Mohon tunggu...
Veronica Maria
Veronica Maria Mohon Tunggu... Guru - independen

Be successful from the edge.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kue Kering

8 Juni 2023   13:00 Diperbarui: 8 Juni 2023   13:02 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kue Kering

Karya Veronica A. Maria

"Vayla? Kamu masih lama di sini? Ini sudah sore. Ayo pulang," ajak Dita pelan untuk kedua kalinya.

Vayla masih menatap sendu gundukan tanah yang bertabur kelopak mawar yang sudah layu. Kakinya duduk bersila dengan nyaman. Terlihat sekali bahwa ia tak ingin beranjak. Bagaimana mungkin ia siap ditinggalkan orang yang sudah lima belas tahun bersamanya.

Sementara itu, Dita, satu-satunya teman yang dimiliki mulai gelisah melihat sepi di sekelilingnya. Beberapa kali ia mendesah, mengamati wajah Vayla yang masih sama sejak empat puluh menit yang lalu.

"Vay... Kamu mendengarkan aku gak sih? Ayo pulang, sudah sepi ini!"

"Lima menit lagi ya?" pinta Vayla. Empunya suara itu memandang Dita dengan tatapan memohon.

Rasa lega mengalir di pikiran Dita. Akhirnya, temannya itu menjawab, yang artinya dia tidak kesurupan, satu hal lain yang menjadi ketakutan Dita. "Oke, lima menit. Janji, ya. Aku lihat jam terus ini."

"Hmm ...," jawab Vayla singkat. Kini matanya terpejam seolah sedang memanjatkan doa.

***

"Tidur di rumahku saja ya malam ini," ajak Dita selagi mereka melewati deretan nisan yang berukuran senada dengan rumput hijaunya yang terpangkas dengan rapi.

"Dit, aku masih punya rumah."

"Iya, tapi kamu sendirian, Vay. Aku gak tega dan aku gak bisa menemani kamu. Kamu paling tahu kalau aku gak bisa tidur di tempat orang. Lebih enak menginap di rumahku, kita bisa ngobrol dan besok kita bisa berangkat sekolah bareng."

Tinggal beberapa langkah lagi mereka sudah bisa mencapai jalan raya dan menemukan sopir Dita yang setia menunggu sejak awal pemakaman dimulai.

Namun di persimpangan terakhir, di tengah samar cahaya matahari yang mulai digantikan cahaya lampu ada seseorang yang tengah berdiri tegap. Awalnya hanya terlihat punggungnya saja, tapi ketika Vayla menghentikan langkahnya punggung itu berbalik dan seolah sedang menatap Vayla.

"Ada apa?" Dita memandang sedih sekaligus heran pada temannya itu. "Kamu tetap mau sendirian di rumah? Oke, aku tidak memaksa kok, Vay," suara lemah Dita menunjukkan kepasrahan.

"Bukan. Sepertinya aku memang harus tidur di rumahmu," jawab Vayla dengan nada pasti.

"Hmm?" Merasa salah dengar dengan kata-kata Vayla. Akhirnya, Dita mengikuti arah tatapan Vayla.

"Bukankah dia orang yang tadi datang ke pemakaman papa? Aku yakin melihatnya meskipun dia berada di antara kerumunan orang. Dia terus menatapku selama pemakaman."

"Kamu mengenalnya?" tanya Dita.

***

"Kalau dia terus mengikuti kita sampai rumahmu, bisa-bisa keluargamu juga terancam bahaya, Dita." Ada nada ketakutan juga kegelisahan dari setiap kata-kata Vayla. Ia masih memperhatikan mobil di belakangnya yang jelas-jelas keluar bersama-sama dari kompleks pemakaman.

"Ok, tenang. Jangan panik Vayla."

"Aku gak panik," bantah Vayla. "Aku hanya ... sudahlah. bagaimana cara menghindarinya. Apa mungkin bapak bisa sedikit ngebut?" tanya Vayla pada sopir Dita. Ia sudah tidak tahu harus berbuat apa.

