Mohon tunggu...
Suci Ayu Latifah
Suci Ayu Latifah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Satu Tekad Satu Tujuan

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Resolusi Suci Ayu Latifah "Ketika Aku Ingin..."

23 Juli 2019   21:20 Diperbarui: 23 Juli 2019   21:25 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diselimuti kesepian sebagai anak-anak, kuhabiskan dengan menonton televisi acara kartun dan si unyil. Televisi hasil buah kerja waktu di Jakarta itu di bawa ke Desa Pangkal. Awalnya, televisi ini berada di Sawoo, karena saat dibeli Ayah, kami masih tinggal di Sawoo. Sebemnya akan kuceritakan bagaimana Ayah  membeli televisi itu. sekitar umur tiga tahun setengah, Ayah izin Ibu untuk bekerja ke Jakarta. Di sana Ayah kerja borongan bersama adiknya. Membangun sebuah rumah di komplek perumahan di Jakarta Selatan. Informasi pekerjaan itu, Ayah dapatkan dari keluarga yang tinggal di sana. Selama hampir setahun kerja di Jakarta, Ayah pulang membawa sebuah televisi 21In. Televisi merk Changhong buatan China itu di antar sebuah mobil. Kemudian di belakang itu ada Ayah bersama Pak ojek.

Rindu tertahan. Aku memeluk Ayah dengan erat. Selang beberapa menit setelah itu, Ayah menunjukkan padaku sebuah kardus. Alangkah terkejutnya aku, begitu Ayah membukakan kardus itu. Yaitu berisi minuman susu indomilk kesukaanku. Ayah pali tahu apa yang aku suka. Ayah pula membelikanku boneka beruang yang besar. Setiap tidur boneka itu aku peluk hingga aku besar. Ketika aku pindah ke Pangkal boneka beruang itu aku bawa. Aku suka sekali boneka itu. Karena boneka pertama kali yang kumiliki, sebelum aku memiliki boneka Hello Kitty waktu aku TK.

Suatu malam, ketika keluarga kami bersama Nenek makan bersama, terdengar ramai-ramai di jalan depan rumah. Kami tak menghiraukan, terus melanjutkan makan. Tak berapa lama setelah itu, ada suara ketukan pintu. Ternyata keluarga adik ayah bernama Boyani datang. Ia bersama istri dan Aziz, anak laki-laki satu-satunya. Kami mengajak mereka datang. Akhirnya, kami makan bersama-sama. Di selang-seling makan, sesekali ada obrolan kecil dan candaan.

Aziz adalah saudara yang pertama kali aku kenal. Aku menyapanya dengan sebutan "Dik Aziz", sedangkan ia menyapaku dengan "Mbak Suci". Tapi, karena ia merasa lebih tua dari aku, tak mau menyapaku "mbak", sementara aku selalu menyapanya "dik". Setelah pertemuan malam itu, Aziz sering bermain ke rumahku. Ia membawa sepeda kecilnya dengan cara dituntun. Sebab, jalan menuju rumahku posisi naik. Oh iya, rumah Aziz berjarak 200 meter dari rumahku ke arah Timur posisi menurun. Kalau dihitung rumah, harus melewati 6 rumah. Karena di desa rumahnya berjarak-jarak jadi terasa jauh. Setiap rumah di desa, pasti memiliki pekarangan. Pekarangan-pekarangan itu ditanami macam empon-empon, seperti jahe, kunyit, kencur, laos, sirih, dan lainnya.

Aziz setiap sore ke rumahku bermain sepeda ontel. Ia begitu mahir bermain sepeda, karena mahirnya pernah suatu hari ia mengajakku boncengan. Kami memutari rumah berkali-kali. Tiba diputaran yang entah ke berapa, tak sadar di dekat tempat wudhu, sepeda kami terpelitir batu. Kami pun terjatuh. Aku menindih tubuh saudaraku itu. Dia menangis karena tangannya terluka akibat tertindih setir. Aku takut. Aku pun ikut menangis. Kulihat tangan saudaraku itu berdarah. Tidak cukup banyak sih darahnya. Tapi karena ini pertama kali aku tahu darah jadi aku pun takut.

Dengan segera, ibu yang mendengar tangisan kami, langsung menolong. Tangan Dik Aziz dibersihkan darahnya, lalu diobati dengan betadine. Ibu berusaha menghentikan tangisannya. Barangkali, itu pertama kali ia jatuh sampai berdarah. Sementara aku, digendong nenek dibawa ke dalam rumah. Supaya aku cepat diam, nenek melipurku dengan menyalakan televisi. Perlahan tangisku berhenti. Sebenarnya tubuhku tidak ada yang terluka. Mungkin hanya saja shok jadi aku menangis.

Tak beberapa lama, Ibu membawa Dik Aziz masuk. Kulihat ia sudah berhenti menangis. Sebentar kemudian, Ibu datang membawakan dua gelas susu untukku dan Aziz. Kata Ibu, supaya luka di tangan segera sembuh, harus diobati dengan minum susu. Dua gelas susu, kami teguk bersama-sama. Kemudian, kami menonton televisi.

Memasuki umur empat tahun lebih delapan bulan, Ayah memasukkanku ke sebuah lembaga Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPA). Di sana kata Ayah, aku akan diajak belajar membaca iqro, hafalan surat, gerakan salat, hafalan doa-doa dan lain sebagainya. Di sana pula, aku diajarkan bermain dan bernyanyi. Hari pertama masuk TPA, aku diam saja. Di sana, banyak anak-anak seusiaku dan lebih tua belajar. Ada yang disimak mengaji, ada yang menulis, ada yang menggambar, ada pula yang berlarian hingga membuat guru ngaji kala itu marah. Ternyata, saudaraku Aziz juga ikut TPA. Waktu itu dia sudah jilid 2.

Di TPA itu, aku mendapat teman banyak. Ia sangat baik padaku. Ketika istirahat, mereka mengajakku bermain petak umpet, dakon, puzzle, bongkar pasang barbie, dan masih banyak lagi. Permainan di desaku, bermusim-musiman. Kalau misal ada yang memulai bermain kelereng, semuanya bermain kelereng. Kalau bermain dakon, semuanya juga bermain dakon. Tapi permainan antara laki-laki dan perempuan berbeda. Ya ada yang sama, tapi kecenderungan ada yang berbeda. Ingatan yang terbesit, anak perempuan bermain dakon, anak laki-laki bermain dam-daman dan macan-macanan. Tiga permainan itu sama, yaitu menggunakan batu. Hanya saja cara bermainnya yang berbeda.

Dakon, sebenarnya sudah ada isinya, seperti butiran kopi. Terkadang semisal bosan, isi dakon itu diganti dengan batu berukuran sedang. Cara bermainnya pun mudah. Aku yakin, semua anak pasti bisa,termasuk aku. Baru sekali diajari aku langsung bisa. Setiap rumah biasanya diberi penghuni 7 orang. Boleh juga diberi enam atau lima, akan tetapi harus sesuai kesepakatan dengan lawan main.

Ketika bermain putar, setiap rumah yang dilewati diberi sebuah batu. Nah, ketika batu itu berakhir ditempat kosong milik daerah kekuasaan pemain, dan kebetulan rumah tetangga berpenghuni, penghuni itu bisa diambil menjadi milik kita. Namun, misal batu berakhir pada rumah tetangga yang juga kosong, maka pemain tidak mendapatkan apa-apa. Di akhir permainan, siapa yang memiliki penghuni rumah paling banyak dialah pemenangnya. Bagi si pemenang, ia diberi kesempatan bermain duluan.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun