Risiko:
Fluktuasi Harga Saham: Agio saham bisa menimbulkan ekspektasi tinggi dari investor terhadap harga saham. Jika kinerja perusahaan tidak sesuai harapan, harga saham bisa turun drastis, menyebabkan kerugian bagi investor.
Overvalued Stock: Jika perusahaan menjual saham dengan harga yang terlalu tinggi (overvalued), ada risiko bahwa saham tersebut tidak mencerminkan nilai yang sebenarnya. Jika pasar mengoreksi harga saham tersebut, nilai agio saham bisa berkurang.
Contoh: Perusahaan X menjual saham dengan harga Rp1.000 per lembar, sementara nilai nominalnya hanya Rp500. Jadi, terdapat agio saham sebesar Rp500. Namun, jika kinerja perusahaan tidak sesuai ekspektasi dan harga saham jatuh menjadi Rp600 per lembar, maka investor yang membeli saham di harga tinggi bisa rugi.
2. Risiko Laba Ditahan
Laba ditahan adalah keuntungan yang tidak dibagikan sebagai dividen kepada pemegang saham dan digunakan untuk keperluan perusahaan, seperti investasi atau modal kerja.
Risiko:
Ketidakpuasan Pemegang Saham: Jika perusahaan terus menahan laba dan tidak membagikannya sebagai dividen, pemegang saham bisa merasa tidak puas, terutama jika mereka mengharapkan pendapatan dari dividen.
Investasi yang Tidak Produktif: Laba ditahan digunakan untuk investasi atau ekspansi, namun jika investasi tersebut tidak memberikan hasil yang optimal, maka laba ditahan bisa digunakan dengan cara yang kurang efektif, dan ini berisiko menurunkan nilai perusahaan.
Contoh: Perusahaan Y memutuskan menahan seluruh laba sebesar Rp10 miliar untuk ekspansi bisnis. Namun, jika ekspansi tersebut gagal atau tidak menguntungkan, dana yang diinvestasikan tidak menghasilkan laba yang diharapkan, dan ini bisa merugikan perusahaan dalam jangka panjang.
3. Risiko Laba Tahun Berjalan
Laba tahun berjalan adalah laba yang dihasilkan perusahaan dalam satu tahun berjalan sebelum dialokasikan untuk dividen, laba ditahan, atau lainnya.
Risiko:
Volatilitas Pendapatan: Jika pendapatan perusahaan sangat fluktuatif, laba tahun berjalan juga akan sangat bervariasi dari tahun ke tahun. Hal ini bisa menyulitkan perusahaan untuk merencanakan keuangan jangka panjang, termasuk dalam hal membayar dividen atau melakukan investasi.
Risiko Pajak: Jika laba tahun berjalan terlalu tinggi, perusahaan bisa dikenakan pajak lebih besar, dan jika tidak diantisipasi dengan baik, ini bisa mengurangi keuntungan bersih yang tersedia.
Contoh: Perusahaan Z mencatat laba tahun berjalan sebesar Rp15 miliar, namun karena penjualan yang tidak stabil, laba di tahun berikutnya anjlok menjadi Rp5 miliar. Fluktuasi ini bisa mempersulit perusahaan untuk merencanakan dividen atau belanja modal dengan baik.
4. Risiko Selisih Penilaian Kembali Aktiva Tetap
Selisih penilaian kembali aktiva tetap terjadi ketika perusahaan melakukan revaluasi atas aktiva tetap, seperti gedung, mesin, atau tanah, sehingga nilai aktiva tetap tersebut berubah (biasanya meningkat).
Risiko:
Penilaian yang Tidak Akurat: Penilaian kembali aktiva tetap bisa memberikan nilai yang terlalu tinggi atau terlalu rendah. Jika nilainya terlalu tinggi, laporan keuangan bisa terlihat lebih baik dari kenyataan, dan ini berisiko menyesatkan investor.
Depresiasi yang Lebih Tinggi: Jika nilai aktiva tetap meningkat akibat penilaian kembali, biaya depresiasi juga akan meningkat. Ini bisa berdampak pada laba perusahaan di masa mendatang karena biaya depresiasi yang lebih besar.
Contoh: Perusahaan Q melakukan revaluasi gedungnya, dan nilainya meningkat dari Rp20 miliar menjadi Rp30 miliar. Dengan peningkatan ini, perusahaan harus mencatat depresiasi yang lebih besar di laporan keuangannya. Jika ternyata kondisi pasar memburuk, nilai gedung bisa kembali turun, dan perusahaan mengalami kerugian dari penilaian yang terlalu optimis.