Mohon tunggu...
Meyfa Nur Isnaeni
Meyfa Nur Isnaeni Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - XII MIPA 7

Semangat!!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bakti untuk Negeri

21 November 2021   07:27 Diperbarui: 21 November 2021   07:33 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

" Dor " terdengar suara tembakan dan teriakan dari istriku. Aku tak tau apakah mereka selamat atau tidak.

Setelah 2 jam bersembunyi tepat pukul 06.00 WIB tanggal 1 Oktober 1965. Sembari tertatih-tatih, aku kembali ke rumahku dengan melompati pagar. Aku langsung mencari keberadaan istriku dan anak-anakku. Kudapati mereka bertiga sedang menangis tersedu-sedu sambil menatap anakku yang kedua berbaring lemah dengan bersumpah darah

Aku : " Anakku " ku tak bisa menahan kesedihan ku lagi

Aku tak bisa diam saja membiarkan kekacauan ini terjadi. Aku ingin menangkap para pengkhianat keji it. Ku meminta ajudan dan iparku untuk membawaku ke departemen pertahanan dan keamanan. Komandan-komandan Staf Markas Besar AD (Kostrad), Letkol Hidajat Wirasondjaja, Mayor Sumargono, dan iparnya, Bob Sunarjo Gondokusumo kemudian mengantarnya menggunakan mobil. Pada hari yang sama, aku, mengirimkan kabar kepada Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto mengenai keadaanku. Aku kemudian dibawa ke Makostrad untuk mengatur siasat penumpasan pemberontak G30S.

Operasi penumpasan G30S PKI diarah ke sejumlah tempat yang telah dikuasai para simpatisan PKI. Salah satunya adalah wilayah Bandar Udara Halim Perdana Kusuma. setelah daerah sekitar Istana Merdeka dan Medan Merdeka bersih dari pasukan G30S/PKI, maka operasi penumpasan terhadap kaum pemberontak ditujukan ke Pangkalan Halim Perdanakusuma dan sekitarnya yang digunakan sebagai basis oleh pemberontak.

Situasi militer di Ibukota segera berubah karena direbutnya inisiatif dari Gerakan 30 September PKI oleh Kostrad. Pangkostrad Mayjen Soeharto melalui Ajudan Presiden, Kolonel KKO Bambang Widjanarko, mengirimkan pesan kepada Presiden Soekarno agar meninggalkan kompleks Halim, selambat-lambatnya pada pukul 24.00, karena Kostrad telah mengetahui pangkalan itu merupakan basis kekuatan fisik pemberontak. Perkembangan menjelang petang, berlangsung dengan cepat, sehingga pemberontak yang berkedudukan di Halim dan sekitarnya merasakan tekanan situasi. Akhirnya, mereka segera menyingkir keluar Halim. Perintah Presiden melalui Brigjen Supardjo agar menghentikan gerakannya, menimbulkan kerumitan bagi D.N. Aidit, Sjam, dan Pono.

Dengan ketegasan sikap Mayjen Soeharto tersebut, yang dibarengi dengan operasi-operasi penumpasan secara militer, jelas bahwa Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma tidak akan mungkin dapat dipertahankan lagi. Presiden Soekarno beserta rombongan pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 23.30 telah meninggalkan Pangkalan Halim Perdanakusuma melalui jalan darat menuju Bogor. 

Kemudian pada pukul 01.00 dini hari tanggal 2 Oktober 1965, Jenderal Soeharto memerintahkan kesatuan-kesatuan RPKAD dibantu oleh Batalion 328 Kujang/Siliwangi, satu kompi tank dan satu kompi panser Kavaleri untuk membebaskan Pangkalan Halim. Kepada pasukan-pasukan yang ditugasi dipesankan, agar dalam melaksanakan perintah ini sedapat mungkin menghindarkan pertumpahan darah serta menghindarkan pengrusakan terhadap benda-benda yang berguna. 

Demikianlah sekitar pukul 03.00 pagi, pasukan tersebut bergerak menuju sasaran yang telah ditentukan. Pada pukul 06.00 pagi, lapangan udara Halim telah dapat dikuasai kembali. Namun karena luasnya kompleks Halim, kekuatan-kekuatan pemberontak ternyata tidak seluruhnya mengundurkan diri.

Gerakan penumpasan selanjutnya adalah menuju desa Lubang Buaya yang diperkirakan sebagai tempat pembunuhan terhadap 7 orang Perwira Tinggi Angkatan Darat. Dan disana Kemudian, ajudanku yakni Lettu Pierre Tendean dan enam jenderal TNI AD ditemukan di sebuah sumur berdiameter 75 sentimeter dan kedalaman 12 meter dalam keadaan tidak bernyawa. Pada pukul 14.00 gerakan pembersihan oleh satuan-satuan RPKAD dan Yon 328 Kujang di sekitar Cililitan dan Lubang Buaya dihentikan karena para pemberontak telah buyar melarikan diri ke luar kota.

Saat telah mengusai Halim dan bubarnya pasukan pemberontak, maka gagallah kudeta Gerakan 30 September yang didalangi PKI itu. Para pemimpin pemberontak meninggalkan Halim menuju ke Pondok Gede, dan selanjutnya menyelamatkan diri dari kejaran RPKAD. Langkah-langkah untuk menumpaskan G30S PKI terus berlanjut dengan sejumlah operasi yang dijalankan. Di antaranya adalah operasi Trisula di Blitar Selatan serta Operasi Kikis di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun