Via limbung. Suara itu menggema sekali lagi. Terdengar lagi dan lagi. Makin peliklah pikirannya. Kemantapan yang sudah ia siapkan untuk menyuratkan niatnya, kini mengabur.
"Aaa ... aaa ... ," ia berteriak lalu air mata membuncah di ujung matanya. Melelah bak es yang tersiram panasnya matahari. Ia berteriak lagi dan berteriak lagi. Kesumpekannya menjadi-jadi.
      "Jangan egois!" bentak ibunya.
Ia hanya diam. Air mata masih mengalir jernih di ujung matanya. Kesedihannya kian bertambah, sebab tidak satu pun kata keluar dari mulut ibunya sekedar pemahamaan atas yang terjadi. Pergolakan kian menjadi. Dunia tidak menerima keputusan yang ia mau.
      "Sekali saja, pahami perasaanku, Bu!" isaknya.
      "Sudah. Aku sudah pahami. Ini yang terbaik buatmu!"
      "Tidak, Bu! Ini neraka untukku!"
      "Mana surgamu? Mana?" suara ibunya makin meninggi. Ia tahu itu, ia tak pernah dipahami sekalipun beribu-ribu alasan ia berikan.
     Â
      Mumpung masih senja, sebelum malam bertahta
      Lepaskan belenggumu