengan mudah dia bisa melanjutkan pukulannya untuk mengakhiri hidup gadis itu.  

Namun tokoh yang satu ini bukanlah tokoh yang haus darah.  Ditinggalkannya Putri Anjani yang dengan merangkak masih mencoba menyerangnya. Tiba tiba salah seorang prajurit Majapahit berlari untuk menusukkan sebuah tombak ke tubuh gadis yang sudah tak berdaya ini.  Prajurit pengecut ini terjengkang ke belakang dengan tubuh hancur ketika sesosok bayangan kurus kecil menghantam tubuhnya yang tegap.  Sosok itu kemudian mengangkat tubuh Putri Anjani yang sekarat, lalu secepat datangnya, menghilang pula seperti kilat.

Pertempuran kini hanya tersisa antara Dewi Mulia Ratri melawan Panglima Kelelawar dan Andika Sinatria menghadapi Ki Tunggal Jiwo.  Gelanggang pertempuran ini adalah gelanggang pertempuran terdahsyat.  

Karena melihat Andika Sinatria terdesak oleh serangan serangan Ki Tunggal Jiwo, Dewi Mulia Ratri yang sedikit bisa mengimbangi Panglima Kelelawar berkat ilmu barunya Gempa Pralaya, berteriak agar mereka beradu punggung menghadapi lawan lawan yang luar biasa tangguh ini.

Andika Sinatria menurut.  Muda mudi ini bekerjasama melawan Ki Tunggal Jiwo dan Panglima Kelelawar.  Pertarungan dahsyat kembali digelar dengan dua melawan dua.  Awalnya mereka berdua bisa mengimbangi serangan serangan dua tokoh Majapahit dan Lawa Agung ini.  Namun setelah belasan jurus berlalu, akhirnya tetap saja mereka terdesak dengan sangat hebat.  

Seandainyapun Dewi Mulia Ratri sudah menguasai pukulan Gempa Pralaya dengan sempurna, tetap saja mereka akan terdesak.  Panglima Kelelawar adalah tokoh sakti luar biasa yang menguasai pukulan Bayangan Matahari yang mengerikan dan Ki Tunggal Jiwo adalah tokoh sakti dengan Braja Mustinya yang luar biasa dahsyat dan hanya kalah satu tingkat saja dari Raja Lawa Agung ini.

Hujan yang tadinya hanya rintik semenjana, sekarang berubah deras sederas sederasnya.  Kilat dan halilintar semakin sering menghantam bumi. Angin Puting Beliung bahkan membesar dengan dahsyat.  Menghantam semua yang dilewatinya menjadi serpihan puing dan batu.  Kabut putih yang aneh bahkan turun menyelimuti Lapangan Bubat.  

Pasukan Majapahit yang berkurang setengahnya kocar kacir berusaha menyelamatkan diri.  Pertarungan sepasang muda mudi melawan dua tokoh nomor satu dunia persilatan ini seperti tarian magis yang dilihat oleh Andika Sinatria malam sebelumnya.

Pangeran muda ini terperangah.  Ini benar benar persis seperti yang dilihatnya semalam!  Benar benar ajaib!  Ini adalah pertanda luar biasa dari Sanghyang Widi Wasesa.  Pemuda ini tersenyum lebar.  Sambil masih bertahan terhadap serangan serangan dahsyat Panglima Kelelawar dan Ki Tunggal Jiwo, pemuda ini berteriak dengan penuh kesungguhan hati kepada Dewi Mulia Ratri.

"Dewi...aku mencintaimu!...sejak dulu pertama kita bertemu!...maafkan aku!"

Tepat saat dia berteriak penuh cinta itu, dilihatnya sebuah pukulan Bayangan Matahari Panglima Kelelawar meluncur deras ke arah Dewi Mulia Ratri yang tertegun kehilangan kewaspadaannya mendengar pengakuannya.  Andika Sinatria tidak lagi berpikir panjang.  Tidak mungkin gadis itu bisa menghindar atau menangkis karena sedang kehilangan perhatian terhadap sekelilingnya.  Dibuangnya tubuh menghadang pukulan dahsyat itu agar tidak mengenai Dewi Mulia Ratri.

