“Bapak ‘kan bisa ikut Nuning atau mas Alif.”
“Nggak bisa, Nduk. Lagi pula Bapak juga nggak mau.”
“Kenapa Bapak gak mau tinggal sama kami?”
“Begini. Alif, sekarang kamu dah punya anak. Tugas dan tanggung jawabmu sebagai suami dan bapak semakin berat. Kamu harus bisa menafkahi, mengurus, mendidik, membimbing anak istrimu. Fokuskan pada tugas dan tanggung jawabmu. Dan untuk kamu, Ning. Jika kamu sudah menikah nanti, waktumu akan tersita oleh kesibukanmu sebagai istri dan ibu. Kamu lihat sendiri Ibumu. Dari bangun pagi sampai mau tidur lagi, waktunya habis untuk ngurus kalian dan Bapakmu. Apalagi sebagai istri kamu harus nurut apa kata suamimu, gak bisa seenakmu sendiri.”
Teguh pun diam sebentar. Alif dan Nuning juga diam membisu.
“Kalian juga harus paham, jika udah berkeluarga, sekecil apa pun masalah yang kalian hadapi di keluarga kalian jangan sampai orang tua dan mertuamu tahu, apalagi dilibatkan. Selesaikan sendiri masalah keluarga kalian. Kalian memutuskan menikah berarti udah dewasa. Karena itulah Bapak gak mau tinggal di rumah kalian, Bapak gak mau dengar masalah keluarga kalian.”
Setelah meneguk teh daun sirsak yang ada di depannya, Teguh pun melanjutkan petuahnya.
“Karena Bapak gak mau tinggal di rumah kalian itulah makanya Bapak butuh pendamping. Pendamping yang bisa diajak ngobrol, guyon, jalan-jalan bareng. Pendamping yang mau ngurus Bapak, yang mau buatkan teh buat Bapak, yang mau ngingatkan Bapak. Dan perlu kalian ingat, Bapakmu ini dah tua, cacat lagi. Jadi niat Bapak ini gak ada hubungannya dengan urusan biologis karena calon pendamping Bapak juga gak sempurna.”
Alif dan Nuning tampak termenung mendengar penjelasan Bapaknya, terutama Nuning yang sudah mereda emosinya. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya mereka pun menyetujui niat Bapaknya untuk menikah lagi.
“Pak, Alif dan Nuning dah sepakat untuk mengijinkan Bapak nikah lagi. Untuk membulatkan keputusan kami ini, siapa yang akan jadi ibu tiri kami nanti?”
Teguh tidak langsung menjawab pertanyaan Alif. Dia menyandarkan badanya di kursi, diam.