Jejak Pikuk dalam Waktu
Oleh: Abi Wihan
Pikuk
(Bagian 1)
Tatkala fajar tersibak remang,
terdengarlah jerit sunyi tercekik bimbang,
hilir-mudik langkah, berpacu napas,
mengoyak harmoni pagi nan deras.
Di celah jalan yang sempit berdebu,
tersangkut suara bimbang tak tentu,
laksana puisi yang terputus baitnya,
tiada sempat dirangkai maknanya.
Oh, pikuk dunia, engkau melukai sepi,
merenggut damai dari hati nurani,
namun di gemuruh takdirmu yang lantang,
tersemat denyut hidup yang tetap berdendang.
Maka biarlah aku meresap semua,
dalam kepingan waktu yang berseru hampa,
sebab dalam tiap deru dan ributmu,
ada kisah yang tertulis di garis waktu.
Pikuk
(Bagian 2)
Kala malam melabuhkan tirai gelap,
pikuk tak jua redup, tak kunjung lenyap,
lentera kota berkilau muram,
mengusir sunyi yang mendamba diam.
Langkah-langkah lelah bersimpuh,
mengejar harap di bayang tubuh,
dalam deru mesin dan pekik bisu,
waktu berdetak, pelan namun menusuk pilu.
Oh, malam yang diisi pikuk tak kenal jeda,
di mana angin pun enggan membawa cerita,
hanya gema suara tanpa nama,
mengisi celah hati yang kian terlupa.
Namun di riuh malam yang menghimpit dada,
sebersit bintang menggurat cahaya,
mengingatkan jiwa yang hampir mati,
bahwa esok ada sunyi yang mungkin kembali.
Pikuk
(Bagian 3)
Di ufuk subuh, awan muram bergelayut,
pikuk masih menari, enggan surut,
seolah tiada ujung dari hiruk ini,
bagai gelombang tak henti memukul tepi.
Langit menangis, rinai turun perlahan,
namun tak jua menenangkan kelelahan,
rodaku berpacu di jalan berkerikil,
melawan waktu yang terus mengigil.
Ah, dunia, kau tabirkan rahasiamu,
di celah pikuk yang tiada redup itu,
apakah damai hanya dongeng lama,
yang terselip di antara rindu dan nestapa?
Tetapi aku berdiri, meski letih memburu,
dalam riuh ini, ada semangat yang baru,
sebab meski pikuk tak pernah berhenti,
jiwa ini kan bertahan, mencari arti.
Pikuk
(Bagian 4)
Di batas senja, mentari condong malu,
pikuk tetap menari dalam lagu pilu,
detak jam seolah mengejar,
memburu bayang dalam gelap yang mekar.
Pepohonan gemetar, daun-daun berbisik,
namun suara mereka tenggelam tragis,
di antara klakson yang meretakkan udara,
dan bisikan malam yang kian lara.
Oh, pikuk ini, kau terus bertandang,
membawa hiruk ke setiap ruang,
adakah tempat di mana kau akan padam,
atau selamanya kau menjadi dendam zaman?
Namun di balik riuh tak berkesudahan,
aku temukan sebuah pelajaran,
bahwa dalam bising yang melingkari jiwa,
ada kekuatan yang lahir tanpa jeda.
Pikuk
(Bagian 5)
Kala badai senyap dan rembulan mendaki,
pikuk tak henti berlari di tepi hari,
mengais jejak dalam bayang lelap,
tak kenal rehat, tak kenal lenyap.
Langit malam jadi saksi kelabu,
di mana manusia dan waktu berseteru,
tangis angin menyelusup dinding kota,
namun tak memadamkan gema nestapa.
Pikuk, engkau kini bukan sekadar suara,
kau jelma luka di jiwa yang terlupa,
mengurai harap menjadi serpihan kecil,
meninggalkan sepi yang tak dapat kupilih.
Namun kutahu, di batas segala riuh,
ada pagi yang kan menyusup teduh,
pikuk ini hanyalah fase sang masa,
menempa hati hingga kuat selamanya.
Pikuk
(Bagian 6)
Ketika mentari kembali mengintip jendela,
pikuk bernyanyi dalam nada lama,
lagu berulang, serupa mantra,
memanggil jiwa untuk terus berkelana.
Roda berderak di jalan penuh liku,
mengiringkan langkah manusia yang terpaku,
suara-suara menumpuk di langit yang lusuh,
mengabarkan beban, menggantung peluh.
Oh, pikuk, kau kini jadi gurauan takdir,
menuntun raga dalam batas yang getir,
namun di balik ributmu yang memaksa,
terselip cerita tentang harapan yang ada.
Dan aku, meski lelah melangk
ah di arusmu, kan tetap berdiri, menghadapi debarmu,
sebab pikuk bukan akhir dari semua,
melainkan pintu menuju damai yang sempurna
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H