"Jalanan macet, Vayla. Aku punya ide, tapi sorry kalau kesannya gak simpati sama keadaanmu saat ini." sesaat Dita mengambil napas dalam dan menghembuskan pelan. "Bagaimana kalau kita mampir mal. Bukan untuk menghibur diri. Kita hanya perlu membuat jalan semut untuknya," imbuh Dita.

Vayla mengangguk setuju. Ide yang disampaikan Dita memang yang paling mungkin untuk dilakukan. "Aku ikut rencanamu."

"Bapak awasi orang di mobil belakang itu. Kalau dia mengikuti kami dan ikut masuk, Bapak kirim pesan ke saya. Ingat, ketik pesan, jangan telepon, ya Pak. Setelah itu saya akan minta  Bapak bersiap jemput kami di lobi. Kalau dia tidak mengikuti kami setelah lima belas menit, kami akan pulang naik taksi. Bapak bisa pulang agak larut, sampai dia tidak mengikuti Bapak."

Dita selesai menjelaskan rencananya tepat ketika mobil sudah memasuki area basemen. Mereka meninggalkan pak sopir dan dengan tenang masuk ke area mal.

Tepat seperti dugaan pertama. Pemuda itu ikut turun dari mobil dan masuk ke area mal. Vayla terus memastikan bahwa pemuda itu memang berada di dekat mereka dengan begitu mereka tahu kapan harus segera melarikan diri.

Sementara pemuda itu terus mengikuti di dalam mal, Dita dan Vayla terus berusaha memperlebar jarak. Setelah dirasa cukup jauh, Dita segera mengetik pesan dan meminta sopirnya menuju ke persimpangan jalan. Pak, jangan jemput di lobi. Tunggu kami di persimpangan jalan, kami segera keluar.

***

"Kamu yang semalam mengikuti aku, kan? Mengapa pagi-pagi sudah ada di rumahku? Bagaimana kamu melewati pintu gerbang?" rentetan pertanyaan mengalir begitu cepat dari bibir Vayla. Takut dan marah sudah menyatu, tak ada bedanya lagi. Hanya keberanian yang berusaha ditampakkan Vayla di depan pemuda itu. Pemuda yang tiba-tiba sudah duduk di teras rumahnya.

"Sorry, pintu gerbangmu tidak terkunci sejak kamu pergi ke rumah sakit," jawab pemuda itu yang kemudian bangkit dari duduknya.

"Sejak kapan kamu mengikuti aku?" Vayla mundur selangkah, menjauhi rumahnya sendiri, menjauhi pemuda itu. Dalam pikirannya ia berusaha mengingat teori sprint yang pernah diajarkan guru olahraganya. Bersamaan dengan itu ia juga menyesal tidak membiarkan Dita menemaninya masuk ke rumah juga menolak ajakan Dita untuk masuk sekolah hari ini.

"Aku tidak membuntutimu," sanggah pemuda itu.

Vayla kembali mundur mendengar jawaban itu. Jelas-jelas pemuda itu berusaha menemuinya sejak semalam bahkan dia juga tahu kapan terakhir kali Vayla mengunci pintu gerbang.

Tanpa menunggu lama, Vayla pun segera berbalik dan sebelum berhasil mempraktikkan teori sprint yang diajarkan gurunya, pemuda itu sudah berhasil meraih lengan kanan Vayla.

"Lepaskan!" teriak Vayla ketakutan.

"Tenang! Aku bukan orang jahat!"

"Lepaskan! Atau aku akan teriak!" ancam Vayla.

"Kamu sudah berteriak," jawab pemuda itu mengingatkan.

"Aku bilang lepaskan!" Vayla berontak, berusaha melepaskan sendiri lengannya dari cengkeraman pemuda itu.

"Ok, aku lepaskan, tapi tolong tenang," pinta pemuda itu.

Perlahan pemuda itu melepaskan genggamannya, mengangkat kedua tangannya ke udara sambil memastikan bahwa Vayla tidak akan kabur lagi.

