"Jangan, Stiv. Jangan! Please!" katanya penuh harap. Harap dimengerti.
      Stiven menggeserkan duduknya. Menatap ke dalam wajahnya yang masih tersisa kesedihan dari kisah yang ia sendiri tidak tahu dan tidak ingin tahu.
      "Bunga terluka butuh cinta, Vi. Ia butuh obat," katanya.
      Via mengangguk pelan. Kemudian menggeleng. Yang artinya, hanya ia yang tahu.
"Jangan mencintai bunga terluka, Stiv. Itu perih. Itu menyakitkan. Pulanglah, madahkan syairmu ke dunia, jangan masuk duniaku," katanya.
Malam terus berlalu tak berhenti sekalipun meraung ia meminta. Malam tidak akan bertahan selamanya. Via masih duduk merenung dalam kamarnya yang sumpek. Tisu-tisu berserakan dan robek. Air matanya tidak berhenti jatuh. Malam kian berlalu, bersama hatinya yang kelu dan kaku. Kaku  dalam cerita yang ia percaya sebagai lampu bahagia.
***
Sisa-sisa buliran hujan masih bertengger di atas ranting, di ujung-ujung daun yang bertebaran banyak di halaman. Suara gemuruh langit terasa mencekam. Via masih duduk melamun, menatap buliran hujan yang ia tahu tidak memberikannya apa-apa, termasuk pergolakan batinnya yang ia simpan di sudut sukmanya.
      "Aku pulang, Vi," pamitnya.
Ia masih terpaku menatap buliran hujan. Kemudian ia mengangguk pelan. Tak ada sepatah kata pun terucap. Sebenarnya banyak, hanya saja tertahan, sebab ia takut, takut mengatakan kebenaran, bahawa tidak ada lagi tempat untuknya. Tempat sudah sesak, sesak sekali, sesesak jiwanya yang rapuh sekedar mengutarakan maksud.
"Masih ada waktu. Semuanya masih mungkin. Jangan sakiti dia yang siap terluka atas kisahmu," suara itu menggema dalam bilik kamarnya yang lusuh.