Akira bergegas melangkahkan kakinya menuju “Talky Talk Lounge” yang terletak di ujung jalan. Langit senja perlahan berganti menjadi kegelapan malam. Sudah hampir pukul setengah tujuh saat ia melirik jam tangannya. Tiga tahun hampir berlalu sejak terakhir kali ia berkunjung ke kafe itu bersama Satria. Ia dan Satria saling mengenal satu sama lain sejak tahun pertama kuliah. Persahabatan mereka terus berlanjut hingga lulus dan menempuh karirnya masing-masing.
Masih jelas di ingatannya, saat mereka berdua kerap mengagumi kecantikan para mahluk manis yang lalu-lalang di depan kafe “Talky Talk Lounge”. Lokasi “Talky Talk Lounge” memang berada tepat di seberang kampus fakultas Ekonomi, yang merupakan “gudang”nya mahasiswi-mahasiswi cantik nan modis. Jika awal bulan tiba, ia bersama Satria biasanya akan menyempatkan diri berkunjung ke sana. Sekedar memanjakan diri, nongkrong, atau sekedar refreshing melepas penat. Kafe “Talky Talk Lounge” merupakan simbol kemewahan bagi anak kos seperti mereka kala itu. Sebuah kemewahan yang hanya bisa dinikmati saat awal bulan saja, tepatnya ketika kiriman dari orang tua mereka baru saja mendarat mulus di rekening masing-masing.
Dari kejauhan, Akira melihat Satria telah menempati salah satu sofa empuk berwarna merah yang terletak di sudut ruangan. Setelah tiga tahun berlalu, ternyata seleranya tidak berubah. Satria selalu memilih tempat duduk no. 07, persis terletak di ujung dan berada tepat di sisi kaca jendela. Setibanya di dalam kafe, Akira langsung menuju meja no. 07. Satria segera bangkit berdiri dari tempat duduknya menyambut kedatangan Akira, sahabat lamanya.
“Haiiii, Bro!” Satria menepuk-nepuk bahu Akira. “Wah! Keren sekali sobatku ini sekarang! Sudah jadi orang kantoran! Berjas!” ujarnya sambil tertawa lebar.
“Hehehe…masih jadi ‘kuli’nya orang nih, Bro!” Jawab Akira sambil melepaskan jasnya, lalu meletakkannya di sofa. Ia melemparkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan. Beberapa mahasiswi tak mampu menyembunyikan tatapan kekaguman mereka ketika melihat dua orang pria dewasa di meja no. 07 itu. Beberapa di antaranya tampak berbisik-bisik satu sama lain.
Penampilan Satria dan Akira tidak mencerminkan kebanyakan mahasiswa yang kerap berseliweran di “Talky Talk Lounge”. Penampilan mereka yang tinggi, tegap dan atletis, serta pembawaan yang dewasa, terlihat cukup menonjol di antara para pengunjung kafe sore itu. Dua orang profesional muda yang nongkrong di kafe kelas mahasiswa. Sebuah pemandangan yang tak biasa.
“Suasananya masih sama saja ya …” kata Akira.
“Beda dong!” tukas Satria. “Pengunjungnya rata-rata masih anak kuliahan semua. Tidak seperti kita berdua yang sudah Om-Om…. Hehehe.” Satria terkekeh.
“Ah, tapi saya sih masih berjiwa muda kok!” Akira tersenyum jahil. “Pesan dulu saja deh!” Akira menjentikkan jarinya ke atas.
Beberapa detik kemudian, seorang pelayan menghampiri mereka. Tak perlu lama untuk menelusuri buku menu di hadapan mereka. Akira memesan Black Coffee, sedangkan Satria memesan Mocca Frappe.
Setelah pelayan itu pergi, mereka berdua pun hanyut dalam obrolan ngalor-ngidul khas teman lama. Mulai dari bernostalgia pada zaman kuliah dahulu, hingga membicarakan aktivitas dan pekerjaan masing-masing selama tiga tahun terakhir, Tak lama setelah lulus kuliah, Akira diterima bekerja di salah satu perusahaan farmasi ternama. Berbekal latar belakang pendidikannya sebagai seorang sarjana Kimia, ia fasih menjelaskan berbagai macam jenis obat-obatan beserta kandungan kimiawinya. Karakternya yang supel dan kelihaiannya berkomunikasi membawanya ke jenjang karir yang semakin tinggi. Ia baru saja dipromosikan menjadi seorang Sales Manager.
Berbeda dengan Satria. Ia mengalami masa-masa sulit setelah meraih gelarnya sebagai seorang sarjana Kimia. Sekembalinya ke kampung halaman, ia sempat menyandang status ‘pengacara’ alias ‘pengangguran tiada acara’ selama berbulan-bulan. Nilai IPKnya yang pas-pasan membuatnya sulit melamar kerja di beberapa perusahaan yang ia minati. Berbekal latar belakangnya sebagai guru les part time bagi siswa SMP dan SMA yang pernah ia lakoni selama setahun terakhir sebelum kelulusannya, Satria pun mencoba ‘banting stir’ melamar kerja di bidang pendidikan. Titelnya sebagai seorang Sarjana Kimia lulusan dari universitas bergengsi di sebuah kota besar tenyata cukup “laku” dalam dunia pendidikan di kampung halamannya. Ia akhirnya diterima menjadi seorang guru Kimia di salah satu SMA swasta ternama. Kenyataan pahit yang akhirnya ia sadari yaitu dunia kerja di perusahaan-perusahaan besar ternyata kurang bersahabat bagi orang-orang seperti dirinya. Terlebih lagi jika sebuah nilai IPK dijadikan sebagai acuan saat proses saringan awal.
“Wah sudah jadi Bapak Guru nih!” ledek Akira. “Makin merajalela deh ketampananmu di kalangan ABG-ABG itu …”timpalnya lagi dengan nada mengejek.
“Masih segar di ingatanku wajah-wajah para penggemar ABGmu dulu, siapa tuh ya namanya? Si Clara siswa kelas 12, lalu ada si Becca yang campuran Indo Belanda yang kelas 11 itu. AH!! Belum lagi si Rossy dan geng trio-nya yang pernah membuntuti kita hingga ke sini!” ujar Akira sambil terbahak-bahak. “Sebenarnya apa sih yang mengesankan darimu? Parasmu yang cool itu atau kelihaianmu mengajar Kimia sih?”
“Pasti alasan yang kedua dong! Hahaha…” jawab Satria cepat sambil tertawa. “Meski IPK ku tak secemerlang Bapak Sales Manager, tapi aku mahir ‘memindahkan’ ilmu Kimia dari otakku kepada murid-muridku …” ujar Satria sambil tersenyum simpul. “Tidak semua orang pintar – di atas kertas – memiliki kemampuan mengajar yang mumpuni, Bro!”
“Iya sih.” Akira mengiyakan.
Ia paham betul karakteristik Satria saat kuliah dulu. Dibandingkan dengan dirinya yang begitu mudahnya menyerap berbagai teori dan konsep yang diajarkan di ruang kuliah, Satria memang butuh waktu agak sedikit lebih lama. Tak jarang, saat musim ujian telah berakhir, barulah Satria menemukan momen “EUREKA” itu. ‘Oh ternyata begitu!!!’. Sayang, momen ‘EUREKA” itu datang terlambat. Kertas ujian telah dikumpulkan. Dosen-dosen telah bersiap menilai hasil pekerjaan para mahasiswanya.
Salah satu motivasi Satria bekerja paruh waktu sebagai guru les Kimia bagi siswa SMP dan SMA – yang Akira tahu – yaitu supaya ia punya kesempatan untuk mengulang kembali teori dan konsep yang ia telah pahami di ruang kuliah. Satria mampu “memindahkan” ilmunya kepada orang lain secara sistematis dan sederhana, sehingga para ABG itu mengerti dengan mudah. Berbeda dengan Akira yang begitu lekas merasa tidak sabaran jika melihat ekspresi para murid ABG-nya yang mengernyitkan dahi saat mereka tidak paham dengan penjelasannya. Ia hanya bertahan sebulan saja menjadi seorang guru les paruh waktu kala itu.
“Bicara soal profesimu sekarang, aku jadi teringat dengan salah satu guru SMA-ku. Sebulan lalu, aku menghadiri reuni teman-teman SMA …” Akira berkisah. “Pak Joko, mantan guru Matematika, ternyata sudah terkena stroke sejak tiga tahun lalu. Ia sudah tidak bisa bekerja lagi sekarang. Parahnya lagi, ternyata seluruh tabungannya perlahan terkuras untuk biaya pengobatan. Bantuan dari pihak sekolah pun tidak seberapa banyak…”
“Lalu?” Tanya Satria.
“Kita-kita sebagai mantan muridnya berinisiatif menggalang dana untuk Pak Joko dan istrinya. Yah, paling tidak bisa cukup lah untuk membiayai kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Anaknya baru saja lulus SMA. Mereka tidak mampu membiayai kuliahnya sejak Pak Joko sakit…” ujar Akira sambil menyeruput Black Coffee di hadapannya. Beberapa detik kemudian, ia bersuara lagi,
“Apa kau tidak takut berakhir seperti beliau, Bro?” Tanya Akira sedikit ragu-ragu.
Satria hanya terdiam. Ia pun menyeruput Mocca Frappe-nya.
“Di tempatku ada lowongan sekarang. Dengan posisiku yang sekarang, sepertinya akan jauh lebih mudah untuk memasukkanmu ke sana …” ujar Akira. “Itulah gunanya teman, Bro”.
Ia melihat Satria tak bergeming. Sesaat kemudian Satria mulai mengetuk-ngetukkan jarinya secara perlahan di pinggiran meja.
“Kau menikmati pekerjaanmu sekarang, Bro?” Satria balik bertanya.
“Lumayan.” jawab Akira. “Gajinya cukup buat ditabung. Biaya nikah. Biaya cicil rumah.” ucapnya sambil terkekeh. “Bagaimana? Kau tertarik dengan tawaranku tadi?”
“Maksudku, apa kau mencintai pekerjaanmu yang sekarang?” Tanya Satria lagi.
“Jika ditilik dari idealisme ‘CINTA’ itu sendiri sih, hmm… sepertinya yah tidak juga, Bro.” jawab Akira perlahan. “Jika ada jenis pekerjaan lain yang menawarkan ‘angka’ lebih menggiurkan, aku pasti berpindah hati lah. Cinta kan seharusnya tidak mendua, apalagi berpindah hati. Tapi jika kau bertanya, ‘Apa aku menyukai pekerjaanku?’, ya aku suka pekerjaanku. Ada kepuasaan tersendiri ketika aku berhasil mencapai target penjualan yang ditetapkan oleh si bos. Aku puas dengan penghargaan dan penghasilan yang diberikan oleh perusahaan. Tapi, tidak bisa dipungkiri, jika ada perusahaan lain yang bisa memberikan penawaran angka lebih lebih tinggi, aku pasti akan berpindah hati…” sebuah senyum tersungging di bibir Akira.
“Biar gimana, aku harus segera mencapai target keuangan yang telah kutetapkan. Selama aku masih bisa produktif, yah kujalani saja sebisaku. Impianku sederhana saja. Kelak aku ingin pensiun dini. Jadi, aku senantiasa menjatuhkan pilihan pada segala hal yang memungkinkan untuk mencapai tujuan tersebut. Aku mah realistis orangnya, Bro!” ujar Akira menirukan salah satu ungkapan Meme yang sedang populer.
“Hmm… begitu ya.” ujar Satria setengah bergumam.
Akira mengangguk.
“Aku setuju dengan target keuanganmu. Aku pun berpikir untuk bisa pensiun dini kelak. Setelah selesai dengan kewajiban membiayai pendidikan anak-anakku, aku masih memiliki uang yang cukup untuk bersenang-senang dengan istriku di masa tua kami nanti.” ujar Satria. Pandangannya mulai menerawang ke arah luar jendela sambil tersenyum sendiri.
“Istrinya dicari dulu dong, Bro!” ledek Akira sambil mengibas-ngibaskan tangannya tepat di hadapan wajah Satria.
“Hahahaa!” tiba-tiba Satria tergelak. “Kau masih ingat Clarissa? Anak FISIP yang mantan Ketua Klub Fotografi itu?”
“Jangan bilang kalau dia …”
“Kami bertunangan minggu lalu.” Satria menunjukkan sebuah cincin yang melingkar di jarinya.
“Wah, sial! Aku kan dulu juga mengincar dia, Bro! Hahahaa… selamat ya, Bro!”
“Terima kasih, Bro!” Satria tampak tersipu. Sesaat ia menghela napas panjang. “Tapi, yah begitulah, Bro. Banyak hal yang harus disiapkan. Terutama biaya ini-itu. Setelah kuhitung-hitung, mustahil aku bisa pensiun dini jika hanya mengandalkan gajiku sebagai guru. Sepertinya hingga usia 60 tahun pun aku masih harus terus mencari nafkah …”
“Kalau begitu, terima saja tawaranku tadi.” sergah Akira. “Realistis lah, Bro.”
“Tahun pertamaku sebagai guru, semuanya berantakan…” Satria mulai berkisah. “Ternyata, menjadi guru yang berkewajiban mengajar murid-murid dalam suatu kelas SETIAP HARI merupakan tantangan yang sungguh berbeda dengan menjadi seorang guru les yang mengajar muridnya hanya sekitar 2-3 kali seminggu. Tak perlu lah kuceritakan dukanya …”
“Satu hal yang aku sadari yaitu tanggung jawabku bukan hanya mengajar, mengevaluasi atau menuliskan nilai murid-muridku di atas selembar kertas bernama rapor, melainkan aku juga bertanggung jawab atas kepribadian mereka kelak. Ya…ya…ya…, kau pasti akan bilang, itu bukan tanggung jawabku sepenuhnya…” potong Satria cepat-cepat sebelum Akira sempat mengomentari ucapannya.
“Tapi, pernahkah kau berpikir? Jika aku hanya fokus dengan nilai-nilai mereka di atas kertas. lalu mengabaikan aspek moral dalam diri mereka, bagaimana jadinya? Sungguh menakutkan membayangkan salah satu muridku yang berotak encer, malah justru akan menghancurkan dunia dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya…” ujar Satria. “Contohnya sudah banyak, Bro! Orang-orang ahli lingkungan hidup bertebaran di negeri kita, namun ada saja yang mengesampingkan moralnya demi meraup keuntungan pribadi. Dari sisi kognitif, mereka pandai. Sayangnya, moralnya jeblok. Akibatnya, lingkungan kita malah rusak, karena hutan-hutan ditebangi tanpa perhitungan (atau, kalaupun ada perhitungan, tapi “mungkin” sengaja dibuat) kurang matang. Hanya untuk kepentingan industri. Lagi-lagi uang, alasannya. Kepentingan pribadi.”
“Pemikiranmu ada benarnya, Bro.” sahut Akira. “Tapi yah tidak bisa disalahkan juga. Jika dalam kondisi terdesak, orang-orang cenderung memilih bersikap realistis, Bro. Penyebabnya bisa saja sangat kompleks kan? Misalnya saja, jika kau ada di posisi sebagai anaknya Pak Joko, guru SMA-ku dulu, kau pun harus mengambil keputusan realistis kan? Prinsip moral atau uang (yang secara fisik sangat dibutuhkan) untuk kesembuhan ayah kandungmu?”
“Sekarang begini deh, jika kau tidak punya penghasilan yang cukup, suatu hari kelak masa depan keluargamu akan dipertaruhkan lho, Bro! Kasihan Clarissa …” ujar Akira. “No offense ya.”
“Tenang, Bro. Aku dan Clarrissa sudah pernah mendiskusikan hal ini kok. Semuanya kan berawal dari P.I.L.I.H.A.N.” jawab Satria tenang. “Hal-hal preventif yang bisa kita pilih dan lakukan sejak sekarang, maka kita akan lakukan, Bro.” ujar Satria sambil tersenyum.
“Dengan cara mengambil pilihan yang realistis, kan?” Tanya Akira menyelidik.
“Clarrisa tahu aku melakukan profesiku dengan penuh cinta. Namun, tidak bisa dipungkiri profesiku ini rentan disalahartikan sebagai bentuk ‘sebuah pengabdian’ belaka. Istilah pengabdian sering mengacu pada anggapan umum yaitu, kami – sebagai guru – senantiasa mengedepankan hati kami yang terbeban untuk mendidik murid-murid’. Kami dianggap tidak mempermasalahkan berapa pun upah yang kami terima. Sisi profesionalisme pun terpinggirkan. Untunglah Clarrissa membukakan mataku tentang itu.”
Akira mengernyitkan kening.
“Sebagai guru, aku dituntut melakukan perkerjaanku secara profesional,” lanjut Satria. “Aku memilih untuk melanjutkan kuliah S2 demi meningkatkan profesionalisme sebagai guru. Bicara bekerja secara profesional di bawah suatu institusi pendidikan, tentu saja ini merupakan hubungan dua arah yaitu antara si pekerja dan si pemberi kerja. Sama halnya dengan profesi yang lain juga kan?
Akira mengangguk setuju.
“Sebagai pekerja, aku berhak memperoleh upah yang layak dari si pemberi kerja. Hal itu tentu dilakukan saat negosiasi kerja. Saat itulah aku mulai menerapkan prinsip realistisku sebagai guru profesional, Bro…” ujar Satria.
“Prinsip realistis seperti apa?” Tanya Akira.
“Dalam profesiku, ada dua macam konsumen yaitu konsumen langsung dan konsumen tidak langsung. Murid-muridku merupakan konsumen langsung, sedangkan para orang tua murid adalah konsumen tak langsung. Posisiku sebagai si pekerja, sedangkan pihak sekolah merupakan si pemberi kerja. Aku melakukan proses negosisasi dengan pihak sekolah sebelum aku terikat hubungan kerja dengan mereka sebagai tenaga guru profesional.”
“OK, lalu?” Tanya Akira sambil membetulkan posisi duduknya.
“Saat tahap negosiasi kerja, selain membicarakan kewajibanku, pasti kita akan membicarakan soal ‘angka’ kan? Sebelum aku menjatuhkan pilihan yang realistis (seperti katamu tadi), aku mempertimbangkan hal-hal tertentu, yaitu kondisi infrastruktur sekolah, lalu perbandingan antara SPP yang dibebankan kepada orang tua murid dengan tawaran ‘angka’ yang mereka ajukan padaku…”
“Hmm…” gumam Akira.
“Tak bisa dipungkiri, masih ada juga beberapa pihak sekolah tertentu yang ‘nakal’. Membebankan SPP setinggi-tingginya kepada para orang tua murid, memoles gedung sekolahnya se’wah’ mungkin, namun mengabaikan kualitas pendidikan di dalamnya. Padahal, kualitas pendidikan merupakan INTI dan HAL PALING UTAMA yang menjadi ekspektasi para konsumen.”
“Bagiku kualitas pendidikan terbaik itu tidak hanya dari segi fisik (kognitif) saja, melainkan dari segi-segi lainnya, seperti segi emosional dan moral.” lanjut Satria. “Sekolah-sekolah yang ‘nakal’ cenderung hanya memoles ‘penampilan luar’nya namun mengabaikan ‘isi’ di dalamnya. Guru-guru digaji minim, tidak diperlengkapi dengan pelatihan profesional yang dinamis (mengikuti perkembangan zaman). Akibatnya, banyak guru yang mengalami kesulitan untuk mencapai tujuan pembelajarannya yang seharusnya. Belum lagi guru-gurunya diharuskan ‘kerja rodi’. Alih-alih menambah tenaga guru, yang terjadi malahan terus menambah jumlah muridnya. Perbandingan yang jomplang antara jumlah guru dan murid rentan mengakibatkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Guru juga manusia kan? Tidak mungkin mengawasi SELURUH siswanya, sementara ia juga dibebankan tugas dan deadline yang luar biasa menumpuk.”
“Well, angka realistis yang kuajukan pada pihak sekolah biasanya setelah mempertimbangkan hal-hal tadi itu, Bro!” pungkas Satria. “Kalau pihak sekolah berani menarik uang SPP dari para orang tua dengan angka relatif tinggi, dengan ‘iming-iming; kualitas pendidikan terbaik serta jaminan lingkungan sekolah yang kondusif, maka sebagai seorang guru profesional, aku akan ajukan angka yang sesuai dong!”
“Hahahahaha. Bisa saja kau ini, Bro!” Akira tergelak. “Tapi, bagaimana misalnya jika ada sebuah sekolah yang memberi ‘iming-iming’ kualitas pendidikan terbaik (seperti katamu tadi), namun konsumen mereka justru datang dari kalangan menengah ke bawah? Kan pendidikan hak semua orang, Bro. Bukan hanya dari kalangan berduit saja. Yah, efek domino deh, Bro. SPP yang ditarik kemungkinan kecil … atau bahkan gratis? Dan tentu saja, mereka hanya menawarkan ‘angka’ yang kecil untukmu… atau malah diminta menjadi sukarelawan saja. Apa kau akan mengabaikan tawaran itu? Karena ‘angka’nya tidak realistis?”
“Nah, inilah saatnya ketika PENGABDIAN dan PROFESIONALISME diuji, Bro! Justru ini semakin menarik karena aku berhak untuk memilih. Jika aku memutuskan terjun ke dalamnya, hal ini berarti aku tidak memiliki penghasilan yang cukup untuk membiayai Clarissa dan anak-anak kami kelak. Namun, jika aku mengabaikan tawaran ini, aku menentang hati nuraniku. Aku memiliki kapasitas sebagai seorang guru profesional yang mampu memberikan sumbangsih, namun aku malah mungkir hanya karena alasan ‘angka’ …”
“Lalu, pilihan apa yang akan kau pilih, Bro?” Tanya Akira.
“Sebelum memutuskan, aku akan memeriksa aneka kegiatan yang harus aku lakukan dalam sehari, Bro. 24 jam sehari yang aku miliki harus kupilah-pilah sebijaksana mungkin, sambil mempertimbangkan energi yang aku miliki juga. Aku harus memastikan bahwa sebagian besar waktuku tidak harus habis di sekolah itu. Aku butuh porsi waktu yang lain untuk mengembangkan usaha yang lain untuk menghasilkan uang …”
“Mengapa kau harus pusing melakukan dua pekerjaan dalam sehari? Padahal jika fokus pada satu pekerjaan saja, kau sudah mampu memperoleh hasil yang cukup? Seperti pekerjaanku ini, misalnya…” ujar Akira sambil menghela napas.
“Aku tidak ingin hanya berinventasi bagi diriku dan keluargaku saja, Bro. Aku juga ingin berinvestasi untuk kehidupan masa depan yang lebih baik untuk anak-cucuku kelak. Hehehe …” jawab Satria. “Tidak selamanya aku ingin terus-terusan jadi ‘kuli profesional’ di bawah suatu insitusi. Aku memilih untuk melakukan pekerjaan yang aku cintai, sekaligus berusaha menjadi seorang yang kreatif untuk menghasilkan uang sendiri. Apabila aku berada di lingkungan sekolah (seperti yang kau katakan tadi), aku akan tetap bekerja profesional – bahkan meski aku tidak dibayar sekalipun! Tapi bukan berarti aku berpangku tangan, pasrah, mengabaikan kehidupanku dan menjalani hidup yang tidak relatistis. Guru yang cerdas selalu berusaha menemukan solusi bukan?”
“Ada banyak pilihan investasi atau jenis usaha mandiri yang bisa aku lakukan sesuai minatku. Guru juga harus kreatif, kan? Aku akan selalu mencari jalan supaya tetap bisa bersenang-senang di tengah-tengah PENGABDIAN dan PROFESIONALISME yang aku jalani. Bagiku, ‘angka’ itu akan selalu relatif jumlahnya, namun yang terpenting yaitu BERKECUKUPAN. Cukup bagi diriku dan keluargaku. Cukup untuk berbagi berkat bagi orang-orang yang membutuhkan (atau justru sekaligus menopang keuangan sekolah tempatku bernaung?). Pokoknya, aku ingin menjadi seorang guru yang senantiasa memberi, Bro.”
“Aku ingin menjadi seorang Teacherpreneur yang kelak mampu menyediakan lapangan pekerjaan.” lanjut Satria. “Bukan hanya untuk murid-muridku saja, tapi aku ingin menjadi role model nyata supaya mereka kelak juga mampu menyediakan lapangan kerja lagi untuk orang lain.” pungkas Satria sambil meneguk Mocca Frappe-nya.
“Tetap cerdik seperti ular, namun senantiasa tulus seperti merpati. Itulah sahabatku sejak dulu, si Satria!” ujar Akira sambil tersenyum.
Mereka berdua pun tergelak bersama-sama.
Malam semakin larut. Sosok dua orang pria tampak keluar dari kafe “Talky Talk Lounge”. Mereka berpisah di persimpangan jalan sambil melambaikan tangan satu sama lain. Para pelayan mulai berbenah, bersiap-siap untuk menutup kafe. Seorang pelayan menemukan secarik kertas di atas meja no.07.
Setelah membaca isinya, ia pun memasukkan ke dalam kantong celemeknya sambil tersenyum, lalu melanjutkan aktivitasnya. “CERDIK seperti ular, TULUS seperti merpati. Dari Akira, diingatkan oleh Satria, untuk siapa saja.” itulah sederet kalimat yang tertera di kertas itu.
-SELESAI-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H