"Kamu akhir-akhir ini lihat ada orang yang mengikuti aku gak?"
Dita mencoba merespons pertanyaan Vayla dengan melihat sekelilingnya. Di pintu gerbang sekolah itu ada para siswa yang berhamburan keluar dan langsung menuju mobil  jemputan mereka, ada juga mereka yang terus berjalan sepanjang trotoar menuju halte bus terdekat. Sementara mereka berdua, Vayla dan Dita, masih menunggu kedatangan sopir Dita.
"Gak ada yang membuntuti kita," jawab Dita dengan mudahnya. "Tunggu. Maksud kamu? Kamu masih memikirkan kata-kata Mbak Santi tadi pagi?" Kini Dita paham dengan arah pembicaraan Vayla. Memang ada yang salah dengan Vayla selama sehari ini. Saat pelajaran ekonomi yang notabene pelajaran favoritnya, Vayla kedapatan tengah melamun hingga Pak Anton, gurunya, menegur semua siswa di kelas.
"Orang itu, Dit. Orang yang mengikuti kita usai pemakaman. Dia ada di rumah pagi itu dan aku yakin pagi itu dia gak pergi begitu saja."
"What? Mengapa kamu gak cerita, sih? Kita kan bisa lapor polisi, Vay."
"Kamu mau melaporkan aku ke polisi?" Tiba-tiba Rendy datang di belakang mereka.
***
"Begitu Rendy membawa kue kering itu, saya langsung tahu." Air di pelupuk mata perempuan paruh baya itu perlahan jatuh. "Maafkan mama yang tidak pernah mencarimu, Nak."
"Ma...." Rendy berusaha menghentikan tangis mamanya. Ia menghapus air mata di kedua pipi mamanya kemudian memeluknya, menguatkannya.
Suasana kafe yang masih sepi pengunjung dan dengan alunan suara musik yang samar-samar membuat Vayla semakin terbuai akan pemandangan di depannya. Pandangan Vayla menatap lurus pada perempuan paruh baya dan pemuda yang kira-kira berusia lima tahun di atasnya itu. Ini pertama kalinya bagi Vayla melihat seorang ibu yang begitu menyayangi anak-anaknya. Ia sendiri tidak merasakan kasih sayang seorang ibu sejak usia dua tahun. Tunggu, mereka sedang membicarakan Vayla.
"Jadi ..." Vayla ragu melanjutkan kata-katanya.