Keputusan untuk mengejar mimpinya semakin bulat. Dia tidak bisa membiarkan ketakutan dan keraguan menghalanginya lagi. Dia akan mulai menulis cerita yang telah lama ingin ditulis, terinspirasi oleh pengalaman dan pertemuannya dengan Tio.
Rina segera menyiapkan sarapan, berencana untuk menghubungi ibunya dan memberitahu bahwa dia akan menghabiskan lebih banyak waktu di desa. Dia merasa lebih percaya diri dan bersemangat untuk menjelajahi kreativitasnya.
Namun, saat ia sedang menikmati sarapan, tiba-tiba suara ketukan terdengar di pintu. Rina terkejut dan segera menuju pintu. Saat membukanya, dia mendapati Tio berdiri di depan, tampak lelah dan cemas.
"Tio! Ada apa?" tanya Rina, khawatir.
"Saya... saya tidak menemukan adikmu," jawab Tio dengan napas tersengal-sengal. "Saya sudah mencarinya di sekitar desa, tetapi tidak ada jejaknya."
Rina merasa khawatir. "Apa yang terjadi? Kenapa kamu mencarinya begitu mendesak?"
Tio menjelaskan bahwa ada sesuatu yang aneh terjadi di kota. Beberapa teman mereka menghilang secara misterius, dan dia merasa adik Rina mungkin juga terjebak dalam situasi yang sama. Rina merasa jantungnya berdegup kencang. Ia tidak ingin kehilangan saudaranya.
"Harus ada cara untuk menemukannya. Mungkin kita bisa mencari di tempat-tempat yang pernah dia kunjungi?" usul Rina.
Tio mengangguk. "Kita bisa mulai dari Hutan Larangan. Dia pernah mengatakan ingin menjelajahi tempat itu."
Rina merasa bersemangat dan ketakutan sekaligus. Hutan Larangan adalah tempat yang selama ini dia hindari. Namun, dengan semangat yang baru bangkit dalam dirinya, dia tahu dia tidak bisa mundur sekarang.
Setelah menyiapkan perbekalan, Rina dan Tio berangkat menuju Hutan Larangan. Setiap langkah terasa berat, tetapi Rina berusaha meneguhkan hatinya. Dia tahu, untuk menemukan adiknya, dia harus menghadapi ketakutannya.