"Aku sudah semalaman di sini meskipun aku tahu bahwa kamu menginap di rumah temanmu. Aku tetap di sini," jelas pemuda itu.

Mereka duduk di teras rumah dengan begitu canggung. Terutama Vayla. Pikirannya masih kalut, berusaha mencari cara lain untuk bisa segera menjauh dari pemuda itu.

"Kamu siapa?" tanya Vayla dengan jengkel. Tak sekali pun ia memandang ke arah lawan bicaranya. Dengan pikirannya yang berkelana, ia mengamati tangannya yang memerah dan mulai terasa sakit. "Sepertinya aku tidak mungkin melarikan diri," batin Vayla. Pemuda itu tidak akan pernah menjadi lawan yang seimbang untuk Vayla. Ia hanya perlu bersikap baik untuk sementara alih-alih kabur dan akan terus dihantui oleh keberadaan pemuda itu.

"Oh, aku Rendy." Pemuda itu mengulurkan tangan, tapi Vayla hanya menatapnya saja hingga pemuda itu menurunkan kembali tangan ke pangkuannya. "Sudah hampir dua bulan ini aku memperhatikanmu."

"Dan kamu bilang tidak membuntutiku? Omong kosong apa ini?" Vayla mendongakkan kepala karena terkejut dan untuk pertama kali ia benar-benar mengamati wajah pemuda itu.

"Dengarkan dulu," lirih Rendy.

"Kamu pikir apa yang aku lakukan? Dari tadi aku mendengarkanmu!" bentak Vayla. "Apa tujuanmu datang ke sini? Apa keluargaku punya hutang padamu? Kalau ada, kamu bisa menyampaikannya dan aku akan berusaha mengembalikan padamu. Bukan dengan cara membuntutiku seperti ini!"

"Aku tidak bermaksud jahat padamu, Vayla. Aku sudah katakan itu," jelas Rendy masih dengan sikapnya yang sabar.

"Kamu terlalu bertele-tele."

"Kamu persis seperti papamu." Suara lemah Rendy seolah kembali tertelan. Ia menyandarkan punggungnya berharap Vayla tidak pernah mendengar, tapi sia-sia. Vayla telah mendengarnya.

"Apa kamu bilang?" selidik Vayla penuh keraguan.

"Ya, kamu persis seperti papa. Keras kepala!" Tak ada gunanya menarik kata-kata, Rendy justru memperjelas maksud perkataannya.

"Lebih baik kamu pergi sekarang!" tegas Vayla. Ia sudah berdiri dan menudingkan telunjuknya ke pintu gerbang. "Kamu salah sudah membawa-bawa orang yang sudah meninggal dan kamu juga sudah salah menilai papaku yang begitu sabar dan sayang sama aku!"

"Aku tidak sedang membicarakan orang yang sudah meninggal. Aku membicarakan papa kandungmu dan dia masih hidup."

"Omong kosong apa lagi yang kamu katakan?" Antara kaget dan marah, Vayla menyelidik kebohongan dari wajah pemuda yang mulai beranjak dari tempat duduknya.

"Pagi ini aku hanya ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja. Kelihatannya memang baik-baik saja jadi aku bisa pergi. Aku pergi," pamit Rendy.

"Pergi! Jangan pernah berani muncul di hadapanku lagi!" teriak Vayla yang tak digubris sedikit pun oleh Rendy.

***

Seminggu sejak hari pemakaman papanya, Vayla mulai terbiasa dengan kesendiriannya di rumah. Beruntung, papanya meninggalkan sedikit uang tabungan dan asuransi yang bisa menjamin hidupnya. Namun demikian, Vayla harus bisa menghemat tabungan yang ditinggalkan untuknya itu dan untuk menghalau kesepiannya, kini ia tak hanya memikirkan urusan sekolah, tetapi juga kebutuhan hidupnya ke depan. Kesehariannya, di waktu istirahatnya, ia gunakan untuk mengasah hobinya di dapur.

Sepulang sekolah siang itu, Vayla menyempatkan diri pergi ke kantin. Bukan untuk membeli makan siang meskipun perutnya begitu lapar, tapi ia meminta izin untuk menitipkan barang dagangan di kantin sekolah.

Membuat kue kering merupakan keahlian yang dimiliki Vayla, entah dari mana tangan terampilnya itu diwarisi. Setiap tepung dan bahan lain yang ada di dapurnya selalu berhasil ia ubah menjadi aneka camilan kering yang menggugah selera.

"Kalau bisa membuat lebih, kamu juga bisa jual di etalase restoran mamaku. Nanti aku bantu desain kemasannya supaya menarik," saran Dita yang kali ini membantu Vayla mengemas kue kering yang baru saja keluar dari oven.

"Aku kan juga harus sekolah, Dit. Mana ada waktu buat bikin lebih banyak dari ini? Ini saja kamu bantu-bantu buat pengemasan. Kalau kamu tidak bantu, aku bisa sampai malam mengerjakan ini semua."

"Gampang! Ada mesin yang bisa memproduksi banyak dalam waktu singkat dan ada juga mesin pengemasan yang praktis. Kalau hasil dagangan ini sudah terkumpul kamu harus beli itu mesin. Bergadang itu harus konsisten biar berhasil, jangan sampai absen seperti kemarin. masak baru tiga hari sudah pakai acara libur segala."

"Maksudmu?" Vayla menghentikan aktivitasnya dan dengan kebingungan memandang Dita. Ia menunggu penjelasan Dita.

"Kamu kemarin gak setor dagangan ke kantin, kan? Habis jam olahraga anak-anak mau beli ternyata gak ada. Banyak yang suka loh sama camilan ini."

***

"Mbak, kue saya kemarin lusa di mana ya, Mbak?" tanya Vayla sambil menyipitkan mata, menyisir seluruh sudut etalase makanan kering di kantin itu. Nihil, tidak ada kue buatan Vayla, kecuali kue yang dibawanya pagi itu.

"Jangan bilang Neng Vayla lupa, ya. Uangnya kan sudah saya kasih ke Neng Vayla semua. Jadi, ya dagangannya sudah gak ada. Kue dari Neng kan selalu habis setiap hari," puji Mbak Santi, penjaga kantin di sekolah Vayla.

"Saya terima uang dari Mbak Santi, saya ingat itu, tapi teman saya bilang kalau kue saya gak dijual kemarin lusa."

"Oh, itu karena ada mas-mas yang datang, makan kue Neng Vayla, terus dia borong semua. Ya sudah, saya kasih saja. Toh, setiap hari Neng bakalan setor kue, jadi anak-anak absen sehari gak papa lah."

Vayla dan Dita kini saling bertatapan di depan Mbak Santi yang kembali sibuk menata dagangannya, termasuk dagangan titipan Vayla.

***

"Kamu akhir-akhir ini lihat ada orang yang mengikuti aku gak?"

Dita mencoba merespons pertanyaan Vayla dengan melihat sekelilingnya. Di pintu gerbang sekolah itu ada para siswa yang berhamburan keluar dan langsung menuju mobil  jemputan mereka, ada juga mereka yang terus berjalan sepanjang trotoar menuju halte bus terdekat. Sementara mereka berdua, Vayla dan Dita, masih menunggu kedatangan sopir Dita.

"Gak ada yang membuntuti kita," jawab Dita dengan mudahnya. "Tunggu. Maksud kamu? Kamu masih memikirkan kata-kata Mbak Santi tadi pagi?" Kini Dita paham dengan arah pembicaraan Vayla. Memang ada yang salah dengan Vayla selama sehari ini. Saat pelajaran ekonomi yang notabene pelajaran favoritnya, Vayla kedapatan tengah melamun hingga Pak Anton, gurunya, menegur semua siswa di kelas.

"Orang itu, Dit. Orang yang mengikuti kita usai pemakaman. Dia ada di rumah pagi itu dan aku yakin pagi itu dia gak pergi begitu saja."

"What? Mengapa kamu gak cerita, sih? Kita kan bisa lapor polisi, Vay."

"Kamu mau melaporkan aku ke polisi?" Tiba-tiba Rendy datang di belakang mereka.

***

"Begitu Rendy membawa kue kering itu, saya langsung tahu." Air di pelupuk mata perempuan paruh baya itu perlahan jatuh. "Maafkan mama yang tidak pernah mencarimu, Nak."

"Ma...." Rendy berusaha menghentikan tangis mamanya. Ia menghapus air mata di kedua pipi mamanya kemudian memeluknya, menguatkannya.

Suasana kafe yang masih sepi pengunjung dan dengan alunan suara musik yang samar-samar membuat Vayla semakin terbuai akan pemandangan di depannya. Pandangan Vayla menatap lurus pada perempuan paruh baya dan pemuda yang kira-kira berusia lima tahun di atasnya itu. Ini pertama kalinya bagi Vayla melihat seorang ibu yang begitu menyayangi anak-anaknya. Ia sendiri tidak merasakan kasih sayang seorang ibu sejak usia dua tahun. Tunggu, mereka sedang membicarakan Vayla.

"Jadi ..." Vayla ragu melanjutkan kata-katanya.

Dita yang sedari tadi setia menemani Vayla terkejut dan semakin kebingungan dengan reaksi Vayla. Ia berusaha mencerna semua peristiwa itu dalam diam. Keterlibatannya siang hari itu adalah satu-satunya dukungan yang bisa ia berikan untuk Vayla. Ia hanya akan duduk, menjadi pendengar, dan menjadi saksi untuk peristiwa yang dialami Vayla hari itu.

Mendengar kalimat Vayla yang tak diselesaikan, Rendy paham bahwa hal itu akan sulit diterima begitu saja. Akhirnya, Rendy menceritakan tentang bagaimana Vayla dengan sengaja ditukar sewaktu masih bayi di rumah sakit.

"Ibu yang merawatmu waktu kecil menderita sakit jantung usai melahirkan dan perlu banyak biaya untuk operasi. Sementara itu, papa sangat menginginkan anak laki-laki. Entah apakah mereka saling mengenal sebelumnya, aku tidak tahu. Aku hanya tahu kalau papa dan papa yang selama ini merawatmu sedang membuat perjanjian untuk menukar kamu dan bayi laki-laki itu."

"Rendy ini kakakmu, sementara anakku yang lain sudah berpulang dua bulan lalu. Dia sakit, sakit yang sama dengan yang dialami ibunya. Rendy yang memberitahu mama tentang kamu. Rendy juga yang selama ini mencari kamu dan berusaha membawamu untuk pulang ke rumah. Sebelumnya, mama tidak tahu apa-apa."

"Ayo, ikut kami pulang," pinta sang ibu sambil memegang tangan Vayla.

Sayang, Vayla cukup cerdas dalam menangkap setiap kata yang disampaikan Rendy. "Untuk apa aku ikut pulang bersama kalian kalau papa kandungku tidak menginginkanku?"

"Itu dulu, Nak. Bahkan sekarang dia sangat ingin melihatmu. Percayalah," bujuk sang ibu dengan iba.

"Beberapa hari ini aku bolak-balik ke rumah sakit dan catatan sipil untuk mengurus berkas-berkas supaya kamu kembali ke rumah. Papa yang menandatangani semua berkas. Papa mempermudah semuanya," imbuh Rendy.

Vayla memandang Dita. Ada keraguan di benaknya, apakah semua ini nyata atau sekadar mimpi.  Melihat Dita mengangguk, akhirnya Dita mantap menjawab, "Ya, aku akan pulang bersama kalian. Aku harus menyapa papa kandungku."

Senyum mengembang mengalahkan panas terik yang ikut menerobos masuk melalui dinding kaca kafe itu. Sang ibu bangkit mendekat dan memeluk putrinya untuk pertama kali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun