"Jadi, apa yang membawamu ke sini di tengah hujan deras ini?" tanya Rina, berusaha mencairkan suasana.
Tio menarik napas dalam-dalam, "Sebenarnya, saya ingin bertemu dengan adikmu, namun dia tidak ada di rumah. Saya mencari dia, karena kami ada urusan penting."
Rina mengangguk. Dia tahu adiknya sering pergi ke tempat yang jauh dan kadang tidak memberi tahu orang tuanya. Dia merasakan kekhawatiran Tio, tetapi tidak tahu bagaimana membantu. "Apa ada yang bisa saya bantu?" tanyanya.
Tio memandang Rina, dan untuk sesaat, Rina merasa ada yang berbeda. Di balik wajah lelahnya, ada kilasan harapan. "Kalau bisa, tolong sampaikan padanya bahwa saya sangat membutuhkan bantuan. Ini masalah serius."
Rina menahan napas, penasaran. "Masalah apa yang kamu maksud?"
Tio terlihat ragu sejenak. "Sebaiknya saya tidak membicarakannya sekarang. Saya hanya berharap dia segera pulang."
Rina merasa curiga, tetapi ia menghormati keputusan Tio. Hujan terus mengguyur, dan suasana di dalam kamar menjadi lebih intim. Tio kemudian mulai bercerita tentang kehidupannya di kota, dan perlahan-lahan Rina merasakan ketertarikan yang tumbuh. Dia teringat kembali pada mimpinya yang hilang, terinspirasi oleh semangat Tio yang tetap menyala meskipun dalam kesulitan.
"Jadi, apa kamu juga punya mimpi?" tanya Rina, mencoba menggali lebih dalam.
Tio tersenyum tipis. "Saya ingin menjadi musisi. Musik adalah segalanya bagi saya. Namun, saya harus berjuang keras untuk mewujudkannya. Ada banyak rintangan di kota, dan kadang saya merasa lelah."
Rina terdiam, meresapi setiap kata yang diucapkan Tio. Dia merasa tersentuh oleh keteguhan Tio untuk mengejar impiannya, meskipun dalam keadaan yang sulit. Sejenak, dia melupakan semua ketakutan dan keraguannya sendiri.
"Bisa jadi kita berdua sama," kata Rina pelan. "Saya juga memiliki mimpi untuk menulis, tetapi entah mengapa, saya merasa terjebak di sini."