Mohon tunggu...
Marlinda Sulistyani
Marlinda Sulistyani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Skripsi Praktik Pembagian Harta Waris

3 Juni 2024   15:54 Diperbarui: 3 Juni 2024   17:26 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama     : Marlinda Sulistyani
Nim         : 222121049
Kelas      : HKI 4B

PENDAHULUAN

Pembagian harta waris merupakan salah satu aspek penting dalam hukum waris yang memiliki dampak signifikan terhadap tatanan sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Dalam konteks hukum Islam, pembagian harta waris tidak hanya memiliki dimensi hukum tetapi juga dimensi moral dan spiritual. Pembagian ini diatur secara rinci dalam Al-Qur'an, Hadis, serta berbagai kitab fiqh, yang kemudian diadopsi dan dijadikan pedoman oleh berbagai lembaga hukum di negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim. Di Indonesia, hukum waris Islam telah diakomodasi dalam sistem hukum nasional melalui Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang diterbitkan dengan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) berfungsi sebagai panduan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan hukum keluarga dan waris bagi umat Islam di Indonesia. KHI menyusun ketentuan-ketentuan yang berlandaskan pada prinsip-prinsip syariah, yang diharapkan dapat memberikan keadilan dan keseimbangan dalam pembagian harta waris. Implementasi KHI dalam praktik pembagian harta waris di Indonesia menjadi menarik untuk ditelaah, mengingat adanya keberagaman budaya, adat, dan pemahaman keagamaan di kalangan masyarakat Muslim.

Studi tentang praktik pembagian harta waris berdasarkan KHI penting dilakukan untuk memahami sejauh mana prinsip-prinsip yang termuat dalam KHI diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini mencakup analisis terhadap kesesuaian praktik di lapangan dengan ketentuan yang diatur dalam KHI, serta tantangan dan hambatan yang mungkin muncul dalam proses implementasinya. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan penerapan KHI dalam pembagian harta waris, termasuk aspek hukum, sosial, ekonomi, dan budaya.

Pembagian harta waris yang adil dan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam memiliki dampak yang signifikan terhadap hubungan antar anggota keluarga dan stabilitas sosial. Ketidakadilan dalam pembagian harta waris dapat menimbulkan konflik keluarga yang berkepanjangan dan merusak ikatan kekeluargaan. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang praktik pembagian harta waris menurut KHI tidak hanya relevan bagi para praktisi hukum dan akademisi, tetapi juga bagi masyarakat luas yang berkeinginan untuk menjalankan syariah Islam secara tepat dalam kehidupan mereka.

Penelitian ini akan mengupas secara komprehensif berbagai aspek terkait praktik pembagian harta waris menurut KHI, mulai dari latar belakang historis dan filosofis KHI, peran lembaga peradilan agama dalam mengawal penerapan KHI, hingga studi kasus tentang pelaksanaan pembagian harta waris di berbagai daerah di Indonesia. Melalui pendekatan ini, diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam upaya pengembangan hukum waris Islam yang lebih adaptif dan responsif terhadap dinamika sosial masyarakat Indonesia.

Pembagian harta waris dalam KHI didasarkan pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam Al-Qur'an, Sunnah, dan ijtihad para ulama. KHI mengatur secara rinci tentang siapa saja yang berhak menerima warisan, berapa bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris, serta tata cara pembagiannya. Hal ini bertujuan untuk memastikan keadilan dalam distribusi harta peninggalan dan menghindari konflik di antara ahli waris. Misalnya, dalam Pasal 176 hingga 193 KHI, disebutkan mengenai bagian-bagian warisan yang harus diterima oleh masing-masing ahli waris seperti anak, orang tua, suami atau istri, dan saudara.

Namun demikian, praktik pembagian harta waris di masyarakat tidak selalu berjalan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam KHI. Berbagai faktor, seperti pemahaman yang kurang mendalam tentang hukum waris Islam, pengaruh adat istiadat setempat, hingga upaya-upaya untuk mengakomodasi kepentingan semua pihak sering kali menyebabkan terjadinya penyimpangan dari ketentuan normatif yang ada. Di beberapa daerah, misalnya, adat masih memegang peranan penting dalam menentukan pembagian harta waris, sehingga sering kali terjadi persinggungan antara hukum adat dan hukum Islam. Dalam konteks ini, KHI berperan sebagai instrumen untuk mensinergikan antara ketentuan hukum Islam dengan adat istiadat yang berlaku, dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip keadilan yang diatur dalam Islam.

Selain itu, peran lembaga peradilan agama dalam mengawal pelaksanaan pembagian harta waris juga sangat krusial. Pengadilan agama berfungsi untuk menyelesaikan sengketa waris, memberikan putusan yang berdasarkan KHI, dan memastikan bahwa hak-hak setiap ahli waris terpenuhi dengan adil. Namun, dalam praktiknya, tidak jarang ditemui kendala-kendala seperti kurangnya pemahaman hakim tentang aspek-aspek spesifik dari hukum waris atau adanya tekanan dari pihak-pihak tertentu yang berkepentingan.

Pentingnya pembahasan mengenai praktik pembagian harta waris dalam skripsi ini terletak pada beberapa aspek. Pertama, adanya kebutuhan untuk memastikan bahwa proses pembagian harta waris berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam yang adil dan tidak merugikan salah satu pihak. Kedua, adanya fenomena perbedaan interpretasi dan penerapan hukum waris di kalangan masyarakat yang sering kali menimbulkan sengketa. Ketiga, peran pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa waris berdasarkan KHI menjadi sebuah kajian menarik untuk diteliti lebih lanjut.

Secara teoretis, pembagian harta waris dalam Islam diatur dengan cukup rinci dalam Al-Quran dan Hadis. Ayat-ayat dalam Surah An-Nisa menguraikan tentang proporsi waris yang berhak diterima oleh masing-masing ahli waris. Misalnya, anak laki-laki menerima dua bagian dari bagian anak perempuan, orang tua mendapatkan bagian tertentu tergantung pada keberadaan ahli waris lainnya, dan suami atau istri yang ditinggalkan juga memiliki hak waris yang telah ditentukan. Namun, dalam praktiknya, interpretasi dan implementasi dari ketentuan ini sering kali menghadapi tantangan dan kompleksitas, terutama dalam konteks sosial dan hukum modern.

Skripsi ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam diterapkan dalam kasus-kasus nyata di pengadilan agama, serta bagaimana para hakim dan pihak terkait lainnya menafsirkan dan mengimplementasikan aturan-aturan tersebut. Selain itu, skripsi ini juga akan mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembagian harta waris, termasuk adat istiadat lokal, perbedaan pandangan mazhab, serta dinamika keluarga yang kompleks.

Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berarti dalam pengembangan ilmu hukum Islam di Indonesia, khususnya dalam bidang kewarisan. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan rekomendasi praktis bagi para praktisi hukum dan masyarakat luas dalam menyelesaikan masalah kewarisan dengan cara yang lebih adil dan sesuai dengan syariah Islam. Penelitian ini juga berpotensi untuk mengidentifikasi berbagai permasalahan yang muncul dalam praktik pembagian harta waris dan memberikan solusi yang konstruktif untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Dengan demikian, skripsi "Praktik Pembagian Harta Waris Ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam" tidak hanya memiliki relevansi akademis, tetapi juga relevansi praktis yang dapat memberikan manfaat nyata bagi masyarakat dalam menjaga keharmonisan dan keadilan dalam pembagian harta waris.

ALASAN MENGAPA MEMILIH REVIEW JUDUL SKRIPSI TERSEBUT


Sebagai mahasiswa yang mempelajari hukum keluarga Islam, ada beberapa alasan mengapa saya memilih untuk mereview skripsi yang berjudul PRAKTIK PEMBAGIAN HARTA WARIS "MBANGKONI" DITINJAU DARI KOMPILASI HUKUM ISLAM (STUDI ANALISIS DI DESA CONTO KEC. BULUKERTO КАВ. WONOGIRI).


1. Relevansi dan Signifikansi Sosial


Pembagian harta waris adalah isu yang sangat relevan dan sering kali menjadi sumber konflik dalam masyarakat. Dalam konteks Indonesia, di mana mayoritas penduduknya beragama Islam, pemahaman dan penerapan hukum waris Islam menjadi sangat penting. Dengan meneliti praktik pembagian harta waris berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI), kita dapat memberikan panduan yang lebih jelas dan aplikatif bagi masyarakat, sehingga dapat mengurangi potensi konflik dan ketidakadilan.


2. Kepatuhan Terhadap Hukum dan Tradisi


Kompilasi Hukum Islam di Indonesia merupakan acuan penting dalam penyelesaian masalah-masalah terkait harta waris di kalangan umat Islam. Memilih judul ini akan membantu mengevaluasi sejauh mana masyarakat mematuhi KHI, serta memahami hambatan-hambatan apa saja yang ada dalam penerapannya. Hal ini penting untuk memastikan bahwa praktik yang ada sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam dan juga dengan peraturan yang berlaku di Indonesia.

3. Konteks Legal dan Yuridis


Dalam ranah hukum di Indonesia, KHI memiliki kedudukan yang istimewa sebagai pedoman dalam kasus-kasus yang melibatkan hukum keluarga Islam. Meneliti pembagian harta waris dari perspektif KHI dapat memberikan kontribusi penting bagi pengembangan hukum di Indonesia, khususnya dalam harmonisasi antara hukum Islam dan hukum nasional. Studi ini juga dapat membantu mengidentifikasi area-area di mana hukum Islam dapat lebih selaras dengan hukum positif Indonesia.


4. Perspektif Akademis dan Ilmiah


Topik ini menawarkan ruang yang luas untuk penelitian akademis dan ilmiah. Ada banyak dimensi yang dapat dieksplorasi, mulai dari analisis hukum, sosiologis, hingga studi kasus praktis. Dengan fokus pada KHI, penelitian ini dapat memberikan wawasan mendalam tentang dinamika penerapan hukum Islam di masyarakat modern. Ini juga dapat menambah literatur ilmiah yang berkaitan dengan hukum waris Islam dan aplikasinya di Indonesia.

