PROLOG
Jika suatu hari datang ke Gunungsitoli, kota kecilku  di pesisir timur pulau Nias, kamu akan melewati sebuah tempat dimana sepanjang jalannya dibentengi tebing besar dengan pintu gua yang telah ditimbun dengan batu besar. Konon gua tersebut amat panjang dan luas, sehingga ada yang bilang ruang gua tembus hingga ke Sirombu dan Afulu, tempat yang cukup jauh dari Kota Gunungsitoli.  Ada juga yang bilang gua tersebut masih memendam timbunan harta karun hasil rampokan pada zaman dulu. Timbunan harta yang menggunung. Banyaknya seperti mimpi dalam dongeng Ali Baba. Katanya.
Kami menyebut gua tersebut: Gua Laowomaru. Begini ceritanya....
SATU
Iwo Watomasi, Seorang Ibu  yang sedang hamil tua melangkahkan kakinya ke bale-bale tempat tidur. Perutnya serasa bergerak-gerak dari tadi. Calon bayi seperti tak sabar ingin keluar melihat dunia. Iwo Watomasi mengelus perutnya yang semakin besar dan meringis akibat tendangan si bayi dalam perut. Kakinya diangkat ketempat tidur dan membaringkan tubuhnya pelan-pelan. Suaminya sedang malu1  ke hutan mencari buruan. Ia belum kembali sejak dua hari yang lalu. Ia sangat kuatir akan keselamatan suaminya. Walaupun suaminya, Lahari  termasuk orang yang memiliki kesaktian, tapi berburu adalah hal baru yang ia lakoni.
Suaminya adalah pelaut yang ulung. Laut dan samudra sudah banyak ia arungi. Tapi saat ini, berada di lautan adalah hal sangat berbahaya. Bukan karena bajak laut atau pedagang asing bersenjata yang sudah cukup ramai di lautan, tapi karena kengerian yang lebih besar berdiam di lautan. Saat ini lautan diganggu teror Haria, seekor ular purba besar dan kuat. Haria mengklaim sebagai penguasa lautan, raja diraja samudra, Â sehingga kapal-kapal yang tidak tunduk kepadanya segera ia hancurkan. Ia mendatangi pantai dan kota dipesisir untuk meminta upeti emas. Teror Haria inilah yang membuat banyak pelaut, termasuk suaminya beralih menjadi pemburu.
 " Semoga Ia baik-baik saja..." doa sang Ibu kepada suaminya sambil mulai menutup matanya.
Entah berapa lama hening tak berubah sampai sang ibu merasa ada yang memanggilnya. "Ina...Ina2..." suara itu sayup terbawa angin di telinga sang Ibu. Mula-mula Sang Ibu berpikir itu hanya suara gesekan daun di folofa3 Â rumah. Tapi suara itu terus berulang kembali.
" Siapa Itu....?"
Sang Ibu bangkit mengangkat punggungnya. Kepalanya melirik kiri dan kanan. Tak ada seorangpun dalam ruangan kecil kamar tidurnya. Ia merasa jantungnya berdebar agak kencang. Makhluk apakah itu. Apakah bekhu4 dari dunia gelap yang selalu melayang-layang mencari manusia berjiwa lemah.
"Ibu... ini aku...anakmu...!"
"Anak ...anakku..? Apa maksudmu?" seru sang Ibu lebih kaget lagi. Kepalanya kembali melirik semua sudut ruangan. Ia merasa sangat takut dan berharap suaminya yang perkasa bisa berada di sini. "Di mana kamu. Tunjukkan ujudmu.."
"Ibu...ini aku. Dalam perutmu...."
"Apa....?!"
Sang Ibu mengalihkan matanya ke arah perutnya. Perutnya kelihatan bergerak-gerak, seakan-akan sedang menari-nari. Anehnya Ia merasa tidak kesakitan.
"Iya, Bu..." suara itu terdengar lagi. Kali ini, Ibunya berusaha menajamkan telinganya dan memastikan suara itu benar berasal dari perutnya. Ia belum yakin, tapi membiarkan suara itu berbicara lagi. " Â Aku anakmu. Bayi dalam perutmu."
" Bagaimana kamu bisa bicara...aku...aku..." seru Ibunya heran. Ibunya merinding. Ia kaget dengan suara bayi dalam perut. Ia  lebih takut lagi gelegar suara penuh percaya diri sang bayi. Kalau tidak dikatakan agak sombong. " Benarkah Engkau yang bicara, Anakku..." ujar Ibunya meyakinkan. " Apakah kamu baik-baik di dalam sana...?"
"Iya, Â Bu. Aku sangat sehat berkat lindungan Ibu. Tanpa Ibu aku tidak akan tumbuh dengan baik.." Ibunya tersenyum. Ia mengusap perutnya dengan penuh kasih sayang. Perutnya bergerak seperti merasakan usapan telapak tangan Sang Ibu.
"Anakku ini benar-benar sebuah keajaiban. Ini sebuah kejutan yang tak pernah dibayangkan."
"Iya, Ibu. Jangan kaget. Saya sengaja berbicara pada Ibu karena ada yang mau saya sampaikan." Ibunya berusaha tenang, Â "Ketahuilah Ibu, aku akan lahir dengan kekuatan yang sangat luar biasa. Aku dianugerahi ilmu mandraguna yang tak terkalahkan"
"Anakku bagaimana bisa seperti itu..?
"Aku titisan roh para leluhur. Aku dianugerahi ilmu dari Tuada Simanga Bua Weto Alit 5 . Kekuatanku adalah pemberiannya agar bisa menjaga tanah yang kita cintai ini, Tan Niha. Â 6 dari kekuatan jahat Si Ular Besar"
"Oh...Anakku," desah Ibunya mendengar nama Si Ular besar. Itu Haria. Ular yang menguasai laut dan samudra. Ular yang kejam dan ganas.
"Tapi aku butuh bantuan, Ibu.." seru anaknya lagi.
"Apa itu, anakku...?" tanya Ibunya heran
" Di atas kepalaku nanti akan tumbuh sembilan helai rambut kawat.." ujar Sang bayi lagi," Saya mohon,  Ibu  agar  jangan pernah dipotong oleh siapapun." "Jangan pernah ceritakan kepada siapapun. Itulah kelemahan dari kekuatanku. Jangan pernah dilihat orang lain selain Ibu. Tutupilah ia agar tak pernah dilihat orang lain. Selain itu buatkanlah saya sebuah pedang besar dari batu langit. Tempalah ia kepada pandai besi yang terkenal"
"Untuk apa itu...."
"Lakukanlah Ibu. Pada saatnya Ibu tahu apa gunanya. Pedang itulah yang akan membunuh Si Ular Besar."
Ibunya tercenung sejenak. Tapi akhirnya ia mengangguk "Baiklah, Anakku..."
Setelah itu, Gerakan dalam perutnya mulai berhenti. Suara itu tidak terdengar lagi. Ibunya mengelus perutnya penuh kasih sayang. Walau kagetnya belum usai, ia merasa anakknya menyampaikan dengan jelas pesannya. Tidur, tidurlah, Anakku, bisiknya pelan. Ia kembali tidur dengan lelap. Saat ia bangun, ia merasa mimpinya begitu aneh.
Hari  berjalan dan tibalah kelahiran sang bayi. Dukun bayi bersiap dan Ere 7 merapal matra dan doa. Lahirlah bayi laki-laki yang sehat dan rupawan. Mereka menamakannya Laowomaru. Dalam keadaan lemah, Ibunya memperhatikan kepala si bayi. Mengusapnya. Ia merasakan ada bagian yang agak berbeda. Tapi ia belum yakin. Ia mengusap pelan-pelan. Ia merasakan ada yang agak menonjol tipis tapi lembut. Ia menarik nafas. Ia ingat mimpinya.....
DUA
Tak ada yang tidak takut akan sepak terjang Haria. Ia digambarkan sebagai seekor ular besar dari dunia yang sangat purba. Kepalanya seperti bukit yang berjalan, ekornya meliuk-liuk dengan pukulan yang mampu melululantakkan kapal sekali kibas. Mulutnya bertaring dan menyemburkan api pembawa maut. Ia adalah pengauasa laut di Samudra Hindia yang luas dan tenang. Ribuan orang telah menjadi korbannya. Kapal-kapal dihancurkan setelah isinya dikuras. Emas dan perak dikumpulkan dalam sebuah tempat yang tak tersentuh. Ada yang bilang emas dan perak itulah yang menjadi alas tidurnya. Lautan menjadi kuburan luas yang menakutkan. Hampir-hampir tak ada kapal yang berani berlayar. Para pelaut beralih menjadi petani atau pemburu.
Melihat kapal-kapal mulai sepi, Haria mulai mengalihkan perhatiannya ke daerah pantai. Mulailah ia menebarkan kengerian ke rumah-rumah di daratan. Â Tak sedikit para orang sakti dari penjuru Nias datang berharap bisa menjadi pahlawan. Tapi kegentaran menciutkan nyali saat bayangan Haria di depan mata. Mereka datang sia-sia.
