Mohon tunggu...
Maria Theressa
Maria Theressa Mohon Tunggu... Guru - Seorang praktisi pendidikan yang senang belajar, menulis, dan dikritisi. Karena segala pujian hanya milik Sang Pencipta semata. Akun twitter : @hommel_edu

Seorang praktisi pendidikan yang senang belajar, menulis, dan dikritisi. Karena segala pujian hanya milik Sang Pencipta semata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Suatu Senja di “Talky Talk Lounge”

20 November 2015   08:28 Diperbarui: 28 November 2015   19:19 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbeda dengan Satria. Ia mengalami masa-masa sulit setelah meraih gelarnya sebagai seorang sarjana Kimia. Sekembalinya ke kampung halaman, ia sempat menyandang status ‘pengacara’ alias ‘pengangguran tiada acara’ selama berbulan-bulan. Nilai IPKnya yang pas-pasan membuatnya sulit melamar kerja di beberapa perusahaan yang ia minati. Berbekal latar belakangnya sebagai guru les part time bagi siswa SMP dan SMA­ yang pernah ia lakoni selama setahun terakhir sebelum kelulusannya, Satria pun mencoba ‘banting stir’ melamar kerja di bidang pendidikan. Titelnya sebagai seorang Sarjana Kimia lulusan dari universitas bergengsi di sebuah kota besar tenyata cukup “laku” dalam dunia pendidikan di kampung halamannya. Ia akhirnya diterima menjadi seorang guru Kimia di salah satu SMA swasta ternama.  Kenyataan pahit yang akhirnya ia sadari yaitu dunia kerja di perusahaan-perusahaan besar ternyata kurang bersahabat bagi orang-orang seperti dirinya. Terlebih lagi jika sebuah nilai IPK dijadikan sebagai acuan saat proses saringan awal.

“Wah sudah jadi Bapak Guru nih!” ledek Akira. “Makin merajalela deh ketampananmu di kalangan ABG-ABG itu …”timpalnya lagi dengan nada mengejek.

“Masih segar di ingatanku wajah-wajah para penggemar ABGmu dulu, siapa tuh ya namanya? Si Clara siswa kelas 12, lalu ada si Becca yang campuran Indo Belanda yang kelas 11 itu. AH!! Belum lagi si Rossy dan geng trio-nya yang pernah membuntuti kita hingga ke sini!” ujar Akira sambil terbahak-bahak. “Sebenarnya apa sih yang mengesankan darimu? Parasmu yang cool itu atau kelihaianmu mengajar Kimia sih?”

“Pasti alasan yang kedua dong! Hahaha…” jawab Satria cepat sambil tertawa. “Meski IPK ku tak secemerlang Bapak Sales Manager, tapi aku mahir ‘memindahkan’ ilmu Kimia dari otakku kepada murid-muridku …” ujar Satria sambil tersenyum simpul. “Tidak semua orang pintar – di atas kertas – memiliki kemampuan mengajar yang mumpuni, Bro!”

“Iya sih.” Akira mengiyakan.

Ia paham betul karakteristik Satria saat kuliah dulu. Dibandingkan dengan dirinya yang begitu mudahnya menyerap berbagai teori dan konsep yang diajarkan di ruang kuliah, Satria memang butuh waktu agak sedikit lebih lama. Tak jarang, saat musim ujian telah berakhir, barulah Satria menemukan momen “EUREKA” itu. ‘Oh ternyata begitu!!!’. Sayang, momen ‘EUREKA” itu datang terlambat.   Kertas ujian telah dikumpulkan. Dosen-dosen telah bersiap menilai hasil pekerjaan para mahasiswanya.

Salah satu motivasi Satria bekerja paruh waktu sebagai guru les Kimia bagi siswa SMP dan SMA – yang Akira tahu – yaitu supaya ia punya kesempatan untuk mengulang kembali teori dan konsep yang ia telah pahami di ruang kuliah. Satria mampu “memindahkan” ilmunya kepada orang lain secara sistematis dan sederhana, sehingga para ABG itu mengerti dengan mudah. Berbeda dengan Akira yang begitu lekas merasa tidak sabaran jika melihat ekspresi para murid ABG-nya yang mengernyitkan dahi saat mereka tidak paham dengan penjelasannya. Ia hanya bertahan sebulan saja menjadi seorang guru les paruh waktu kala itu.

“Bicara soal profesimu sekarang, aku jadi teringat dengan salah satu guru SMA-ku. Sebulan lalu, aku menghadiri reuni teman-teman SMA …” Akira berkisah. “Pak Joko, mantan guru Matematika, ternyata sudah terkena stroke sejak tiga tahun lalu. Ia sudah tidak bisa bekerja lagi sekarang. Parahnya lagi, ternyata seluruh tabungannya perlahan terkuras untuk biaya pengobatan. Bantuan dari pihak sekolah pun tidak seberapa banyak…”

“Lalu?” Tanya Satria.

“Kita-kita sebagai mantan muridnya berinisiatif menggalang dana untuk Pak Joko dan istrinya. Yah, paling tidak bisa cukup lah untuk membiayai kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Anaknya baru saja lulus SMA. Mereka tidak mampu membiayai kuliahnya sejak Pak Joko sakit…” ujar Akira sambil menyeruput Black Coffee­ di hadapannya. Beberapa detik kemudian, ia bersuara lagi,

“Apa kau tidak takut berakhir seperti beliau, Bro?” Tanya Akira sedikit ragu-ragu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun