"Aku sudah semalaman di sini meskipun aku tahu bahwa kamu menginap di rumah temanmu. Aku tetap di sini," jelas pemuda itu.
Mereka duduk di teras rumah dengan begitu canggung. Terutama Vayla. Pikirannya masih kalut, berusaha mencari cara lain untuk bisa segera menjauh dari pemuda itu.
"Kamu siapa?" tanya Vayla dengan jengkel. Tak sekali pun ia memandang ke arah lawan bicaranya. Dengan pikirannya yang berkelana, ia mengamati tangannya yang memerah dan mulai terasa sakit. "Sepertinya aku tidak mungkin melarikan diri," batin Vayla. Pemuda itu tidak akan pernah menjadi lawan yang seimbang untuk Vayla. Ia hanya perlu bersikap baik untuk sementara alih-alih kabur dan akan terus dihantui oleh keberadaan pemuda itu.
"Oh, aku Rendy." Pemuda itu mengulurkan tangan, tapi Vayla hanya menatapnya saja hingga pemuda itu menurunkan kembali tangan ke pangkuannya. "Sudah hampir dua bulan ini aku memperhatikanmu."
"Dan kamu bilang tidak membuntutiku? Omong kosong apa ini?" Vayla mendongakkan kepala karena terkejut dan untuk pertama kali ia benar-benar mengamati wajah pemuda itu.
"Dengarkan dulu," lirih Rendy.
"Kamu pikir apa yang aku lakukan? Dari tadi aku mendengarkanmu!" bentak Vayla. "Apa tujuanmu datang ke sini? Apa keluargaku punya hutang padamu? Kalau ada, kamu bisa menyampaikannya dan aku akan berusaha mengembalikan padamu. Bukan dengan cara membuntutiku seperti ini!"
"Aku tidak bermaksud jahat padamu, Vayla. Aku sudah katakan itu," jelas Rendy masih dengan sikapnya yang sabar.
"Kamu terlalu bertele-tele."
"Kamu persis seperti papamu." Suara lemah Rendy seolah kembali tertelan. Ia menyandarkan punggungnya berharap Vayla tidak pernah mendengar, tapi sia-sia. Vayla telah mendengarnya.
"Apa kamu bilang?" selidik Vayla penuh keraguan.