"Dit, aku masih punya rumah."
"Iya, tapi kamu sendirian, Vay. Aku gak tega dan aku gak bisa menemani kamu. Kamu paling tahu kalau aku gak bisa tidur di tempat orang. Lebih enak menginap di rumahku, kita bisa ngobrol dan besok kita bisa berangkat sekolah bareng."
Tinggal beberapa langkah lagi mereka sudah bisa mencapai jalan raya dan menemukan sopir Dita yang setia menunggu sejak awal pemakaman dimulai.
Namun di persimpangan terakhir, di tengah samar cahaya matahari yang mulai digantikan cahaya lampu ada seseorang yang tengah berdiri tegap. Awalnya hanya terlihat punggungnya saja, tapi ketika Vayla menghentikan langkahnya punggung itu berbalik dan seolah sedang menatap Vayla.
"Ada apa?" Dita memandang sedih sekaligus heran pada temannya itu. "Kamu tetap mau sendirian di rumah? Oke, aku tidak memaksa kok, Vay," suara lemah Dita menunjukkan kepasrahan.
"Bukan. Sepertinya aku memang harus tidur di rumahmu," jawab Vayla dengan nada pasti.
"Hmm?" Merasa salah dengar dengan kata-kata Vayla. Akhirnya, Dita mengikuti arah tatapan Vayla.
"Bukankah dia orang yang tadi datang ke pemakaman papa? Aku yakin melihatnya meskipun dia berada di antara kerumunan orang. Dia terus menatapku selama pemakaman."
"Kamu mengenalnya?" tanya Dita.
***
"Kalau dia terus mengikuti kita sampai rumahmu, bisa-bisa keluargamu juga terancam bahaya, Dita." Ada nada ketakutan juga kegelisahan dari setiap kata-kata Vayla. Ia masih memperhatikan mobil di belakangnya yang jelas-jelas keluar bersama-sama dari kompleks pemakaman.