"Desss...desss...bruuukkkk"

Pukulan Bayangan Matahari tepat sekali menghantam dada Andika Sinatria,  bersamaan dengan meledaknya petir yang menghantam pendopo pesanggrahan. Pemuda ini terjengkang bergulingan dengan memeluk tubuh Dewi Mulia Ratri yang dilindunginya tadi.

Ki Tunggal Jiwo menghentikan serangannya melihat lawan sudah jatuh.  Namun Panglima kelelawar yang melihat kesempatan bagus, melanjutkan serangan dengan menghantamkan Pukulan Bayangan Matahari ke kepala Dewi Mulia Ratri yang masih tergeletak di bawah tubuh Andika Sinatria.

"Blaaarrr!....blaaaarrr!"

Pukulan hebat Bayangan Matahari bertemu dengan pukulan dahsyat Busur Bintang.  Panglima Kelelawar terhuyung huyung hampir jatuh.  Sedangkan Arya Dahana bergoyang goyang hampir tumbang.

Panglima Kelelawar terperangah kaget.  Pukulan Bayangan Mataharinya yang tiada tandingan ditangkis oleh pukulan aneh yang berhawa dingin luar biasa seorang pemuda dekil yang sekarang berdiri di hadapannya dengan tatapan dingin.

Raja Lawa Agung ini menimbang nimbang keadaan.  Jelas sekali bahwa pemuda di depannya ini mampu mengimbanginya.  Galuh Pakuan sudah kalah telak.  Sang Raja bahkan telah gugur.  Untuk apa dia harus berlelah lelah menghadapi pemuda yang tidak dikenalnya ini.

Setelah memutuskan, Panglima Kelelawar bersuit nyaring.  Tubuhnya berkelebat lenyap dari tempat pembantaian yang mengerikan itu.  Disusul kemudian dengan Raja Iblis Nusakambangan, Nini Cucara, dan Nyai Genduk Roban.  

Ki Tunggal Jiwo yang juga melongo melihat kehebatan pemuda yang tak dikenalnya ini, memberi tanda kepada semua tokoh Sayap Sima untuk berkumpul memberi penghormatan terakhir kepada Baginda Raja Galuh Pakuan.  Bagaimanapun juga raja yang terbunuh dalam pertempuran itu adalah salah seorang raja hebat di tanah Jawa.

Sementara itu, Dewi Mulia Ratri termangu tak percaya sambil memangku tubuh Andika Sinatria yang sudah mulai kehilangan separuh nyawanya itu. Wajah gadis itu seperti wajah orang yang kehilangan darah sama sekali.  Pucat seputih kertas dengan airmata yang mengalir seperti sungai dari kedua matanya yang kehilangan sinar sama sekali.  Dia tahu persis bagaimana keadaan Andika Sinatria saat ini. Dengan megap megap pemuda yang dadanya hangus terbakar itu berbisik lirih sekuat tenaganya yang tersisa.

"De..de..dewi...bawa a..aku...ke ayah..ayahandaku..."

Dewi Mulia Ratri terisak sambil mencoba menggendong tubuh lemah itu ke jenazah Baginda Raja Galuh Pakuan.  Gadis itu seperti kehilangan seluruh tenaganya saat mencoba membawa Andika Sinatria.  Sepasang lengan kurus dan kokoh menyambut tubuh Andika Sinatria yang hampir terjatuh akibat gadis itu seperti menjadi orang yang kehilangan akal sama sekali.

Dewi Mulia Ratri mengangkat wajah dan menyibakkan rambut panjangnya yang terurai menutupi muka.  Gadis ini menjerit sekuat tenaga sambil melayangkan tangannya ke wajah di depannya.

"Plakkk...plakkk....plakkk."

Wajah yang ditamparnya hingga berdarah mulutnya itu hanya tersenyum sabar dan penuh maklum.

Dewi Mulia Ratri semakin geram.  Diayunkannya tangannya berkali kali ke wajah pemuda itu sambil menangis tersedu sedu.

"Kau...kau...kenapa kau terlambat datang?!...ka..kalau kau..kau tidak terlambat datang...pasti...pasti..tidak akan sehancur...i..ini!!"

Arya Dahana kembali tersenyum sabar.  Tamparan berkali kali itu tidak ditahannya sama sekali sehingga darah yang mengalir di sudut bibirnya semakin deras.  Pemuda ini lalu berjalan membawa tubuh Andika Sinatria yang semakin lemas ke hadapan jenazah Baginda Raja Galuh Pakuan dan Putri Dyah Pitaloka yang meninggal dalam keadaan sang putri memeluk ayahandanya.

Saat hendak membaringkan tubuh lemas pangeran itu, sepasang tangan merenggut kasar tubuh sang pangeran.  Dewi Mulia Ratri seperti pulih kembali tenaganya, mengejar Arya Dahana dan merebut tubuh Andika Sinatria.  Kemudian memangkunya dengan tetap terisak isak tanpa suara.  

Dewi Mulia Ratri terguncang guncang tubuhnya menahan diri agar tak menangis menggerung gerung.  Apalagi setelah melihat mata pangeran muda itu semakin redup kehilangan cahaya.

Andika Sinatria mencoba menegakkan tubuhnya dengan sekuat tenaga terakhir yang dipunyainya.  Duduk bersimpuh di hadapan jenazah ayahanda dan kakaknya.  Memberikan sembah sujud terakhir kali dengan dibantu oleh Dewi Mulia Ratri yang menahan tubuhnya dari belakang.  Lalu jatuh terguling ke pangkuan Dewi Mulia Ratri.  Nafasnya tinggal satu satu saat berkata pelan kepada gadis yang dicintainya ini.

"Terima...kasih...un..tuk...se...muanya...dewi...cin..ta..ku...."

Leher pangeran itu terkulai dan pergi untuk selamanya.  

Dewi Mulia Ratri menatap tak percaya.  Memandang wajah yang sudah kosong tak bercahaya itu dengan hati seperti diiris iris sembilu.  Mata gadis itu mendadak beringas.  Dengan perlahan diletakkannya jenazah Andika Sinatria di samping Baginda Raja dan Dyah Pitaloka.  Kemudian berdiri dan menatap sekeliling dengan murka. Dilihatnya rombongan tokoh tokoh Sayap Sima masih berdiri menyaksikan tragedi memilukan itu.

"Kalian...!  orang orang Majapahit dan Lawa Agung!...dengarkan!....ini semua belum usai!!....aku akan datang kembali dengan seribu badai!...aku akan datang kembali bersama gempa!...aku akan menghancurkan kalian semua sampai ratapan kalian untuk mati tak akan terdengar oleh Sanghyang Widhi!..."

Gadis yang dikuasai amarah ini memalingkan mukanya ke arah Arya Dahana yang sedang memandangnya penuh iba.

"Kau...kau...putera Arya Prabu....orang Majapahit juga!  Kau selalu terlambat datang!...aku...aku tidak akan memaafkanmu!"

Gadis ini lalu mengeluarkan jeritan putus asa sekuat tenaga dan berkelebat lenyap dengan gema jeritannya yang masih terdengar di angkasa.

Hujan badai, petir dan kilat yang saling bersahutan tadi tiba tiba berhenti.  Alam menghentikan murkanya.  Namun sebuah murka yang lain, kelak akan datang mengguncang dunia.

Kisah Air dan Api-Idu Geni

Kisah dendam tak pernah usang
Terlahir dari ibu sedahsyat halilintar
Berbapa badai dan angin topan
Bersaudara dengan tujuh neraka di bumi
Berdarah bukan lagi merah
Bertulang sungsum magma merapi
Cemeti dendam bisa sangat menghancurkan
Merobek robek cinta
Menguras seluruh airmata yang ada
Hingga bumi tercerai berai tak bersisa

****************T A M A T*****************

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun