“Istrinya dicari dulu dong, Bro!” ledek Akira sambil mengibas-ngibaskan tangannya tepat di hadapan wajah Satria.
“Hahahaa!” tiba-tiba Satria tergelak. “Kau masih ingat Clarissa? Anak FISIP yang mantan Ketua Klub Fotografi itu?”
“Jangan bilang kalau dia …”
“Kami bertunangan minggu lalu.” Satria menunjukkan sebuah cincin yang melingkar di jarinya.
“Wah, sial! Aku kan dulu juga mengincar dia, Bro! Hahahaa… selamat ya, Bro!”
“Terima kasih, Bro!” Satria tampak tersipu. Sesaat ia menghela napas panjang. “Tapi, yah begitulah, Bro. Banyak hal yang harus disiapkan. Terutama biaya ini-itu. Setelah kuhitung-hitung, mustahil aku bisa pensiun dini jika hanya mengandalkan gajiku sebagai guru. Sepertinya hingga usia 60 tahun pun aku masih harus terus mencari nafkah …”
“Kalau begitu, terima saja tawaranku tadi.” sergah Akira. “Realistis lah, Bro.”
“Tahun pertamaku sebagai guru, semuanya berantakan…” Satria mulai berkisah. “Ternyata, menjadi guru yang berkewajiban mengajar murid-murid dalam suatu kelas SETIAP HARI merupakan tantangan yang sungguh berbeda dengan menjadi seorang guru les yang mengajar muridnya hanya sekitar 2-3 kali seminggu. Tak perlu lah kuceritakan dukanya …”
“Satu hal yang aku sadari yaitu tanggung jawabku bukan hanya mengajar, mengevaluasi atau menuliskan nilai murid-muridku di atas selembar kertas bernama rapor, melainkan aku juga bertanggung jawab atas kepribadian mereka kelak. Ya…ya…ya…, kau pasti akan bilang, itu bukan tanggung jawabku sepenuhnya…” potong Satria cepat-cepat sebelum Akira sempat mengomentari ucapannya.
“Tapi, pernahkah kau berpikir? Jika aku hanya fokus dengan nilai-nilai mereka di atas kertas. lalu mengabaikan aspek moral dalam diri mereka, bagaimana jadinya? Sungguh menakutkan membayangkan salah satu muridku yang berotak encer, malah justru akan menghancurkan dunia dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya…” ujar Satria. “Contohnya sudah banyak, Bro! Orang-orang ahli lingkungan hidup bertebaran di negeri kita, namun ada saja yang mengesampingkan moralnya demi meraup keuntungan pribadi. Dari sisi kognitif, mereka pandai. Sayangnya, moralnya jeblok. Akibatnya, lingkungan kita malah rusak, karena hutan-hutan ditebangi tanpa perhitungan (atau, kalaupun ada perhitungan, tapi “mungkin” sengaja dibuat) kurang matang. Hanya untuk kepentingan industri. Lagi-lagi uang, alasannya. Kepentingan pribadi.”
“Pemikiranmu ada benarnya, Bro.” sahut Akira. “Tapi yah tidak bisa disalahkan juga. Jika dalam kondisi terdesak, orang-orang cenderung memilih bersikap realistis, Bro. Penyebabnya bisa saja sangat kompleks kan? Misalnya saja, jika kau ada di posisi sebagai anaknya Pak Joko, guru SMA-ku dulu, kau pun harus mengambil keputusan realistis kan? Prinsip moral atau uang (yang secara fisik sangat dibutuhkan) untuk kesembuhan ayah kandungmu?”