Ini adalah lanjutan cerita fiktif yang beberapa pekan lalu saya publikasikan ~
Happy reading ....
- -oOo-
23 Maret 2004
Hari ini hujan padahal pagi tadi matahari sangat terik menyinari bumi, kenapa sore menjadi sangat gelap gini? Huh.....
Aku dan adikku tengah menonton televisi sembari bercanda gurau.
"Kak kenapa kambing kakinya empat?"
"Ya emang udah takdirnya begitu" Jawabku enteng
"Terus kenapa juga ular jalannya pake perut?"
"Pake perut aja udah gesit gimana kalau punya kaki, ikut lomba lari nasional kali"
"Ih... Adek nanya serius Kak..."
Aku tertawa terpingkal-pingkal, gemas sekali rasanya dengan adik laki-lakiku ini. Dia berusia 7 tahun, empat tahun dibawahku. Dia masih kelas satu sekolah dasar. Karena merasa kesal, Adikku menggelitik telapak kakiku dengan ganas, membuatku tertawa hingga meneteskan air mata.
Suara ketukkan menghentikan kegiatan kami, adik pun membuka pintu, dan berdirilah sosok paman, teman Ayah.
Hujan sore ini dan kedatangan paman itu menjadi awal memori kelamku. Menjadi awal untuk hujan-hujan berikutnya yang membuatku kian terluka. Ini awal dimana aku berubah, aku menyadari satu hal, diam bukanlah emas melainkan kebodohan, dan berontak bukanlah ketidaksopanan melainkan untuk membela diri, menghindar dari kemungkinan buruk.
Tapi aku adalah kebodohan itu.
"Kenapa Ayah tidak percaya padaku?"
"Sungguh.....Aku berkata jujur"
Hal inilah membuatku benci diriku sendiri, Ayahku dan paman dikala hujan itu. Dan untuk pertama kalinya aku membenci suara hujan.
Trauma yang berkelanjutan hingga waktu yang menelan trauma itu sendiri.
-oOo-
10 Juli 2004
Hari ini adalah awal aku menggunakan seragam putih biru. Ya aku berhasil melanjutkan sekolahku, kini aku bersekolah di SMP Harapan di Semarang.
Jujur saja aku gugup, karena memang aku tidak mudah bergaul seperti yang lain. Masa orientasi siswa sudah berakhir kemarin, tapi tetap saja selama tiga hari itu aku masih canggung bercekrama dengan yang lain kecuali satu orang, dia adalah Tasya yang memang kebetulan teman sekolah dasarku. Tasya memang cerewet dan mudah bergaul dengan yang lain maka dari itu dia sudah mendapat teman banyak.
"Kantin yuk"
"Tapi Sya...aku lupa bawa dompet" Jawabku seraya meringis pelan
Tasya menggelengkan kepalanya pelan, dia mencubit pipiku dan bahkan menariknya.
"Heran deh... barang berharga gitu sempet-sempetnya nggak dibawa"
Aku hanya terkekeh. Memang aku ini orangnya pelupa. Pernah suatu ketika, aku keluar masuk kamar lima kali hanya karena aku lupa mau mengambil apa. Dan akhirnya aku menyerah dengan menidurkan tubuhku ke kasur. Kata Tasya, lupa ku ini kebangetan, aku  masih muda gimana nanti tua, pikun kuadrat kayaknya.
Kaki kami pun melangkah menuju kantin. Aku mendengus kesal ketika sampai di pintu masuk kantin, hal inilah yang membuatku malas ke kantin saat jam istirahat berlangsung. Kapan coba kantin sepi? Saat jam pelajaran pun kantin masih terlihat ramai --walaupun tidak seramai saat istirahat- entah itu anak-anak yang bolos atau memang sedang tidak ada pelajaran. Aku mengedarkan pandanganku mencari meja yang kosong.
"Eh Sya...ada meja kosong tuh..."
"Mana si?"
"Itu loh di pojok deket lorong kamar mandi" Ujarku seraya menempel kedua tanganku di wajahnya, kemudian aku arahkan ke meja sebelah  kanan kantin yang aku maksud tadi.
"Yaudah kamu duduk dulu sana, biar nggak diduluin orang. Oh ya, mau pesen apa Ri?"
"Bakso pedes banget kuadrat"
Akhirnya Tasya mengantri untuk pesanan kami dan aku menuju meja kosong tadi. Aku meletakkan tanganku diatas meja, kemudian menompang daguku dengan tangan. Kata Tasya kalau aku sedang seperti ini, pipiku rasanya mau tumpah saja.
"Dor....."
Aku tersentak kaget ketika seseorang dari arah belakangku berteriak tepat di telingaku. Daguku terkatuk meja dengan tidak elitnya, aku mengusap daguku pelan. Merah pasti ini daguku, duh....Bunda ini sakit, gigiku rasanya mau rontok.
"Ya ampun.... aku  ngagetin kamu ya?"
Pake nanya lagi kesalku dalam hati. Aku hanya diam saja tak menanggapi cowok berkacamata itu, tanganku sibuk mengusap daguku yang perih.
"Maaf ya... aku kira temenku"
"Sakit tau..." Lirihku
"Duh... aku harus gimana dong?"
Dia bertanya panik, tangannya menggantung di udara, sepertinya dia berniat mengusap daguku tapi dia juga ragu. Lagian kalau dia mau mengusap daguku, langsung aku lempar tuh tangan.
Aku hanya tersenyum, sepertinya memang dia tidak bermaksud seperti itu. Walau aku sudah tersenyum dan mengatakan tidak apa-apa, dia terus saja berujar panik.
"Udah tenang aja, ini cuman merah ko, nanti juga ilang sendiri"
"Maaf ya, aku nggak sengaja serius..."
Aku menganggukan kepalaku mantap, mataku menelisik mata hitam legamnya. Matanya sungguh membuatku terbuai akan tatapan itu. Mata besar dibalik frame kamacamatanya, alis tebal, hidung mancung, dan....
Astaga..... aku mikir apaan????
Aku menggelengkan kepalaku, mengetuknya pelan agar pikiranku sedikit jernih.
"Loh kepalamu sakit?"
"Eh?"
Aku mengedipkan mataku berkali-kali. Ini ngapain si cowok berkacamata pegang-pegang tanganku?
"Itu kok kepala kamu diketuk gitu? Sakit ya gara-gara tadi?"
"Eh...enggak ko. Maaf tanganku"
Si cowok menatap tangannya yang berada di pergelangan tanganku, dia berucap maaf dan melepaskan genggamnya. Setelah berkali-kali mengucap maaf --dan aku bosan mendengarnya- akhirnya dia pergi ke arah segerombolan cewek cowok di meja tengah kantin.
Setelah dari tadi aku menunggu Tasya akhirnya cewek itu datang dengan mangkok di kedua tangannya. Tasya duduk didepanku, dia menaikkan alisnya dan mengerut bingung.
"Itu kenapa deh dagu mu merah banget?"
"Abis nyium meja, siapa tau mejanya jadi pangeran" Jawabku asal
"Anjir...aku tuh nanya serius ya. Kamu kira kita lagi di film pangeran meja"
"Itu pangeran kodok, Sya..."
Kami pun mengakhiri obrolan tak bermutu kami, waktu istirahat tinggal lima belas menit lagi. Aku menyantap baksoku dengan lahap, sepertinya aku melupakan sesuatu.
Ini kenapa si Tasya nggak pesen minum...ish anjir pedes banget lagi
"Sya...kayaknya kamu lupa sesuatu deh"
"Hem?"
Tasya hanya berdehem menjawab ucapanku. Ngeselin nih anak satu, untung sahabat, untung dipinjemin duit, untung Riani sabar.
"Kamu nggak pesen minum?"
Tasya mengedipkan matanya lucu, sepertinya dia sedang loading memikirkan pertanyaanku. Beberapa detik kemudian Tasya bangkit dari duduknya, dan berlari kecil untuk membeli es teh di mamih --sebutan ibu penjual bakso dan es di kantin sekolahku- dengan mulut yang berucap hu..hah. Kelakuan Tasya memang unik.
Aku kembali tersentak kaget, mataku menatap minuman kotak didepanku. Dengan segera ku angkat kepalaku, menatap punggung cowok, dia yang tadi memberiku minuman ini. Tapi sepertinya dia bukan cowok  berkacamata itu. Cowok --pemberi minuman kotak- itu keluar dari kantin, aku tak melihat wajahnya dengan jelas, yang ku tahu dia memiliki punggung yang tegap dan lumayan tinggi.
"Loh....Kamu beli itu pake apa?"
'Gatau Sya.... tadi ada yang ngasih pas aku kepedesan nunggu kamu"
"Banyak fans nih"
"Fans bukannya temen sekelas kita?"
"Itu Frans..... dodol ikh...udah cepet habisin"
Tasya menghabiskan satu gelas es teh didepannya, aku pun melakukan hal yang sama. Pikiranku masih tertuju pada minuman kotak yang sedari tadi aku genggam ini.
Sebenarnya dia siapa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H