Raja Iblis Nusakambangan yang belum menemukan lawan tanding, berteriak penuh ancaman kepada Nyai Genduk Roban untuk membantu Nini Cucara yang sebetulnya sama sekali tidak terdesak dalam adu sihir melawan kakaknya itu. Â Nenek sakti ahli sihir ini dengan enggan menuruti perintah itu setelah si Raja Iblis memberikan isyarat ancaman akan membunuh cucunya Ayu Wulan dengan menggerakkan jari ke leher.
Si Raja Iblis yang kejam ini kemudian jelalatan matanya untuk mencari lawan. Â Matanya bertemu dengan mata Ki Mangkubumi yang kebetulan menatapnya dengan rasa ingin tahu. Â Tubuhnya yang tinggi besar menerjang ke depan. Â Arawinda segera menghadangnya seraya berteriak kepada ayahnya untuk menghadapi Bledug Awu Awu. Â
Gadis ini tahu bahwa tokoh sihir Majapahit itu tidak akan bisa dihadapinya. Â Hanya ayahnya yang sanggup. Â Oleh sebab itu dia memilih berhadapan dengan si Raja Iblis dan ayahnyalah yang menghadapi Bledug Awu Awu.
Pertempuran pecah di mana mana. Â Menak Suro yang datang bersama Arawinda dan Ki Mangkubumi, menceburkan diri dalam pertempuran. Bergabung bersama puluhan pasukan Garda Kujang Galuh Pakuan yang terdesak luar biasa hebat melawan ratusan pasukan Sayap Sima Majapahit.
Panglima Kelelawar yang sedari tadi hanya mengamati jalannya pertempuran, sangat terkejut ketika tiba tiba sebuah angin pukulan dahsyat mengarah kepadanya. Â
Dewi Mulia Ratri dengan hebatnya menyerang menggunakan jurus jurus pukulan Gempa Pralaya yang telah tamat dipelajarinya dari Si Bungkuk Misteri. Â Ilmu pukulan yang luar biasa ini sengaja langsung dikeluarkan oleh Dewi Mulia Ratri karena gadis ini tahu bahwa tokoh yang satu ini memiliki kemampuan tertinggi di antara semua lawan.
Pertempuran dahsyat namun tidak seimbang ini sepertinya membuat alam ikut ikutan murka. Â Cuaca yang tadinya sangat cerah, mendadak menjadi sangat redup dengan datangnya mendung gelap yang sangat hitam. Â Angin bertiup kencang menerbangkan dedaunan yang sebelumnya membelasah di bawah pohon pohon Maja besar di sekeliling Lapangan Bubat. Â
Didahului oleh suara halilintar menggelegar dan kilat yang bertubi tubi menghantam bumi, hujan rintik rintik pun turun. Â Angin yang berputar putar kencang menjadi bibit puting beliung. Â Semakin membesar dan menyambar pepohonan serta membuatnya tumbang sekaligus mencabut sampai ke akar-akarnya.
Tumbangnya pepohonan itu diikuti dengan tumbangnya puluhan orang pasukan Garda Kujang Galuh Pakuan di tangan pasukan Sayap Sima Majapahit. Â 50 orang pengawal setia kerajaan Galuh Pakuan secara bergantian meregang nyawa di tangan musuh yang berlipat jumlahnya. Â Bahkan Menak Suro ikut juga tewas dengan gagah berani di antara mereka.Â
Sebuah petir yang luar biasa besar dengan keras menghantam lagi sebuah pohon Maja terbesar yang tumbuh persis di tengah Lapangan Bubat. Â Pohon besar itu roboh perlahan lahan lalu tumbang dengan suara menggelegar. Â
Ajaib! Ternyata itu adalah sebuah tanda bagi gugurnya seorang Raja Besar Tanah Jawa. Â Baginda Raja Galuh Pakuan terduduk dengan sebilah pisau beracun Madaharsa menancap di dada kirinya. Â Wajah gagah dan bijak Sang Raja tersenyum lebar penuh kebanggaan. Â Sang Raja tewas terduduk bersandar pada sebuah tombak yang berhasil direbutnya tadi.