Akhirnya kepala-kepala ri8 yang disebut Tuhenri berkumpul dan mengutus seorang untuk bernegoisasi kepada raja lautan tersebut. Hasilnya, mereka sepakat setiap waktu tertentu, Haria akan dikirimkan sebuah kapal berisi emas, perak, puluhan ternak besar, berkarung-karung sirih, pinang, tembakau, gambir dan kapur sirih. Ini cukup menyenangkan bagi Haria. Ia memuaskan dirinya tidur di atas tumpukan emas dan perak. Meramu sirih kesukaannya sambil makan daging mengisi perutnya yang besar. Â Jadilah manusia sebagai pelayan setianya.
Kedigdayaan dan ketamakan Haria menjadi dongeng pengantar tidur bagi seluruh anak-anak di Tan Niha. Mereka menurunkan cerita menggugah sang anak agar mencari jalan keluar memusnakan Haria.
Demikian pula Laowomaru.
Sang anak telah tumbuh menjadi pemuda yang tegap. Dadanya bidang dengan otot mengeras. Rambutnya berkibar dengan muka bercahaya memperlihatkan kematangan. Sejak kecil ia dilatih ayahnya dan kakeknya Sofuso Kara berbagai kesaktian. Ia terus berlatih siang malam untuk mencapai kesempurnaan. Tapi keluarganya menyadari bahwa kemampuan Laowomaru melebihi yang mereka bayangkan. Ia memiliki bakat dan kesaktian yang luar biasa.
Ia berperang melawan  ri yang lain dan mampu mengalahkan seratus prajurit perang musuh sekaligus dengan tangan kosong. Ia juga pernah mengalahkan boroe 9  raksasa dengan mencabut pohon kelapa untuk dijadikan pemukul kepala boroe tersebut. Kekuatannya tidak tertandingi oleh siapapun.
Haria mengganggu pikirannya.........
Itulah yang ditakutkan Ibunya. Ia lebih senang jika Laowomaru, anaknya diam di rumah dan membiarkan Haria begitu saja. Siapa tahu ular itu menua dan akan mati dengan sendirinya. Ia menyesal menuruti keinginan suami dan mertuanya untuk terus menceritakan kisah Haria kepada Laowomaru. Ia tahu Laowomaru dipersiapkan untuk itu.
Suatu malam, Laowomaru mendatangi Ibunya. Ibunya yang mulai memutih rambutnya memandang wajah anaknya. Ia tersenyum. Getir. Karena ia tahu apa yang akan disampaikan Laowomaru.
"Ibu..." seru Laowomaru, "Aku mau pamit. Besok aku akan ke Laut mencari Haria. Aku mau Ibu merestui saya."
Ibunya mengusap kepala anaknya dengan lembut. Ia mengangguk pelan. Ia tahu Laowomaru datang bukan untuk meminta izin. Tanpa izinnya, Laowomaru pasti berangkat juga menantang Haria. Â Ia telah bertekat melawan Ular Raksasa itu. Sejak dari Laowomaru masih bayi, ia sudah bermimpi tentang itu. Tak ada gunanya melarang.
 Ibunya melangkah ke arah kamar mereka. Sesaat kemudian  kembali dengan membawa pedang besar dengan sarung berwarna emas. Balatu Nifolasara. Pedang para panglima perang Nias yang kepalanya berbentuk binatang mitos Nias dan umumnya dilukiskan sebagai perahu" Inilah pesananmu dulu..."
Laowomaru takjub melihat pedang itu. Ia telah lama bermimpi tentang pedang di tangan ibunya. Dalam mimpinya ia disuruh mengambil sebuah pedang di tangan ibunya jika mau menantang Haria. Dengan hati-hati, ia mengambil pedang tersebut. Ia merasakan energi besar dari batu langit bahan asal pedang tersebut. Kemudian setelah puas menikmati ketakjubannya, ia mencium tangan Ibunya dan bergerak cepat tanpa menoleh ke belakang lagi. Di sana belasan pemuda tegap menunggunya. Ia memandang mereka semua. Pemuda yang memiliki tekad yang sama dengannya. Ia mengangkat pedangnya tinggi dan berteiak lantang, "Besok, mari kita berlabuh ke Laut. Ini akhir dari Haria...!! Semua bersorak.
Ibunya menangis. Ia tidak kuatir tentang pertempuran melawan Haria. Ia kuatir untuk sesuatu yang lebih besar lagi. Lebih besar dari kengerian Haria.
TIGA
Laowomaru berdiri di atas anjungan kapal besar. Berpakaian baju perang dilapisi rompi kulit dan  lempeng logam. Celananya berbentuk cawat seperti lilitan kain menjuntai hingga ke lutut. Di bagian leher dan pergelangan dilingkari gelang berwarna emas tanda kebangsawanannya. Ia siap berperang.
