Tio memandang Rina dengan tajam. "Mimpi itu harus diperjuangkan, Rina. Jangan biarkan ketakutan menghalangimu. Hujan ini mungkin seperti rintangan yang harus kita hadapi, tetapi setelah hujan, ada pelangi."
Rina tersenyum mendengar kata-kata Tio. "Pelangi... Saya selalu menyukai pelangi."
Waktu berlalu, dan mereka terus berbicara, berbagi cerita tentang impian dan harapan masing-masing. Rina merasa terhubung dengan Tio, seperti menemukan teman baru yang mengerti apa yang dia rasakan. Suara hujan di luar menjadi latar yang sempurna untuk percakapan mereka yang semakin dalam.
Namun, saat malam semakin larut, Tio tiba-tiba terlihat gelisah. "Rina, saya harus pergi sekarang. Terima kasih banyak atas tempat berteduhnya. Saya tidak ingin mengganggu terlalu lama."
Rina terkejut. "Tapi hujan masih deras, Tio. Kenapa kamu tidak tinggal lebih lama?"
Tio menggeleng. "Saya harus mencari adikmu. Dia harus tahu tentang ini."
"Baiklah," kata Rina dengan ragu. "Tapi hati-hati, ya."
Tio mengangguk dan meraih jaketnya. Sebelum pergi, dia berbalik dan menatap Rina dengan serius. "Ingat, jangan pernah ragu untuk mengejar mimpimu. Kamu bisa melakukannya."
Setelah Tio pergi, Rina kembali ke kamar dan menatap jendela yang basah oleh hujan. Dia merasa aneh, campuran antara cemas dan bersemangat. Kata-kata Tio terngiang di kepalanya. Dia ingin mengejar mimpinya, tetapi di mana dia harus mulai?
Tanpa sadar, Rina membuka laptopnya dan mulai menulis. Kata-kata mengalir deras seperti hujan di luar. Dia menulis tentang mimpinya, tentang harapan dan ketakutannya, dan tentang Tio yang memberinya semangat. Tanpa disadari, Rina telah menghabiskan berjam-jam di depan layar, dan saat dia berhenti, rasa lega dan kebahagiaan menyelimuti hatinya.
Keesokan paginya, Rina terbangun dengan perasaan segar. Hujan sudah berhenti, dan sinar matahari mulai menyinari desanya. Ia melangkah ke jendela dan melihat pelangi menghiasi langit. "Pelangi," bisiknya. Dia teringat akan percakapan dengan Tio semalam.