Mohon tunggu...
Maria Theressa
Maria Theressa Mohon Tunggu... Guru - Seorang praktisi pendidikan yang senang belajar, menulis, dan dikritisi. Karena segala pujian hanya milik Sang Pencipta semata. Akun twitter : @hommel_edu

Seorang praktisi pendidikan yang senang belajar, menulis, dan dikritisi. Karena segala pujian hanya milik Sang Pencipta semata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Suatu Senja di “Talky Talk Lounge”

20 November 2015   08:28 Diperbarui: 28 November 2015   19:19 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Saat tahap negosiasi kerja, selain membicarakan kewajibanku, pasti kita akan membicarakan soal ‘angka’ kan? Sebelum aku menjatuhkan pilihan yang realistis (seperti katamu tadi), aku mempertimbangkan hal-hal tertentu, yaitu kondisi infrastruktur sekolah, lalu perbandingan antara SPP yang dibebankan kepada orang tua murid dengan tawaran ‘angka’ yang mereka ajukan padaku…”

“Hmm…” gumam Akira.

“Tak bisa dipungkiri, masih ada juga beberapa pihak sekolah tertentu yang ‘nakal’. Membebankan SPP setinggi-tingginya kepada para orang tua murid, memoles gedung sekolahnya se’wah’ mungkin, namun mengabaikan kualitas pendidikan di dalamnya. Padahal, kualitas pendidikan merupakan INTI dan HAL PALING UTAMA yang menjadi ekspektasi para konsumen.”

“Bagiku kualitas pendidikan terbaik itu tidak hanya dari segi fisik (kognitif) saja, melainkan dari segi-segi lainnya, seperti segi emosional dan moral.” lanjut Satria. “Sekolah-sekolah yang ‘nakal’ cenderung hanya memoles ‘penampilan luar’nya namun mengabaikan ‘isi’ di dalamnya. Guru-guru digaji minim, tidak diperlengkapi dengan pelatihan profesional yang dinamis (mengikuti perkembangan zaman). Akibatnya, banyak guru yang mengalami kesulitan untuk mencapai tujuan pembelajarannya yang seharusnya. Belum lagi guru-gurunya diharuskan ‘kerja rodi’. Alih-alih menambah tenaga guru, yang terjadi malahan terus menambah jumlah muridnya. Perbandingan yang jomplang antara jumlah guru dan murid rentan mengakibatkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Guru juga manusia kan? Tidak mungkin mengawasi SELURUH siswanya, sementara ia juga dibebankan tugas dan deadline yang luar biasa menumpuk.”

Well, angka realistis yang kuajukan pada pihak sekolah biasanya setelah mempertimbangkan hal-hal tadi itu, Bro!” pungkas Satria. “Kalau pihak sekolah berani menarik uang SPP dari para orang tua dengan angka relatif tinggi, dengan ‘iming-iming; kualitas pendidikan terbaik serta jaminan lingkungan sekolah yang kondusif, maka sebagai seorang guru profesional, aku akan ajukan angka yang sesuai dong!”

“Hahahahaha. Bisa saja kau ini, Bro!” Akira tergelak. “Tapi, bagaimana misalnya jika ada sebuah sekolah yang memberi ‘iming-iming’ kualitas pendidikan terbaik (seperti katamu tadi), namun konsumen mereka justru datang dari kalangan menengah ke bawah? Kan pendidikan hak semua orang, Bro. Bukan hanya dari kalangan berduit saja. Yah, efek domino deh, Bro. SPP yang ditarik kemungkinan kecil … atau bahkan gratis? Dan tentu saja, mereka hanya menawarkan ‘angka’ yang kecil untukmu… atau malah diminta menjadi sukarelawan saja. Apa kau akan mengabaikan tawaran itu? Karena ‘angka’nya tidak realistis?”

“Nah, inilah saatnya ketika PENGABDIAN dan PROFESIONALISME diuji, Bro! Justru ini semakin menarik karena aku berhak untuk memilih. Jika aku memutuskan terjun ke dalamnya, hal ini berarti aku tidak memiliki penghasilan yang cukup untuk membiayai Clarissa dan anak-anak kami kelak. Namun, jika aku mengabaikan tawaran ini, aku menentang hati nuraniku. Aku memiliki kapasitas sebagai seorang guru profesional yang mampu memberikan sumbangsih, namun aku malah mungkir hanya karena alasan ‘angka’ …”

“Lalu, pilihan apa yang akan kau pilih, Bro?” Tanya Akira.

“Sebelum memutuskan, aku akan memeriksa aneka kegiatan yang harus aku lakukan dalam sehari, Bro. 24 jam sehari yang aku miliki harus kupilah-pilah sebijaksana mungkin, sambil mempertimbangkan energi yang aku miliki juga. Aku harus memastikan bahwa sebagian besar waktuku tidak harus habis di sekolah itu. Aku butuh porsi waktu yang lain untuk mengembangkan usaha yang lain untuk menghasilkan uang …”

“Mengapa kau harus pusing melakukan dua pekerjaan dalam sehari? Padahal jika fokus pada satu pekerjaan saja, kau sudah mampu memperoleh hasil yang cukup? Seperti pekerjaanku ini, misalnya…” ujar Akira sambil menghela napas.

“Aku tidak ingin hanya berinventasi bagi diriku dan keluargaku saja, Bro. Aku juga ingin berinvestasi untuk kehidupan masa depan yang lebih baik untuk anak-cucuku kelak. Hehehe …” jawab Satria. “Tidak selamanya aku ingin terus-terusan jadi ‘kuli profesional’ di bawah suatu insitusi. Aku memilih untuk melakukan pekerjaan yang aku cintai, sekaligus berusaha menjadi seorang yang kreatif untuk menghasilkan uang sendiri. Apabila aku berada di lingkungan sekolah (seperti yang kau katakan tadi), aku akan tetap bekerja profesional – bahkan meski aku tidak dibayar sekalipun! Tapi bukan berarti aku berpangku tangan, pasrah, mengabaikan kehidupanku dan menjalani hidup yang tidak relatistis. Guru yang cerdas selalu berusaha menemukan solusi bukan?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun