Mohon tunggu...
Suci Ayu Latifah
Suci Ayu Latifah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Satu Tekad Satu Tujuan

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Resolusi Suci Ayu Latifah "Ketika Aku Ingin..."

23 Juli 2019   21:20 Diperbarui: 23 Juli 2019   21:25 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanjap gas! Aku bersama saudaraku Aziz menuju calon sekolah. Kebetulan, saudaraku satu ini juga belajar di sana. Dia sudah kelas 3, sedangkan aku akan kelas 1. Tanpa tes, hanya mengiso formulir, dan wawancara sedikit. Tak nyana, panitia PPDB ada yang sudah aku kenal. Beliau Bu Siti. Awal kenal Bu Siti adalah gara-gara saya pernah ke rumah guru SMP, bernama Bu Utik Handayani. Bu Utik, sapanya adalah guru bahasa Indonesia. Cantik, pintar, ramah, murah senyum, kata-katanya motivatif, dan ke-Ibuan. Beliau masuk daftar guru idola yang kesekian. Ya, tersebab baru diajar ketika kelas 2, itupun bergantian dengan guru satunya Bu Endang.

Masa pendaftaran usai. Hari pertama masuk kelas, terasa begitu asing. Kulihat satu per satu teman kelas. Mereka dari berbagai desa, mulai dari ujung timur, utara, selatan, dan barat. Teman yang aku kenal pertama kali adalah Anis Fitriah. Dia anak desa Maguan. Lulusan dari SMA 2 Sambit. Semasa MOS, aku sebenarnya sudah tahu dia saat perkenalan di hadapan semua teman. Hanya saja aku belum ngbrol saat itu. Justru ketika MOS, teman yang aku kenal adalah cowok. Dia asli Jawa Barat yang saat itu menetap di Bibis Sambit. Anaknya baik, ramah, enak diajak ngbrol, dan playboy. Aku hampir saja kepincut dengannya.

Kemudian ada Afandi. Afandi adalah teman kedua yang aku kenal  saat MOS. Sebab, masa MOS, aku setiap hari bersamanya. Tepatnya menunggu bus bersama. Afandi asli Maluku, tapi menetap di desa Blumbang Sawoo. Dia anaknya ramah, mudah bergaul, asyik, lucu, tidak bisa berbicara bahasa Jawa, dan gupuhan. Ia paling panik kalau ada apa-apa, misal tidak mendapat bus hingga pulang sore, atau panik karena perlengkapan MOS tidak terpenuhi. Tiga tahun, sampai lulus Afandi menjadi sahabatku. Bahkan, meski terpisah kelas dia IPA-1 dan aku IPA-2 kami pernah belajar bersama dalam rangka mengikuti lomba OSN Geografi. Aneh bukan?

Ya, meski kami anak IPA. Tetapi oleh guru, bernama Bu Edy diajukan untuk lomba OSN Geografi. Karena di antara siswa masa kelas 1 yang menurut Bu Edy lebih menguasai mata pelajar itu, adalah aku dan dia. Aku senang-senang saja saat ditawari maju di lomba tersebut. Karena di sisi lain, suka dengan mata pelajaran IPS Geografi. Ya, dari pelajaran itu, aku seakan melihat kejadian alam, di langit, di bumi, di luar angkasa, dan seluruh jagat raya. Aku jadi tahu, tentang dunia---gejala sosial dan lainnya.

Afandi, aku merasa kehilangan padamu. Setelah berpisah kedua kalinya, karena melanjutkan sekolah, ada kenangan kebersamaan yang terbesit. Suatu ketika, aku merasa teramat kehilangan padamu, karena kau telah dipanggil Tuhan gara-gara sakit paru-paru. Kau terbaring di rumah sakit sekitar kampusmu di Solo. Tubuhnya yang dulu gendut menjadi kurus. Semoga kau tenang di sana, ya Afandi.

Terlalu mendayu jika bercerita tentang masa lalu. Okelah, lanjut. Masa di kelas satu begitu banyak yang aku persiapkan---adaptasi dengan teman, dan lingkungan utamanya karena sekolahku dekat dengan sawah. Kalau musim panen, misalnya selalu terganggu oleh suara tlaktor membalikkan tanah yang akan ditanam. Kemudian, suara selep padi ketika memanen. Kadang pula, ada ular kecil yang masuk kelas. Entah itu ular sawah atau ular sungai. Sebab, depan kelasku itu ada sungai kecil.

Masuk di kelas 2 SMA, aku sudah pandai bersahabat dengan lingkungan, teman, guru, dan semuanya. Bahkan, aku cukup terkenal di sekolah. Alasanya: (1) penjual kripik keliling kelas saat istirahat, (2) pernah menjuarai lomba qiro antar kelas, (3) menjadi bagian dari OSIS, (4) sering terlambat dan pulang sekolah paling akhir karena tidak dapat bus, dan (5) termasuk siswa datang paling awal.

Sejak kelas 2, aku melakukan bisnis kecil-kecilan. Yaitu jualan kripik keliling kelas saat istirahat. Kripik yang aku jual, ada kripik kentang, ketela rambat, singkong, dan pisang. Kripik-kripik itu ada empat varian, yaitu asin, gurih tawar, manis, dan pedas. Nah, dari sekian teman-teman yang paling disukai adalah pedas, dan asin. Setiap hari aku membawa 20-30 bungkus kripik seharga lima ratusan. Bisnisku kripik banyak yang suka. Bahkan ada beberapa teman yang sempat memborong, ada juga yang pesan khusus.

Tak hanya teman-teman. Para guru pun banyak yang membeli. Biasanya kalau ketika mengajar, beberapa guru membeli di kelas. Kadang pula membeli saat aku melewati kantor guru. Ya, awalnya aku malu mau menawarkan kripik pada guru-guru. Tapi siapa yang menduga, sampai ada dua, tiga, empat guru yang memesan kripik untuk acara arisan keluarga dan camilan di rumah. Senang rasanya. Banyak yang suka dengn kripik. Karenanya itu, aku PD saja saat menjajankan. Hasil jualan, kembali ke modal untuk membeli minyak goreng. Kalau untuk bahan adalah hasil kebun. Beruntunglah, di kebun, menanam bahan untuk kripik.

Setiap pulang sekolah, Ibu mulai menggoreng kripik. Sementara Ayah memasah calon kripik. Usai aku makan siang, segera menggantikan Ibu menggoreng. Hmm, jangan ditanya, meski aku sedikit manja, aku juga bisa melakukan urusan rumah tangga. Terbukti, Ayah paling suka kalau aku masakkan sayur sup dan ikan goreng. Sedangkan adikku, mendapat bagian membungkus kripik itu. namun sebelum itu, kripik-kripik itu aku bumbui dulu, misal manis atau pedas. Kalau sudah selesai barulah dimasukkan ke bungkusan kripik. Terkadang misal gorengnya sampai sore hari, kripik-kripik itu dibungkus pada malam hari. Baru paginya, kripik siap dijualkan.

Bisnis kripik berjalan hingga kelas 3. Tepat di pertengahan semester 1, bisnis itu perlahan tak tertib karena bahannya menipis. Tak apa, aku sudah mendapat banyak pengalaman bisnis kecil-kecilan. Dari pengalaman bisnis kurang lebih satu tahun lebih itu, ada pelajaran penting jatuh-bangun saat berbisnis itu biasa. kita perlu ingat, ketika kita di atas, tak boleh sombong, lupa bagaimana perjalanan mulai dari merangkak, kemudian bisa berdiri. Sedangkan ketika di bawah, kita tak boleh menyerah. Akan ada waktu di mana di atas, karena roda terus berputar.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun