Selasa, 3 Desember 1918 tepatnya di desa Hutapungkut, kota Nopan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara aku dilahirkan ke dunia. Ayahku bernama Abdul Halim Nasution seorang pedagang yang menjual tekstil maupun karet dan kopi yang kemudian dijual kepada para pedagang Cina di Padang Sidempuan, Sibolga, Bukit Tinggi atau Padang. Ayahku ini sangat religius, ia sangat taat dalam beragama bahkan ia menjadi anggota dari serikat Islam. Ibuku bernama Zahara Lubis seorang wanita hebat dan pintar. Aku dilahirkan ke dunia dengan selamat dan sehat, berkat perjuangan ibuku dan kasih sayang ayah ku.
Nenekku pernah bercerita, tentang kelahiran ku di tengah pandemi flu Spanyol yang melanda dunia, yang banyak menguras air mata. Ibuku berjuang sendirian tanpa di dampingi ayah ku karena ayahku sedang berdagang di kota Sibolga, kota pelabuhan kurang lebih 180km dari Hutapungkut. Pada saat itu kendaraan bermotor jarang ada, orang pergi berdagang dengan menaiki padati atau kereta kuda sehingga memakan waktu yang lebih lama. Setelah 28 jam lebih, ibuku merintih kesakitan karena kontraksi yang tiada henti. Aku lahir pada hari Selasa, tanggal 3 Desember 1918 tepat pukul 10.30 WIB. Sesaat setelah aku lahir, kakekku membisikan adzan di telinga ku.
Aku adalah anak kedua sekaligus putra tertua dalam keluargaku. Meskipun aku tidak tahu keadaan saat aku lahir, tetapi dari semua cerita yang aku dengar dari nenekku, keluarga ku sangat senang ketika aku lahir. Katanya, banyak saudara yang datang dan membawa bingkisan makanan yang terdiri dari ayam panggang dan telur.Â
Bingkisan tersebut memiliki makna tersendiri. Ayam panggang sebagai pelambang induk ayam yang selalu mendahulukan mencari dan memberi makan anaknya. Telur rebus yang berwarna putih bermakna agar si anak berjiwa bersih. Sedangkan kuning telur melambangkan kebebasan dan kehormatan dari seseorang, layaknya emas yang juga berwarna kuning.
Sejak kecil orang-orang sering memanggilku dengan sebutan Nas. Aku bukan lah anak priayi yang cukup sandang pangan dan papan. Aku dibesarkan dengan penuh kesederhanaan.Â
Dulu saat kecil aku sangat kurus bahkan sampai tulang rusukku terlihat. Aku tak pernah mandi dengan sabun, andaikan mandi dengan sabun pun aku menggunakan sabun sisa cuci piring untuk digunakan mandi. Makan dengan daging, merupakan hal istimewa bagi ku, biasanya yang ku makan hannyalah sayur daun singkong dengan garam sebagai penyedap rasa.Â
Tapi, itu semua tak pernah dijadikan alasanku berkeluh kesah tentang nasibku, aku sangat bersyukur karena Aku tumbuh dengan baik, berkat ibuku yang membesarkanku dengan penuh rasa kasih sayang, ia tak pernah lelah mengurusku, mengajariku, mendampingi diriku sedari kecil. Tahannya ibuku, ayahku pun berjuang dengan keras untuk bisa membahagiakan dan menghidupi anak dan istrinya.
Sejak kecil aku senang berolahraga terutama bermain sepak bola. Lapangan yang sering aku gunakan bersama teman teman ku adalah lahan bekas sawah yang di tanami padi sesudah panen. Dan bila yang digunakan berasal dari jeruk Bali karena saat itu belum ada bola plastik atau karet. Setelah bermain sepakbola biasanya aku dan teman temanku mandi bersama di kali atau berjalan jalan ke bukit untuk mencari buah yang tumbuh di hutan. Selain suka bermain sejak kecil aku juga suka membaca buku, buku buku sejarah sering kali ku baca, mulai dari kisah Nabi Muhammad saw sampai buku tentang perang Belanda dan Prancis. Terkadang orang orang memanggilku si kutu buku. Menurutku membaca buku itu menyenangkan karena buku adalah jendela dunia dimana kita bisa melihat dunia tanpa harus melakukan perjalanan, hanya cukup membaca sebuah halaman kita bisa tahu kejadian di belahan bumi lain.
Meskipun keluargaku adalah keluarga yang sederhana, tapi darah Mandailing mengalir dijiwa orang tuaku. Mereka sangat memperhatikan tentang pendidikan. Mereka rela menghemat dan bekerja keras demi menyekolahkan anak laki laki mereka. Di masyarakat Mandailing terdapat perkataan "Biarlah makan ikan asin dan sayur saja agar dapat menyekolahkan anak-anaknya". Ibu dan ayahku pernah berdebat tentang masa depan ku. Ayahku menginginkan aku belajar di sekolah agama setelah aku menamatkan sekolah dasarku. Tapi ibuku menginginkan aku melanjutkan sekolah ke sekolah umum yang dulu di sebut sebagai sekolah Belanda.
Pada tahun 1925 ketika aku memasuki usia sekolah, aku bersekolah di pendidikan dasar HIS ( Hollandsche Inlandsche School ) atau setara dengan Sekolah Dasar di Katanopan, yang kira kira 6 kilometer dari kampung Huta Pungkut. HIS merupakan sekolah pertama untuk orang Indonesia yang mempunyai kedudukan yang sama dengan ELS, didirikan di Indonesia pada tahun 1914.Â
Pendirian HIS menjadi salah satu titik penting dalam pendidikan orang Indonesia di masa itu. Sekolah ini diperuntukan bagi golongan penduduk keturunan Indonesia asli, sehingga disebut juga Sekolah Bumiputera Belanda. Pada umumnya disediakan untuk anak-anak dari golongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka, atau pegawai negeri. Lama sekolahnya adalah tujuh tahun. Sekolah ini memenuhi keinginan orang pribumi untuk melanjutkan pelajaran sampai tingkat setingi-tingginya. HIS dipandang sebagai alat pemerintah kolonial untuk menyebarkan bahasa Belanda dikalangan rakyat. Bukan ingin menyombongkan diri, tali aku merasa bangga aku bisa bersekolah di sana.Â