Samudra Hindia cukup tenang saat itu. Para pemuda di kapal mempersipkan diri untuk pertempuran besar. Mereka tahu kematian bisa saja mendatangi, tetapi keyakinan akan keperkasaan Laowomaru menghilangkan ketakutan itu.
"Lemparkan umpan.....!" seru Laowomaru dari anjungan
Segera para pemuda mengangkat belasan karung yang tergeletak di lantai kapal dan melemparnya ke laut. Karung-karung itu berisi sembilan karung sirih, sembilan karung tembakau, sembilan karung gambir, sembilan karung pinang dan sembilan karung sirih. Sebagian karung tersebut tenggelam dan sebagian lagi melayang terbawa arus laut. Tapi masih belum ada tanda-tanda kehadiran Haria.
"Bunyikan Aramba dan faritia ana'a10..!" Â teriak Laowomaru memerintahkan mereka mengambil gong dan canang yang sengaja di buat dari bahan emas. . Para pemuda segera mengambil Gong dan canang tersebut dan mulai memukulnya keras-keras. Mereka meyakini, Haria pasti tertarik jika mencium aroma emas dari suara gong tersebut.
Benar juga. Tidak lama kemudian, mereka mulai merasakan kehadiran si Ular besar. Kapal mereka terguncang oleh gelombang laut yang tiba-tiba muncul. Para pemuda tersebut menghentikan memukul gong. Kapal terangkat dan terlempar ke kiri dan ke kanan. Para awak kapal berteriak dan berpegangan.  Mata  para prajurit muda itu, memandang laut dan was-was. Bagaimanapun, mereka tidak bisa menyembunyikan ada rasa takut dalam hati. Sementara yang lain ketakutan, Laowomaru malah merapal mantera. Ia sudah siap!
Gelombang laut makin meninggi. Dan tiba-tiba dari kedalaman lautan muncul gundukan mirip bukit menyembul ke atas. Kepala Haria. Para awak kapal takjub sekaligus ngeri. Baru sebagian kepala muncul, besarnya melebihi seratus besar kapal mereka. Kepala Haria bergoyang-goyang. Ia mengeluarkan desis lebih mirip lenguhan kerbau lapar. Mata merahnya tak berkedip memandang ke arah kapal yang mirip biji pohon kecil di tengah lautan.
"Hua....hua..." lenguhnya lagi, "Siapakah yang datang ke daerahku dan berani mengganggu tidur  Sang raja samudra dengan sirih dan suara gong yang memekak..?"
Laowomaru melompat lebih dekat ke arah Haria. Berdiri tegap dengan pedang di pinggang. " Hai, Haria, Sang Ular Perkasa," teriaknya lantang," kami sengaja datang ke sini untuk menghentikan kengerian yang engkau ciptakan!"
Haria tertawa panjang. "Ha..ha.ha..., Siapakah engkau pemuda kecil yang berani menantang Sang Maut?" seru Haria bergema, "Tidakkah ada yang mengajari kamu untuk  mengasihi hidupmu. Aku Haria sang dewa yang tak terkalahkan..!"
" Jangan takabur, Haria.." seru Laowomaru tak kalah gertak. " "Engkau Ular perkasa, tetapi Akulah Laowomaru, keturunan Tuada Simanga Bua Weto Alit sang pembunuh Ular tersebut..!"
Haria mendesis pelan. Ia sudah biasa mendengar tantangan seperti itu. Pelan-pelan ia menyembulkan tubuh keluar dari permukaan laut. Sebagian besar tubuhnya muncul dari bawah laut yang membuat semua orang terpana. Benar-benar luar biasa. Ini pertama kali mereka melihat Haria secara langsung. Baru sebagian tubuhnya nampak, tetapi sudah setinggi gunung Lolomatua, gunung tertinggi di pulau Nias.
"....dan apa masih adakah keberanian itu, Laowomaru kecil?" ujar Haria meremehkan sambil memamerkan tubuhnya.
Laowomaru tak memungkiri. Ia dihantui sedikit ketakutan. Tapi tekad sudah bulat. " Tubuhmu tak mencitkan nyali, Haria. Kuhadapi engkau dalam pertarungan hidup mati..!" Laowomaru menoleh prajuritnya. Lalu ia berteriak nyaring "Serang..... !!"
Segera prajurit melempar tombak dan panah ke arah Haria. Tombak dan panah berterbangan ke udara dan kemudian mengenai tubuh Haria. Tetapi yang mereka lihat hanya menambah ciut nyali. Tombak dan panah mental begitu saja. Tubuh Haria terlalu keras untuk senjata semacam itu.
"Ha...ha..." Haria tertawa nyaring. Dan tiba-tiba ia mengerakkan tubuhnya. Air laut meninggi.  Dengan cepat ekornya bergerak mengibas kapal milik Laowomaru. Hal ini  tak diduga para awak kapal. Mudah saja ditebak, hantaman ekornya menghacurkan kapalnya.
"Lompat..lompat.." teriak mereka panik.
Haria mendesis. Tak memberi kesempatan, ia menerkan kepingan kapal dan menelan begitu saja. Semua berteriak ketakutan. Laowomaru  sepertinya terlambat menghindar. Beberapa awak kapal termasuk  Laowomaru  ditelan Haria yang besar bersama sebagian pecahan kapal mereka. Pertarungan yang tidak seimbang tersebut hampir saja lebih cepat usai sebelum dimulai. "Dimanakah kau, Laowomaru?" seru Haria lagi, "Apa engkau sudah di dalam perutku? Ha..ha"
"Hampir benar, Haria..." seru Laowomaru tiba-tiba dari kerongkongan Haria, " Aku masih dalam kerongkonganmu. Kamu pikir, engkau sudah menang, Ular sombong. Inilah akhir hidupmu!"
Rupanya inilah yang diharapkan Laowomaru. Di dalam kerongkongan Haria, ia mengibaskan pedang miliknya. Dengan pedang keramat miliknya, mudah saja bagian dalam keongkongan Haria terluka. Haria menjerit. Tubuhnya berguling-guling. Laowomaru tak memberi kesempatan lagi, ia meluncur ke arah jantung si Ular dan mengibasnya dengan cepat. Â Haria menjerit kesakitan. Tetapi kali ini suaranya lebih mirip lenguhan kerbau di meja jagal. " Terkutuk engkau, Laowomaru, Terkutuk engkau!!!" teriaknya berkali-kali.
Laowomaru menebas kembali daging bagian dalam Haria. Menciptakan lubang besar dimana bisa keluar dari dalam tubuh Haria.
Haria masih lama berguling-guling sebelum mati. Ada yang bilang itulah asal mula penyebab gelombang tinggi di bagian barat pulau Nias yang berbeda dengan laut lainnya. Laut menjadi merah darah dan lengkingan Haria terdengar jauh sampai ke daratan. Setelah agak lama, akhirnya ia tewas. Tubuhnya mengambang dan terbawa arus ke selatan. Konon bagian tubuhnya menjadi pulau-pulau di selatan Nias.
Awak kapal yang tersisa bersorak gembira. Ini akhir tirani Haria. Kabar kematian Haria segera menyebar ke daratan. Semua gembira. Mereka  menyambut pahlawan yang baru datang dari laut. Pesta diadakan selama beberapa hari. Emas dan perak di kumpulkan sebagai rasa sukur. Laowomaru menikmatinya.
Sangat menikmatinya....
EMPAT
Menerima kehormatan sebagai pahlawan, memiliki harta rampasan bekas milik Haria membuat Laowomaru mulai memiliki kepongahan. Ia merasa, momentum ini tidak boleh hilang. Belum begitu lama, ia mengumpulkan kepala ri dan memaklumatkan kekuasaannya. Ia memerintahkan semua kepala  ri untuk memberi upeti seperti yang mereka berikan kepada Haria. Jika ada yang menolak, maka kehancuran akan melanda mereka. Tentu saja semua jadi terkejut. Dari pujian kepadanya menjadi makian dan umpatan. Beberapa orang bersikap menentang dan berani melawannya, tetapi dengan cepat prajurit Laowomaru menangkap dan menghabisi mereka. Tirani baru tercipta.
Laowomaru belum puas. Dia mulai membentuk pasukan bajak laut yang dipimpin para anak buahnya saat melawan Haria dulu. Mereka berlayar jauh ke samudra dan merampok kapal-kapal dagang yang lewat. Hartanya makin banyak. Mereka menimbunnya dalam gua yang disulap menjadi istana baginya.
Sementara itu Tuhenri mau tidak mau mengabulkan permintaan Laowomaru. Dengan terpaksa mereka mengumpulkan kembali harta mereka untuk jadi upeti buat Laowomaru. Mereka mengantarnya ke Gua yang menjadi kediaman Laowomaru. Pada saat mereka mengantar upeti itu, mereka melihat seorang putri yang cantik yang merupakan istri Laowomaru bernama Sihoi dan seorang putra yang mulai berangkat remaja.
Ini membuat mereka mendapatkan akal mengalahkan Laowomaru
Diam-diam mereka bersengkongkol dengan pihak asing untuk menangkap istri dan anak Laowomaru. Saat Laowomaru berada di lautan bertempur dengan kapal-kapal  tempur milik orang asing yang mengawal kapal dagang, para prajurit ri menyerang gua Laowomaru. Gua yang hanya dikawal beberapa prajurit dapat dikuasai dengan mudah. Mereka menangkap Sihaoi dan anaknya untuk dijadikan umpan menaklukan Laowomaru.
Ketika Laowomaru kembali ke guanya dari pertempuran yang melelahkan, dia menemukan guanya dipenuhi ribuan prajurit tempur. Istri dan anaknya berada dalam sebuah pasung dengan lebih sepuluh ujung pedang menempel di tubuh mereka. Digerakkan sedikit saja, maka pedang tersebut akan menancap di tubuh mereka.
Laowomaru sangat marah. Suaranya menggelegar membuat bulu roma bergidik." Apa yang kalian lakukan. Jika istri dan anakku terluka, semua akan kuhabisi malam ini.."
"Jangan bergerak, Laowomaru," seru seorang Tuhenri. "Jika engkau bergerak, maka engkau hanya akan memeluk mayat mereka."
Laowomaru  merasa tidak mampu berbuat apa-apa. Bisa saja ia membunuh semua orang di tempat itu dengan mudah, tetapi ia yakin ia tidak akan sempat menyelamatkan istri dan anaknya. "Baiklah...apa yang kalian mau...?"
"Kami ingin engkau menyerah, Laowomaru. Engkau sudah kelewat batas." Laowomaru berguman tak jelas," Kalau kamu menyerah kami akan membebaskan istri anakmu."
Laowomaru tak dapat berbuat apa-apa. Segera prajurit ri menangkapnya. Mereka tahu Laowomaru kebal senjata, jadi tak berguna menggunakan senjata tajam. Mereka mengikatnya dengan tali yang dimatrai. Kemudian mengikatnya pada sebuah kayu balok besar. Tidak hanya sampai di situ, Laowomaru dimasukkan ke dalam api yang menyala-nyala. Melihat itu, Laowomaru berontak, tapi ia tak dapat memutuskan tali tersebut. Api segera membakar tubuh Laowomaru. Tetapi luar biasa ia bahkan tak terluka sedikitpun. Hanya saja panas tetap membuatnya lemah. Orang-orang mulai kuatir. Api menghanguskan balok kayu tempat ia diikat. Bahkan tali pengikatnya satu persatu putus. Laowomaru tidak apa-apa selain tubuhnya agak lemah.
Api padam. Tubuh Laowomaru tidak terluka sama sekali. "Ikat kembali, Laowomaru..!!" teriak salah seorang Tuhenri. Segera prajurit bertubuh besar menangkapnya. Dalam keadaan lemah, Laowomaru tidak mampu berbuat apa-apa. Tubuhnya diikat kembali dengan tali yang sudah dimatrai. Kemudian dibawa ke laut dengan sebuah perahu. Di tubuhnya diikatkan pula batu besar sehingga menenggelamkan tubuhnya saat dilempat ke laut. Laowomaru tenggelam ke dasar lautan tanpa bisa berbuat apa-apa. Selain tali yang sudah dimatrai, tubuhnya juga masih sangat lemah.
Musuh-musuh Laowomaru berpikir inilah akhir dari hidup orang sakti tesebut. Mereka membubarkan diri dan kembali menekuni hidupnya kembali. Mereka membiarkan Sihoi meratapi nasibnya. Harta Laowomaru dikuras dan dibagi ke semua ri.
Tetapi mereka belum tahu bahwa ini belum berakhir.
Laowomaru tenggelam ke dasar lautan selama beberapa hari. Tetapi selain kesepian yang dia alami di dasar lautan, ia tidak mengalami apa-apa. Rasanya api yang panas dan dinginnya dasar lautan tidak mampu membunuhnya. Ia terlalu sakti untuk itu. Pelan-pelan tali yang mengikatnya putus dengan sendirinya. Matra tali mungkin juga habis karena terlalu lama, tetapi yang pasti ia melihat tubuhnya menjadi lebih kuat. Dalam keheningan lautan, ia malah menambah kesaktian dengan bermeditasi di dalamnya.
Ia muncul kembali kedaratan dan mendapati istrinya dalam duka yang mendalam. Tetapi ketika melihat tubuhnya yang masih segar, istrinya sangat terkejut dan sempat pingsan saking kagetnya.
Segera berita kemunculan Laowomaru menyebar ke seluruh daerah. Teman-temannya kembali dan bersimpuh setia kepadanya. Musuh-musuhnya ketakutan dan memilih bersembunyi. Sebagian lagi diam-diam menaruh kembali harta rampasan ke guanya dan mengirim utusan agar Laowomaru tidak marah. Melalui utusan itu, mereka menyatakan menyerah dan bersedia mengirim upeti dua kali lipat dari yang ia minta pertama kali
Walau banyak yang menganjurkan dia untuk memerangi semua ri, dia malah menerima tawaran tersebut. Ia punya impian lain yang ia pikirkan selama dalam lautan. Nias terlalu kecil untuk kesaktiannya. " Saatnya menaklukan Tanah  Rami.  Daratan yang luas.."  Tanah Rammi atau Rami adalah sebutan kuno buat pulau Sumatra.
Ia kumpukan beberapa pemuda prajuritnya termasuk putranya. " Mari kita menarik gunung. Memecah bukit untuk dijadikan jembatan menuju pulau Rami. Mari kita menaklukan pulau itu. Emas dan perak menunggu kita." Ia berikan kepada mereka  minuman penambah kesaktian, Niogas namanya. Pesannya, "Jangan pernah menoleh ke belakang sebelum tujuan kita tercapai. Selama kita meminum air ajaib ini, maka kekuatan kita akan bertambah. Lapar, haus dan kelelahan tidak akan kita rasakan. Tetapi jika seorang dari kita menoleh ke belakang, maka lehernya putus dan apa yang dilakukan akan sia-sia."
Mulailah pekerjaan menarik daratan Nias ke arah pulau Sumatra. Tanah bergerak pelan-pelan oleh beberapa orang sakti tersebut dengan tekad menguasai pulau Sumatra tersebut. Masyarakat Nias memperhatikan dari jauh. Mereka kagum akan kesaktian Laowomaru. Tetapi tidak sedikit diantara mereka yang menjadi kuatir. Jika Tan Niha bersatu dengan daratan Sumatra akan banyak yang mereka takutkan akan terjadi. Sumatra adalah pulau besar dengan peradaban yang lebih maju. Sejarah mencatat peradaban yang lebih tinggi akan menguasai peradaban yang lebih kuno. Â Laowomaru bisa saja menguasai sebagian Sumatra, tetapi mereka yakin, jika seluruh Sumatra bersatu, mereka akan hancur.
"Bayangkan semua orang Sumatra pindah dengan mudah ke sini. Ribuan orang. Bahkan ratusan ribu orang. Segala kebudayaan asing, termasuk ragam kepercayaan akan masuk ke tempat kita dengan mudah. Â Tidak tertutup kemungkinan berbagai penyakit mematikan akan melanda pulau kecil kita. Kita akan tersingkir..." ujar seorang Tuhenri kepada Iwo Watomasi, ibu dari Laowomaru. Seluruh kepala ri dan bangsawan berkumpul menemui sang Ibunda. Iwo Watomasi didampingi istri Laowomaru merenung. Ia memahami maksud tujuan mereka. Tetapi mengorbankan anaknya adalah sesuatu yang harus ia pikirkan betul. Sementara itu, daratan pulau Nias semakin lama semakin tertarik ke arah Sumatra.
Akhirnya ia memanggil kembali  para  Tuhenri dan bangsawan pulau Nias. "Saya sudah bicara dengan Sihoi, istri Laowomaru, " ujar Iwo Watomasi. "Mari kita buat kesepakatan, Aku akan memberitahu kelemahannya, tetapi biarkanlah anak dan cucuku hidup."
Para  Tuhenri dan bangsawan setuju. Sihoi, istri Laowomaru membuka suara. Sambil menangis ia memberitahu bahwa di atas kepala suaminya tumbuh sembilan rambut kawat. Jika itu dipotong, maka ia akan lemah. "Tapi berjanjilah, biarkan Laowomaru hidup. Aku akan merawatnya walau tanpa kesaktiannya."
Segera mereka menuju pantai. Di sana mereka berteriak agar Laowomaru berhenti menarik pulau Nias. Tetapi teriakan mereka tak digubris Laowomaru dan prajuritnya. Jangankan berhenti, menolehpun tidak. Orang-orang mulai tidak sabar. Seorang Ere tiba-tiba berdiri di belakang barisan penarik dan berteriak, "Hentikan itu, Laowomaru. Atau istri dan ibumu akan kami bunuh."
Laowomaru tidak peduli. Ia tahu takkan ada yang berani melakukan itu. Tetapi putra kesayangannya menjadi cemas. Ia kuatir akan keselamatan ibu dan neneknya. Spontan ia berbalik dan menghunuskan pedangnya ke arah Ere itu. Naas baginya, pesan Laowomaru ia lupakan. kutukan air Niogas menimbulkan korban. Kepala putra Laowomaru putus seketika. Teman-teman Laowomaru, kaget. Tanpa sadar mereka juga menoleh ke belakang mau melihat putra Laowomaru. Tapi akibatnya kepala mereka jatuh menggelinding ke arah kaki Laowomaru.
Laowomaru sangat terkejut. Tapi ia tahu, jika ia menoleh sebelum sampai tujuan  kepalanya akan mengalami hal yang sama. Tetapi ia merasa kekuatannya hilang begitu saja. Bukan karena kesaktiannya tak ampuh lagi. Tapi kesedihannya pada kematian putranya membuat ia terduduk. Ia menangis dalam diam. Dalam pilu, ia tidak tahu berbuat apa-apa. Ia hampa. Semua menunggu. Tak ada yang berani berbuat apa-apa.
Tetapi harus ada yang bertindak. Mereka mengumpulkan keberanian. Segera mereka tahu, kesempatan menyerang Laowomaru adalah sekarang. Mereka melompat sebagaimana para prajurit. Dalam sekejab Laowomaru  berhasil diikat dengan  tali yang dimatrai. Anehnya, Laowomaru tak berbuat apa-apa. "Aku sudah berakhir..." bisiknya pelan. Segera para prajurit memegang kepalanya dan menarik rambutnya. Dengan sebuah pedang, rambutnya ditebas. Sembilan rambut kawat dirambutnya putus seketika. Laowomaru menjerit. Ia merasakan bahwa kesaktiannya tiba-tiba hilang.
"Biarkan dia hidup...!!" seru seorang Tuhenri mengingatkan janji mereka. Prajurit yang menebas rambutnya tersenyum. Ia sudah diingatkan untuk tidak melukai Laowomaru. Tetapi kelebat bayangan keluarganya yang mati dalam pertempuran melawan Laowomaru meninggalkan dendam yang perih. Ia sudah rencanakan ini..
Pedangnya bergerak cepat. Semua berteriak mencegah. Tetapi terlambat. Tebasannya yang pertama langsung membuat kepala Laowomaru terputus. " Awai saae...11!" ujarnya.
Udara menjadi amat dingin. Bumi bergetar. Membuat semua orang ketakutan. Mereka berlarian mencari perlindungan. Laut  tiba-tiba bergelora dan mengamuk. Alam ikut tergoncang. Batu-batu di gua Laowomaru berjatuhan. Menimbun semua yang ada di dalamnya. Semua harta emas terpendam dan tak satupun berhasil menemukannya.
 Sampai sekarang.
EPILOG
Saat ini daratan yang ditarik Laowomaru dikenal sebagai Ture Wodo (Tanjung Wodo) yang  terletak tidak jauh dari gua Laowomaru. Keduanya menjadi objek wisata dan terus diceritakan turun temurun. Banyak orang yang penasaran memasuki gua Laowomaru untuk mencari kebenaran harta karun tersebut, tetapi kadar oksigen yang rendah membuat mereka banyak yang kehilangan kesadaran. Tetapi ada yang bilang, Laowomaru telah mengutuk gua tersebut
SELESAI
Catatan kaki
- Malu (bahasa  Nias) artinya berburu
- Ina (bahasa  Nias) artinya Ibu
- Folofa (bahasa  Nias) artinya dinding kamar dari anyaman bambu
- Bekhu (bahasa  Nias) artinya Iblis atau setan
- Tuada Simanga Bua Weto Alit  adalah nama seorang leluhur pertama orang Nias yang dikenal sebagai orang sakti
- Tan Niha (bahasa  Nias) artinya Tanah Nias. Secara harafiah berati Tanah para manusia. Orang Nias menyebut mereka sebagai Ono Niha (Anak Manusia).
- Ere (bahasa  Nias) artinya Iman agama tradisional suku Nias
- ri (bahasa  Nias) artinya kesatuan negeri yang dipimpin Tuhenri. Merupakan organisasi pemerintahan pada zaman dulu yang terdiri atas beberapa Banua. Pada masa Orde baru, kesatuan negeri ini dihapus oleh pemerintah dan memperkenalkan istilah desa.
- Boroe (bahasa  Nias) artinya kadal berukuran besar
- Aramba dan faritia ana'a (bahasa  Nias) artinya Gong dan canang yang terbuat dari emas
- "Awai saae.." (bahasa  Nias) artinya "Berakhilah sampai di sini..."
BIODATA PENULIS
Â
Nama               : MEIRISMAN HALAWA
TTL Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â : GUNUNGSITOLI, 18 MEI 1979
JENIS KELAMIN Â Â Â Â : LAKI-LAKI
PENDIDIKAN Â Â Â Â Â Â Â :S2/UPI
PEKERJAAN Â Â Â Â Â Â Â Â : GURU
ALAMAT Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â : JL. FONDRAKO NO 12 GUNUNGSITOLI
                       PROV. SUMATERA UTARA KP 22813
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H