5. Potensi Peningkatan Keadilan Sosial


Pembagian harta waris yang adil merupakan salah satu aspek penting dalam mewujudkan keadilan sosial. Dengan mempelajari praktik ini melalui lensa KHI, penelitian ini dapat menawarkan rekomendasi praktis untuk meningkatkan keadilan dalam distribusi harta waris. Hal ini tidak hanya bermanfaat bagi individu dan keluarga, tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan dalam membangun rasa keadilan dan harmoni sosial.


6. Pemahaman dan Edukasi Publik


Penelitian ini juga berpotensi memberikan edukasi yang penting bagi masyarakat. Banyak orang yang mungkin belum memahami sepenuhnya bagaimana harta waris seharusnya dibagikan menurut KHI. Melalui penelitian ini, hasil yang didapatkan dapat dijadikan bahan sosialisasi dan edukasi, baik oleh institusi pemerintah, lembaga pendidikan, maupun organisasi kemasyarakatan.

7. Pengayaan Literatur Hukum Islam


Di bidang akademik, khususnya dalam studi hukum Islam, penelitian ini akan menambah khazanah literatur yang spesifik mengenai implementasi KHI dalam kehidupan nyata. Ini akan bermanfaat bagi para akademisi, praktisi hukum, dan mahasiswa yang mendalami studi hukum Islam, serta bagi para pembuat kebijakan dalam merumuskan kebijakan yang lebih baik terkait hukum waris.


8. Tantangan dan Solusi


Melalui penelitian ini, kita bisa mengidentifikasi tantangan-tantangan yang ada dalam implementasi KHI terkait pembagian harta waris. Dengan demikian, kita bisa menawarkan solusi praktis yang berdasarkan bukti-bukti empiris untuk mengatasi tantangan tersebut. Hal ini penting untuk memastikan bahwa hukum waris Islam dapat diterapkan secara efektif dan efisien.

9. Kontribusi pada Reformasi Hukum


Akhirnya, penelitian ini dapat berkontribusi pada reformasi hukum di Indonesia dengan memberikan rekomendasi kebijakan yang berbasis pada hasil penelitian. Dengan demikian, hukum waris Islam dapat terus berkembang dan beradaptasi dengan kebutuhan zaman, tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasarnya.

Secara keseluruhan, memilih judul "PRAKTIK PEMBAGIAN HARTA WARIS DITINJAU DARI KOMPILASI HUKUM ISLAM" bukan hanya relevan dan signifikan, tetapi juga memiliki potensi untuk memberikan dampak yang luas, baik dalam ranah akademis maupun praktis.

PEMBAHASAN HASIL REVIEW

#uas1. Hukum Waris
Dalam beberapa literatur hukum islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan Hukum Kewarisan Islam, seperti fiqh mawaris, ilmu faraidh, dan hukum kewarisan. Kata mawaris diambil dari bahasa Arab. Mawaris bentuk jamak dari (miiraats) yang berarti harta peninggalan yang diwarisi oleh ahli warisnya. Fiqih mawaris adalah suatu disiplin ilmu yang membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahan, siapa saja yang berhak menerima harta.
2.  Unsur-unsur Waris
Proses peralihan harta dari orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup dalam hukumj kewarisan islam mengenal tiga unsur, yaitu: pewaris, harta warisan, dan ahli waris.


a.Pewaris
Pewaris yang dalam literatur fikih disebut al-muwarrits, ialah seorang yang telah meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup. Berdasarkan prinsip bahwa peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris berlaku sesudah meninggalnya pewaris, maka kata "pewaris" itu sebenarnya tepat untuk pengertian seseorang yang telah meninggal

b.Harta Waris
Harta waris menurut hukum Islam ialah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh pewaris yang secara hukum dapat berdalih kepada ahli warisnya. Dalam pengertian ini dapat dibedakan antara harta warisan dan harta peninggalan. Harta peninggalan adalah semua yang ditinggalkan oleh si mayit atau dalam arti apa-apa yang ada pada seseorang saat kematiannya, sedangkan harta warisan ialah harta peninggalan yang secara hukum syara' berhak diterima oleh warisnya.

c.Ahli Waris
Ahli waris atau disebut juga warist dalam istilah fikih ialah orang yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal. Dalam pembahsan yang lalu telah dijelaskan bahwa yang berhak menerima harta warisan adalah orang yang mempunyai hubungan kekerabatan atau hubungan perkawinan dengan pewaris yang meninggal.

3. Hukum Waris di Indonesia

a. Hukum Waris Adat
Istilah hukum adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Snouck Hurgronje, dalam bukunya yang berjudul "De Atjehers" menyebutkan istilah hukum adat sebagai "adat recht" (Bahasa Belanda) yaitu untuk memberi nama pada satu sistem penegendalian sosial (social control) yang hidup dalam masyarakat indonesia. Istilah ini kemudian kembangkan secara ilmiah oleh Van Vollenhoven yang dikenal sebagai pakar Hukum Adat di Hindia Belanda (sebelum menjadi Indonesia). Hukum Adat adalah aturan yang tidak tertulis dan merupakan pedoman untuk sebagian besar orang-orang Indonesia dan dipertahankan dalam pergaulan hidup sehari-hari baik di kota maupun di desa. Pandangan hukum adat terhadap hukum kewarisan sangat ditentukan oleh persekutuan hukum adat itu sendiri. Beberapa persekutuan itu diantaranya pertama persekutuan genealogis (berdasarkan keturunan) dan persekutuan territorial (berdasarkan kependudukan yakni persekutuan hukum daerah. Dalam persekutuan yang genelogis, anggota-anggotanya merasa diri terikat satu sama lain, karena mereka berketurunan dari nenek moyang yang sama, sehingga diantara mereka terdapat hukum keluarga. Sementara persatuan hukum territorial anggotanya-anggotanya merasa terikat satu sama lain karena mereka bertempat kedudukan di suatu daerah yang sama.

b. Hukum Waris Islam
Ketika agama Islam masuk ke Indonesia, maka terjadi kontak yang akrab antara ajaran mau pun hukum Islam (yang bersumber pada Al- Qur'an dan As-Sunnah) dengan hukum adat. Hukum Islam dengan hukum adat tidak dapat dipisahkan karena sangat erat sekalihubungannya seperti hubungan zat dengan sifat suatu benda. Adat dan (syara') saling topang menopang, adat yang benar-benar adat adalah syara' itu sendiri.

c.Hukum Waris Perdata

Perbedaan yang cukup tajam antara hukum Islam dan KUHPerdata adalah anak laki-laki berbanding sama dengan anak perempuan. Adapun tertib keluarga yang menjadi ahli waris dalam KUHPerdata yaitu: istri atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Masyarakat indonesia juga sudah lama mengakrabi hukum waris Barat yang bersumber dari BW. Pada masa penjajahan Belanda, dengan asas konkordansi BW dinyatakan berlaku untuk golongan Eropa yang ada di Indonesia. Golongan Timur Asing Tionghoa hanya berlaku hukum kekayaan harta benda BW. Selebihnya, yakni bagian kekeluargaan dan kewarisan berlaku hukum mereka sendiri.


A. Waris


1. Pengertian Waris


Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan pewaris kepada ahli waris di karenakan sebab-sebab tertentu, mentukan siapa-siapa yang berhak dalam menjadi ahli waris dan berapa bagian dan berapa bagiannya masing-masing.

Mawaris secara tidak langsung atau mawaris karena pergantian (plaatsvervulling) pada dasarnya menggantikan kedudukan ahli waris yang telah lebih dulu meninggal dari dari pewaris diatur dalam KUHPerdata, ahli waris pengganti menduduki kedudukan orang tuanya secara mutlak, artinya segala hak dan kewajiban orang tuanya yang berkenaan dengan warisan beralih kepadanya. Dalam beberapa literatur hukum islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan Hukum Kewarisan Islam, seperti figh mawaris, ilmu faraidh, dan hukum kewarisan. Kata mawaris diambil dari bahasa Arab, mawaris bentuk jamak dari (miraats) yang berarti harta peninggalan yang diwarisi oleh ahli warisnya. Fiqih mawaris adalah suatu displin ilmu yang membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses  pemindahan, siapa saja yang berhak menerima harta peninggalan itu serta berapa bagian-bagian masing-masing.

Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala yang berkenaan dengan peralihan hak dan kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya.

2. Syarat dan Rukun Waris
Pada dasarnya persoalan waris-mewarisi selalu identic dengan perpindahan kepemilikan sebuah benda, hak dan tanggung jawab dari pewaris kepada ahli warisnya. Dalam hukum waris islam penerima harta warisan didasarkan pada asas ijbari, yaitu harta warisan yang berpindah dengan snedirinya menurut ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan pada kehendak pewaris atau ahli waris. Pengertian tersebut akan terpenuhi apabila syarat dan rukun mewarisi telah terpenuhi dan tidak terhalang mewarisi.


Ada beberapa syarat yang dipenuhi dalam pembagian harta warisan. Syarat-syarat tersebut selalu mengikuti rukun, akan tetapi ada yang sebagian yang berdiri sendiri.


Dalam hal ini penulis menemukan 3 syarat yang telah disepakati oleh ulama, 3 syarat tersebut adalah:


a. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki hukumnya (misalnya dianggap telah meninggal) maupun secara taqdiri.
b. Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
c. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti baik bagian masing-masing.

3. Bagian-bagian Ahli Waris.
Harta waris dibagikan jika memang orang yang telah mati itu meninggalkan harta yang berguna bagi orang lain. Namun, sebelum harta warisan itu diberikan kepada ahli waris, ada tiga hal yang terdahulu mesti dikeluarkan,, yaitu:
a. Segala biaya yang berkaitan dengan proses pemakaman jenazah
b. Wasiat dari orang yang meninggal
c. Hutang piutang sang mayit
Ketiga hal di atas telah terpenuhi barulah pembagian harta waris diberikan kepada keluarga dan juga para kerabat yang berhak.

Adapun kriteria ahli waris tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 171 huruf c, yang berbunyi "Ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Apabila kita pahami hukum waris Islam membagi ahli waris menjadi dua macam yaitu:

Apabila kita pahami hukum waris Islam membagi ahli waris menjadi dua macam yaitu:
a. Ahli waris Nasabiyah yaitu ahli waris yang berhubungan kekeluargaannya timbul karena ada hubungan darah. Maka sebab nasab menunjukkan hubungan kekeluargaan antara pewaris dengan ahli waris.
b. Ahli waris sababiyah yaitu hubungan kewarisan yang timbul karena sebab-sebab tertentu.
1) Perkawinan yang sah
2) Memerdekakan hamba sahaya atau karena perjanjian tolong menolong.

4. Sebab-sebab Seseorang mendapatkan warisan

Seseorang berhak mendapatkan sejumlah harta warisan apabila terdapat salah satu sebab dibawah ini yaitu:
a. Kekeluargaan
b. Perkawinan
c. Karena memerdekakan budak
d. Hubungan Islam orang yang meninggal dunia apabila tidak mempunyai ahli waris, maka harta peninggalannya akan diserahkan ke baitul mal untuk umat Islam.

5. Sebab-sebab seseorang Tidak Berhak Mendapatkan Warisan

a. Hamba. Seorang hamba tidak mendapat warisan dari semua keluarganya yang meninggal dunia selama ia masih berstatus hamba.
b. Pembunuh. Seorang pembunuh tidaklah memperoleh warisan dari orang yang di bunuhnya.
c. Murtad. Orang yang murtad tidak mendapatkan warisan dari keluarganya yang masih beragama Islam.
d. Orang non muslim. Orang non muslim tidak berhak menerima warisan dari keluarganya yang beragama Islam dan begitu sebaliknya. Orang muslim juga tidak berhak mendapatkan harta warisan dari orang non muslim (kafir).

B.  Pembagian Waris menurut Islam


Macam-macam ahli waris dapat digolongkan menjadi beberapa golongan yang ditinjau dari jenis kelaminnya, dan dari segi haknya atas harta warisan. Jika ditinjau dari jenis kelaminnya, maka ahli waris terdiri dari dua golongan yaitu ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan.sedangkan ditinjau dari segi ha katas harta warisan maka ahli waris terdiri dari 3 golongan yaitu al-dzawil farudl. 'ashabah dan dzawil arham.


Adapun besar kecilnya bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris dapat dijabarkan sebagai berikut. Pembagian harta waris dalam Islam telah ditentukan didalam Al-Qur'an surat an-Nisa' secara gambling dan dapat disimpulkan bahwa ada 6 tipe presentase pembagian ahli waris, yaitu ada pihak yang mendapatkan bagian setengah (1/2), sperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua pertiga (2/3), sepertiga (1/3) dan sepernam (1/6).

a.Pembagian harta waris bagi orang-orang yang berhak mendapatkan warisan setengah (1/2)


oSeorang suami yang ditinggalkan oleh istrinya dengan syarat ia tidak memiliki keturunan anak laki-laki maupun perempuan, walaupun keturunannya tersebut tidak berasal dari suaminya yang kini (anak tiri).
oSeorang amak kandung perempuan dengan 2 syarat yaitu pewaris tidak memiliki anak laki-laki, dan anak perepuan ialah merupakan anak tunggal.
oCucu perempuan dari keturunan anak laki-laki dengan 3 syarat yaitu apabila cucu tersebut tidak memiliki anak laki-laki, dia merupakan cucu tunggal, dan apabila pewaris tidak lagi mempunyai seorang anak perempuan.
oSaudara kandung perempuan dengan syarat: ia hanya seorang diri (tidak memiliki saudara lain) baik perempuan ataupun laki-laki, dan pewaris tidak memiliki ayah atau kakek ataupun keturunan baik laki-laki maupun perempuan.
oSaudara perempuan se-ayah dengan syarat: apabila ia tidak mempunyai saudara( hanya seorang diri), pewaris tidak memiliki saudara kandung baik perempuan maupun laki-laki dan pewaris tidak memiliki ayah atau kakek dan keturunannya.


b.Pembagian harta waris dalam Islam bagi orang-orang yang berhak mendapatkan warisan seperempat (1/4) yaitu seseorang suami yang ditinggal oleh istrinya dan begitu pula sebaliknya.


oSeorang suami yang ditinggalkan dengan syarat, istri memiliki anak atau cucu dari keturunan laki-lakiinya, tidak peduli apakah cucu tersebut darah dagingnya.
oSeorang istri yang ditinggalkan dengan syarat, suami tidak memiliki anak atau cucu, tidak peduli apakah anak tersebut merupakan anak kandung dari istri tersebut atau bukan.


c.Pembagian harta waris bagi orang-orang yang berhak mendapatkan waris seperdelapan (1/8) yaitu seorang istri yang ditinggalkan suaminya yang mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut berasal dari rahimnya sendiri atau bukan.

d.Pembagian harta waris dalam Islam bagi orang-orang yang berhak mendapatkan warisan dua pertiga (2/3).

•Dua orang anak kandung prempuan atau lebih, dimana dia tidak memiliki saudara laki-laki (anak laki-laki dari pewaris).
•Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki dengan syarat pewaris tidak memiliki anak kandung, dan dua cucu tersebut tidak memiliki saudara laki-laki.
•Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) dengan syarat pewaris tidak memiliki anak, baik laki-laki maupun perempuan, pewaris juga tidak memiliki ayah atau kakek, dan dua saudara perempuan kandung tersebut tidak memiliki saudara laki-laki.
•Dua saudara perempuan seayah (atau lebih) dengan syarat pewaris tidak mempunyai anak, ayah atau kakek ahli waris yang di maksud tidak memiliki saudara kandung.

e.Pembagian harta waris dalam Islam bagi orang-orang yang berhak mendapatkan waris sepertiga (1/3).

•Seorang ibu dengan syarat pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki- laki dan keturunan anak laki-laki. Pewaris tidak memiliki dua atau lebih saudara (kandung atau bukan).
•Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih dengan syarat pewaris tidak memiliki anak, ayah atau kakek dan jumlah saudara seibu tersebut dua orang atau lebih.

C. Pembagian Harta Waris Menurut Adat

1. Pengertian Waris Menurut Adat

Hukum waris adat meliputi segala aturan-aturan yang terdapat keputusan hukum berkaitan dengan proses penerusan atau peralihan dan perpindahan harta kekayaan materiil dan non materiil dari generasi ke generasi. Hukum waris dalam arti luasnya adalah penyelenggaraan pemindahan dan pemeliharaan harta kekayaan kepada generasi ke generasi.

Pengaruh aturan-aturan hukum lainnya atas hukum waris dapat diwariskan sebagai berikut:
•Hak purba/pertuanan/ulayat masyarakat hukum adat yang bersangkutan membatasi pewarisan tanah.
•Kewajiban dan hak yang timbul dari perbuatan-perbuatan kredit tetap berkekuatan hukum setelah si pelaku meninggal
•Transaksi-transaksi seperti jual gadai harus dilanjutkan oleh ahli waris.
•Struktur pengelompokan wangsa/anak, demikian pula bentuk perkawinan da nisi perkawinan.
•Perbuatan-perbuatan hukum seperti adopsi, perkawinan ambil anak, pemberian bekal/modal berumah tangga kepada pengantin wanita, dapat pula dipandang sebagai perbuatan di hukum waris.


Istilah waris didalam kelengkapan istilah hukum waris adat diambil alih dari bahasa Arab yang telah menjadi bahasa Indonesia, dengan pengertian bahwa di dalam hukum waris adat tidak semata-mata hanya akan menuraikan tentang waris dalam hubungannya dengan ahli waris, tetapi lebih luas dari itu.

2. Sifat Hukum Waris Adat
Jika hukum waris adat kita bandingkan dengan waris Islam atau hukum waris barat seperti disebut didalam KUHPerdata, maka nampak perbedaan-perbedaannya dalam harta warisan dan cara pembagiannya yang berlainan.

D. Pembagian Harta Waris Perdata

Hukum waris adalah semua aturan yang mengatur tentang pemindahan hak atas kekayaan seseorang yang sudah meninggal kepada ahli warisnya dan atau yang ditunjuk berdasarkan wasiat si pewaris. Hal- hal yang menyangkut hukum waris adalah

•Pewaris adalah orang yang meninggal yang meninggalkan hartanya untuk diwariskan. Dalam Pasal 830 KUHPerdata dinyatakan "Pewarisan hanya terjadi karena kematian".
•Pewaris yang meninggal secara bersamaan tanpa diketahui siapa yang meninggal terlebih dahulu maka diantara mereka tidak saling mewarisi.
•Ahli waris adalah orang yang berhak mendapatkan warisan baik karena hubungan kekeluargaan maupun akibat penunjukan wasiat. "Agar dapat bertindak sebagai ahli waris, seseorang harus sudah ada pada saat warisan itu dibuka, dengan mengindahkan ketentuan dalam Pasal 2 kitab undang-undang ini" (Pasal 836 KUHPerdata).
•Janin yang ada dalam kandungan dianggap hidup dan mendapatkan warisan bila kepentingan si anak menghendaki, tetapi apabila lahir mati maka dianggap tidak pernah ada.
•Wasiat adalah keinginan pewaris secara lisan maupun tulisan untuk memberikan sebagian atau seseluruh hartanya kepda pihak tertentu baik itu keluarga maupun yang lain.
•Warisan adalah harta kekayaan (hak dan kewajiban) yang dimiliki oleh pewaris baik secara materil maupun secara immaterial yang di wariskan.

Praktik Pembagian Harta Waris "Mbangkoni" di Desa Conto Kecamatan Bulukerto Kabupaten Wonogiri

Apa yang terjadi pada masyarakat Desa Conto dalam membagi harta waris selalu menggunakan hukum adat atau kebiasaan yang sudah turun temurun dari para pendahulu sebelumnya dengan jalan musyawarah kekeluargaan. Penjelesan dari Bapak Mahfudz, selaku ustadz atau tokoh masyarakat saat diwawancarai oleh peneliti menjelaskan sebagai berikut. Masyarakat di Desa Conto semuanya memeluk agama Islam. Hal ini berarti masyarakat dimungkinkan beribadah dan berlaku sosial secara Islami serta menurut ajaran Islam yang dibenarkan. Adanya beberapa tanggapan mengenai praktik pembagian harta waris yang dilakukan di Desa Conto. Menurut keterangan dari Bapak Mahfudz sebagai ustadz atau tokoh masyarakat sekitar yaitu pembagian harta waris menggunakan hukum adat atau kebiasaan yang sudah turun temurun dari para pendahulu sebelumnya. Pembagian yang berdasarkan dengan pembiasaan telah dicontohkan oleh pendahulu dan sering diberlakukan oleh ahli waris dari pewaris nya. Dikarenakan itulah pembagian yang menggunakan cara Hukum Islam hampir tidak ada. Hal ini menandakan masih sangat kentalnya tatanan pembagian tersebut. Adapun sisem pembagian harta waris di Desa
Conto ada yang mengenal dengan istilah "Mbangkoni" ini adalah anak yang merawat orang tuanya sebelum meninggal dan nanti saaat pembagian harta waris anak ini mendapakan bagian yang lebih besar dari anggota keluarga lainnya. Kebanyakan yang mbangkoni ini adalah anak perempuan karena anak perempuan yang berada di rumah dan merawa orang tua, namun, anak laki-laki juga bisa menjadi anak mbangkoni juga kalau benar-benar merawat orang tuanya sebelum meninggal. Ini sudah menjadi adat istiadat di Desa Conto jadi tidak ada yang menentang dan semua keluarga masyarakat di Desa Conto menerima karena menurut masyarakat ini sudah berasaskan kekeluarga.

Masyarakat desa conto dalam membagi harta waris kebanyakan memilih pembagian warisan dengan musyawarah dan disaksikan oleh tokoh masyarakat. Setelah semua ahli waris yang ada mengambil pertimbangan-pertimbangan yang matang dan disetujui oleh semua ahli waris yang ada. Setelah dilakukan kesepakatan antara semua ahli waris itu dianggap sah karena semuanya telah bersepakat. Setelah selesai dilakukannya pembagian warisan ahli waris diminta membuat surat pernyataan yang isinya bersepakat sudah melakukan kesepakatan antara semua ahli waris untuk mencegah semisal terjadi permasalahan dihari kemudian. Pembagian waris di masyarakat Desa Conto tidaklah sesulit seperti apa yang telah dijelaskan oleh hukum waris Islam. Orang-orang yang berhak menerima harta warisan hanyalah keluarga terdekat dari pewaris, yaitu: suami atau istrinya yang meninggal dunia, anak-anak, dan saudara-saudaranya. Saudara-saudara dari pewaris itu ikut mendapatkan harta waris jika pewaris tidak mempunyai anak semasa hidupnya.

Dari keterangan Bapak Mahfudz selaku ustadz atau tokoh masyarakat Desa Conto, masyarakat cenderung memilih membagi harta waris dengan jalan musyawarah secara kekeluargaan dan besarnya perolehan untuk masing-masing ahli waris itu yang menentukan adalah mereka sendiri dengan sistem mbangkoni, Tokoh agama dan tokoh masyarakat di undang hanya sebatas menyaksikan dan sebagai saksi-saksi bahwa telah dilakukannya pembagian warisan. Menurut masyarakat pembagian warisan di Desa Conto tidaklah sesulit seperti apa yang ada dalam hukum Islam.

Adapun menurut pendapat yang diutarakan oleh Bapak Mahfudz sebagai tokoh masyarakat di Desa Conto. Masyarakat Desa Conto ini seluruh warganya menganut Agama Islam namun dalam hal pembagian harta waris yang ada di Desa Conto ini lebih dominan terhadap hukum adat yang ada. Hal ini merupakan tanggapan dan respon dari masyarakat sekitar yang saling mempunyai pemahaman sama. Pembagian harta waris adat ini sudah ada sejak para leluhur dan turun temurun hingga saat ini dan semua sudah menerima karena tidak adanya sengketa atas pembagian harta waris di Desa Conto hingga saat ini karena adat ini mempererat rasa kekeluargaan di Desa Conto. Sistem pembanggian anak mbangkoni ini juga sudah menjadi adat di Desa Conto jadi warga masyarakat semua mengerti dan cara pembagiannya langsung oleh pihak keluarga.

Analisis Praktik Pembagian Harta Waris "Mbangkoni" di Desa Conto, Kec Bulukerto, Kab Wonogiri

Berdasarkan penyampaian dari narasumber menjelaskan praktik pembagian harta waris "mbangkoni" masyarakat Desa Conto, Kecamatan Bulukerto, Kabupaten Wonogiri. Sudah lama menjalankan praktek pembagian waris ini pembagian harta waris seharusnya semua anak laki-laki yang mendapatkan harta waris lebih banyak dari pada perempuan karena pada waktu kawin anak laki-laki harus membayar mahar atau mas kawin dan harus memberikan nafkah pada istri serta menyediakan rumah dengan seisinya. Menjadi tulang punggung keluarga. Sebaliknya anak perempuan pada waktu menikah dia akan menerima mahar atau mas kawin dan nafkah serta rumah beserta isinya dari suaminya. Akan tetapi dalam masyarakat Islam Indonesia sekarang ini mahar atau mas kawin itu sebagai formalitas saja. Bentuknya tidak lagi berupa uang tunai atau benda berharga tetapi hanya seperangkat alat shalat, yang sama sekali tidak mahal. Selain itu suami dan istri sama-sama mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Seperti yang terjadi pada masyarakat Desa Conto Kecamatan Bulukerto Kabupaten Wonogiri, dalam menjalin hubungan antara melainkan hubungan antara dua anak manusia yang sepakat untuk hidup bersama dan membina keluarga atas dasar gotong royong, mereka sama-sama bekerja mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Banyak laki-laki yang memilih berdiam diri di rumah melakukan pekerjaan rumah tangga yang seharusnya dikerjakan oleh seorang perempuan, sedangkan yang perempuan pergi bekerja sebagai buruh untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga disamping itu juga menjaga orang tua.

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Praktek Pembagian Harta Waris "Mbangkoni" di Desa Conto

Melalui penjelasan para narasumber. Faktor berdasarkan Adat Kebiasaan Keterangan yang diberikan Bapak Mahfudz selaku Tokoh Agama dan Bapak Ari Yulianto sebagai pihak yang melakukan pembagian kewarisan dengan menggunakan praktik pembagian harta waris dengan sistem "Mbangkoni" dengan kata lain karena masih terdapat unsur dari adat istiadat yang melekat, dengan pembagian seimbang atau sama rata maka pihak-pihak yang mendapatkan harta waris dianggap adil karena tidak membedakan laki- laki dan perempuan, akan tetapi dalam hukum kewarisan Islam kata adil disesuaikan dengan hak dan kewajiban serta keseimbangan antara yang diperboleh dengan keperluan dan kegunaannya.

Pada dasarnya semua anak mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan harta warisan dari orang tua nya sesuai dengan tanggung jawabnya. Dalam kewarisan dikenal asas bilateral maksudnya bila dikaitkan dengan sistem keturunan berarti kesatuan keluarga, di mana setiap orang menghubungkan dirinya dalam hal keturunan kepada pihak ibu dan pihak bapak yang bermakna ahli waris dapat menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak kerabat laki-laki maupun kerabat perempuan..

RENCANA SKRIPSIi YANG AKAN DITULIS DAN  BESERTA ARGUMENTASINYA


Saya berencana menulis skripsi yang berjudul Dampak Nikah Muda dan Persepsi Masyarakat. Karena Ada beberapa alasan mengapa judul "Dampak Nikah Muda dan Persepsi Masyarakat" menjadi relevan dan penting untuk saya tulis.

Kesadaran Sosial: Masalah pernikahan dini atau nikah muda adalah topik yang secara sosial penting karena berdampak pada individu, keluarga, dan masyarakat secara luas. Dengan membahasnya, kita dapat meningkatkan kesadaran tentang isu-isu yang terkait.

Kesejahteraan Individu: Pernikahan pada usia muda dapat memiliki dampak yang signifikan pada kesejahteraan individu, baik secara fisik maupun mental. Ini termasuk risiko kesehatan reproduksi, kestabilan finansial, dan perkembangan emosional.

Dinamika Keluarga: Pernikahan dini seringkali melibatkan pasangan yang belum siap secara emosional atau finansial untuk menghadapi tanggung jawab pernikahan dan keluarga. Hal ini dapat menyebabkan tekanan pada hubungan, bahkan menyebabkan perceraian, dan berdampak negatif pada anak-anak yang mungkin dilahirkan dari pernikahan tersebut.


Keseimbangan Antara Tradisi dan Modernitas: Dalam banyak masyarakat, pernikahan dini dapat dianggap sebagai bagian dari tradisi atau norma budaya. Namun, dengan berkembangnya gagasan tentang kesetaraan gender dan pentingnya pendidikan serta perkembangan karier, persepsi terhadap nikah muda telah berubah. Ini menggambarkan konflik antara tradisi dan modernitas yang seringkali membingungkan masyarakat.


Pendekatan Pendidikan dan Kesadaran: Dengan membahas persepsi masyarakat terhadap nikah muda, kita dapat memulai dialog tentang pentingnya pendidikan seksual, kesetaraan gender, dan tanggung jawab sosial dalam membentuk masyarakat yang lebih inklusif dan progresif.


Perlunya Kajian Ilmiah: Penelitian dan pembahasan tentang dampak pernikahan dini adalah langkah penting dalam mengumpulkan bukti empiris yang dapat membantu dalam merancang kebijakan publik yang lebih baik dan menyediakan sumber daya yang diperlukan bagi individu yang terlibat dalam pernikahan dini.

Peran Media dan Opini Publik: Dengan menyelidiki persepsi masyarakat tentang nikah muda, kita dapat memahami bagaimana media dan opini publik membentuk pandangan dan norma sosial terkait topik ini. Ini dapat membantu dalam membentuk narasi yang lebih inklusif dan memberikan ruang bagi berbagai perspektif dalam diskusi tentang pernikahan dini.

Secara keseluruhan, memilih judul seperti "Dampak Nikah Muda dan Persepsi Masyarakat" memungkinkan kita untuk mendalami masalah yang kompleks ini dari berbagai sudut pandang, membuka ruang untuk diskusi yang mendalam dan pemahaman yang lebih baik tentang isu-isu yang terlibat.

#prodihki
#uinsurakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun