Mohon tunggu...
M. Hamse
M. Hamse Mohon Tunggu... Guru - Hobi Menulis

Hobi Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mumpung

24 Oktober 2022   07:40 Diperbarui: 24 Oktober 2022   07:51 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

                                                                                                                                     Mumpung

 

Mumpung masih pagi, sebelum hari merambat siang

Bebaskan bekumu! Segarkan ragamu itu

Buang unek-unekmu!

Ia sesat dalam keputusannya yang sempit, dalam benaknya yang tidak mengurai dengan baik maksud. Sesat yang meminggirkan hati untuk sekedar mencari arti hidup. Apa boleh di kata, terlanjur, ah, siapa yang menciptakan kata ini? Begitulah.

"Tidak semua pilihanmu baik. Terkadang pilihan orang juga baik. Ibarat masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan hati dan pikiran sendiri. Toh solusi didapat dari pendapat orang!"

"Apa maksudnya, Bu?" tayanya ingin tahu.

Ibu hanya tersenyum kepadanya.

"Kalau kau lelah dalam pencarianmu, masih ada Ibu yang bisa membantu mencari yang kau cari."

"Aku tidak lelah mencari. Aku hanya sedikit letih menanti."

"Letih sedikit, lama-lama menjadi letih sebukit!"

"Aku tidak akan membiarkannya menjadi letih sebukit," katanya dengan pandangan yang tajam. Bukan melawan ibunya, hanya saja tidak selaras dengan pikirannya dengan pikiran ibunya.

"Pada intinya dia pas untukmu!" kata ibunya.

Ia mematung dalam berdirinya yang sesak. Sesak yang kian menyesakkan. Baru saja karang-karang tajam menancap pada tubuhnya yang mulai lemas.

***

            "Aku cinta kau," katanya.

Semesta membahana tertawa. Bumi tergoncang, sama dengan kegembiraannya yang tiada tara kala senja kembali waktu itu. Ia termenung, bukan sebab dunia menolak kalimat itu. Hanya saja ia tak menyangka, secepat itu sinar-sinar cinta menghangatkannya. Senja yang tidak hanya memberinya warna, tetapi lebih dari itu memberi makna dalam.

            "Apa kamu tidak salah?" tanyanya dalam suara yang bisa dibilang setengah berbisik.

Leonard hanya memasang senyum. Senyum yang khas dimiliki seorang laki-laki pencari cinta, pencari bahagia, yang menurutnya ia temukan dalam senyum simpul milik Via.

Ia mengangguk, "Salah? Aku tidak salah! Seperti ada yang mendorongku untuk mengatakannya. Dan aku, tidak kuasa menahan lebih lama lagi," jelas Leonard. Ia merapatkan berdirinya, yang dari tadi mengambil jarak. Sekarang melangkah, selangkah lebih dekat dari sebelumnya.

            "Aku tidak salah, Vi," bisiknya.

Sontak wajah putih berseri itu memerah. Ada rasa malu yang tidak tertahan. Deburan ombak asmara bergmuruh dalam hatinya yang selama ini beku dalam liku-liku cinta palsu.

            "Pikirkan kalimatmu. Jangan terbawa nafsu!" kata Via.

Leonard hanya tersenyum. Ya betul, nafsu bukanlah asasi pemberian cintanya. Ia cinta, cinta yang hanya bisa ia katakan dalam kata cinta itu sendiri.

"Aku bersedia menjadi nahkoda, manakala kau mau berlayar ke samudra. Aku siap menjadi matahari, ketika dinginnya dunia tak tertahan," kata Leonard.

Seketika ia merapatkan peluknya. Mengeratkan lagi dekapnya. Ia menemukan yang ia cari, pencariannya sudah selesai.

"Jangan pergi," desisnya kemudian.

***

Ibu memandangnya tajam, setelah diketahui ia baru saja pulang. Membiarkan tamu tak diundang duduk termenung menunggu ia pulang sejak sejam lalu. Duduk tanpa beban, sebab ia tahu Via mencintainya penuh. Itu yang ia tahu sejak hari itu. Pandangan ibunya semakin tajam. Tajam, bisa dilihat dari mata sang ibu yang tidak terpejam. Memelototinya sejak ia mengetuk pintu, minta dibukakan.

"Ada apa denganmu?"

Pertanyaan yang ia anggap angin lalu. Tak perlu ia jawab, sebab ia tahu ibunya tahu betul.

"Ibu tanya, ada ada denganmu?"

"Tidak ada apa-apa, Bu? Aku baru saja pulang! Ibu tidak tahu?" jawabnya ketus.

Ia beranjak dari tempatnya berdiri, menuju kamar untuk sekedar merenung diri. Setetes air mata mulai turun. Sesak tak tertahan lagi. Serasa mulutnya kelu untuk sekedar mengatakan tidak akan situasi yang kian memberatkan.

Mumpung masih siang, sebelum senja merambat turun

Bebaskan dirimu

Kepaklah sayapmu menuju cakrawala

Sampai di sana goreskan harapanmu

            "Aku cinta kau, Vi," katanya.

Ia hanya diam, memandang malam yang memekat. Bulan memancar, membiaskan wajahnya yang kaku dalam perihnya. Pikirannya jauh melayang, melayang ke  cerita cinta yang menjanjikan, menurutnya, bukan menurut dunia.

            "Aku cinta kau, Vi," katanya lagi.

            Ia kemudian duduk. Duduk menanti jawaban dari ia yang ia cintai.

            "Jangan mencintai bunga yang terluka, Stiv," katanya.

            Ia kemudian berdiri. Duduk di sampingnya yang sedari tadi menunggu di luar.

            "Jangan, Stiv. Jangan! Please!" katanya penuh harap. Harap dimengerti.

            Stiven menggeserkan duduknya. Menatap ke dalam wajahnya yang masih tersisa kesedihan dari kisah yang ia sendiri tidak tahu dan tidak ingin tahu.

            "Bunga terluka butuh cinta, Vi. Ia butuh obat," katanya.

            Via mengangguk pelan. Kemudian menggeleng. Yang artinya, hanya ia yang tahu.

"Jangan mencintai bunga terluka, Stiv. Itu perih. Itu menyakitkan. Pulanglah, madahkan syairmu ke dunia, jangan masuk duniaku," katanya.

Malam terus berlalu tak berhenti sekalipun meraung ia meminta. Malam tidak akan bertahan selamanya. Via masih duduk merenung dalam kamarnya yang sumpek. Tisu-tisu berserakan dan robek. Air matanya tidak berhenti jatuh. Malam kian berlalu, bersama hatinya yang kelu dan kaku. Kaku  dalam cerita yang ia percaya sebagai lampu bahagia.

***

Sisa-sisa buliran hujan masih bertengger di atas ranting, di ujung-ujung daun yang bertebaran banyak di halaman. Suara gemuruh langit terasa mencekam. Via masih duduk melamun, menatap buliran hujan yang ia tahu tidak memberikannya apa-apa, termasuk pergolakan batinnya yang ia simpan di sudut sukmanya.

            "Aku pulang, Vi," pamitnya.

Ia masih terpaku menatap buliran hujan. Kemudian ia mengangguk pelan. Tak ada sepatah kata pun terucap. Sebenarnya banyak, hanya saja tertahan, sebab ia takut, takut mengatakan kebenaran, bahawa tidak ada lagi tempat untuknya. Tempat sudah sesak, sesak sekali, sesesak jiwanya yang rapuh sekedar mengutarakan maksud.

"Masih ada waktu. Semuanya masih mungkin. Jangan sakiti dia yang siap terluka atas kisahmu," suara itu menggema dalam bilik kamarnya yang lusuh.

Via limbung. Suara itu menggema sekali lagi. Terdengar lagi dan lagi. Makin peliklah pikirannya. Kemantapan yang sudah ia siapkan untuk menyuratkan niatnya, kini mengabur.

"Aaa ... aaa ... ," ia berteriak lalu air mata membuncah di ujung matanya. Melelah bak es yang tersiram panasnya matahari. Ia berteriak lagi dan berteriak lagi. Kesumpekannya menjadi-jadi.

            "Jangan egois!" bentak ibunya.

Ia hanya diam. Air mata masih mengalir jernih di ujung matanya. Kesedihannya kian bertambah, sebab tidak satu pun kata keluar dari mulut ibunya sekedar pemahamaan atas yang terjadi. Pergolakan kian menjadi. Dunia tidak menerima keputusan yang ia mau.

            "Sekali saja, pahami perasaanku, Bu!" isaknya.

            "Sudah. Aku sudah pahami. Ini yang terbaik buatmu!"

            "Tidak, Bu! Ini neraka untukku!"

            "Mana surgamu? Mana?" suara ibunya makin meninggi. Ia tahu itu, ia tak pernah dipahami sekalipun beribu-ribu alasan ia berikan.

           

            Mumpung masih senja, sebelum malam bertahta

            Lepaskan belenggumu

            Malam akan memberimu sakit!

                                           

Langkahnya terhenti. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan kepadanya. Sebelumnya sudah tertata apa yang hendak dikata, hanya saja terlupa begitu saja ketika ia menangkap bayangan itu makin dekat.

            "Aku cinta kau, Vi," katanya.

"Aku bersedia menjadi nahkoda, manakala kau mau berlayar ke samudra. Aku siap menjadi matahari, ketika dinginnya dunia tak tertahan," lanjutnya.

"Aku tahu. Aku tahu betul niatmu. Bahkan rasa sayangmu tidak sebanding dengan besarnya dunia ini," jawabnya.

Lalu ia diam. Diam dan menangis.

"Aku takut. Takut tak bisa berlayar bersamamu. Aku takut," katanya dalam isakan yang haru.

"Jangan takut, Vi. Jangan takut, biarkan waktu menjawab. Biarkan waktu memberikan jalan," katanya berbisik.

Leonard mengeratkan dekapnya. Via masih menangis dalam rangkulan yang hangat. Tangisan yang tidak memberinya apa-apa, apalagi jawaban atas masalah yang membentang bak laut yang terukur luasnya.

"Mumpung masih ada waktu, Vi. Selagi masih ada, Vi," katanya.

"Aku takut," jawabnya.

"Takut tidak memberikan apa-apa, Vi, selain luka. Takut adalah setan, Vi," katanya lagi.

Ia terdiam dalam pelukan hangat itu. Terisak dalam diamnya yang makin kalut. Gaung-gaung suara itu kembali lagi, kembali menyampaikan kalimat yang sama.

"Masih ada waktu. Semuanya masih mungkin. Jangan sakiti dia yang siap terluka atas kisahmu," suara itu menggema.

"Masih ada waktu, Vi. Masih ada. Jangan takut!" kata Leonard yang masih berharap kisah mereka akan berakhir di sana, di singgasana. Entah itu terjadi kapan, dan bagaiman ke depan, itu urusan waktu.

"Aku cinta kau," kata Via, masih dalam sisa-sisa tangisanya yang iba.

"Aku cinta kau!" jawabnya.

16 April 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun