Hukum Islam menentukan perilaku keagamaan yang tepat bagi seorang muslim, dan akibatnya seorang muslim yang religius harus hidup sesuai dengan aturan hukum Islam. Konsepsi ini, demikian dihujahkan, telah muncul pada zaman Nabi Islam dan telah mendominasi pemikiran muslim sejak awal. Oleh karena itu, Raphael Israeli berargumen, “Baik hukum Islam maupun institusi-institusinya diberi ekspresi yang lengkap dan mendominasi kehidupan negara atau, kekurangannya, jika negara itu adalah negara non-Islam, maka kaum muslim harus berusaha untuk membalikkan situasi tersebut atau meninggalkannya.”
Implikasi yang jelas dari argumen ini adalah bahwa kehidupan di negara non-muslim menghadapkan seorang muslim yang religius dengan kontradiksi yang tak-dapat dipecahkan. Di manapun seorang muslim menetap, kesetiaan utamanya adalah kepada hukum Islam, dan menetap di wilayah non-muslim dianggap sebagai kejahatan yang penting tetapi sementara. Ini utamanya terjadi ketika seorang muslim yang religius dipaksa untuk menetap di negara demokrasi sekular Barat.
Sebuah laporan yang diterbitkan oleh House Republican Research Committee’s Task Force on Terrorisms and Unconventional Warfare menyatakan sebagai berikut:
"Islam merupakan sebuah jalan hidup komunal, dan sebagian besar emigran serta anak-anak mereka yang lahir-di-Eropa hidup bersama dengan cara terisolasi dari, dan memusuhi, masyarakat di sekitar mereka. Komunitas-komunitas muslim menuntut agar diizinkan melaksanakan seluruh aspek Islam termasuk hukum-hukum yang tidak dapat diterima di Barat …dan mendukung upaya untuk menjadikan hukum Islam lebih unggul daripada hukum perdata di negeri tersebut. Bagi kaum muslim, penerimaan atas hukum Barat di negeri tersebut berarti menentang ajaran Islam bahwa Syariah merupakan hukum duniawi yang paling luhur [penekanan pada teks asli]".
Argumen ini mengabaikan kompleksitas pengalaman historis kaum muslim dan realitas sosiologis sekarang. Kita curiga bahwa ini sebagian besar dikonstruksi dari asumsi-asumsi tentang sumber-sumber doktrinal Islam. Sejauh itu merupakan argumen doktrinal, ia menyajikan pandangan esensialis tentang wacana yuridis Islam perihal minoritas-minoritas muslim, yang menyediakan elemen-elemen yang harus dipertimbangkan, bukannya hukum yang harus diterapkan atau bahkan dalil-dalil teologis jelas yang harus dilaksanakan dengan patuh. Yang muncul dari wacana Islam tentang minoritas-minoritas muslim tersebut adalah beberapa argumen yang saling bersaing dan, kadang-kadang, saling bertentangan yang harus dipertimbangkan.
Yang pertama adalah keharusan melaksanakan moralitas Islam dan menghindari penindasan. Alquran memerintahkan kepada mereka yang ditindas untuk melawan dengan berhijrah ke negeri-negeri yang lebih adil dan Alquran (5: 44, 49) memerintahkan orang-orang beriman untuk memerintah diri mereka sendiri dengan apa yang telah diperintahkan Tuhan. Elemen kedua adalah hasrat alami seorang muslim yang taat untuk menunjukkan rasa hormat dan menghargai perintah-perintah serta aturan-aturan hukum Islam. Kaum muslim tidak dapat menetap di sebuah wilayah yang menyangkal hak mereka untuk melaksanakan ajaran agama mereka atau melaksanakan kewajiban-kewajiban Islam. Tetapi bagaimana jika wilayah di mana seorang muslim bebas untuk melaksanakan salat dan puasa itu bersikap menindas dan tidak adil dalam masalah-masalah lainnya? Bagaimanakah jika seorang muslim ditindas di wilayah yang diklaim sebagai kawasan Islam dan diklaim menerapkan hukum Islam?.
Elemen ketiga adalah bahwa bagian integral dari moralitas Islam adalah bahwa masyarakat harus mampu melayani kepentingan-kepentingan mereka dan menghindari penderitaan. Mempertahankan kepentingan-kepentingan duniawi kaum muslim bukanlah kompromi yang harus disesalkan sebagai kejahatan yang penting. Sebagaimana dihujahkan Ridha, ia merupakan bagian integral dari visi moral Islam. Sebagaimana dinyatakan Alquran (2: 185): “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu.” Pertanyaannya kemudian menjadi: Apa yang terjadi jika kaum muslim yang menetap di negeri-negeri non-muslim dapat melaksanakan hukum-hukum Islam tertentu hanya dengan pengorbanan diri yang besar?.
Selain ketiga pertimbangan ini terdapat persyaratan moral bahwa kaum muslim harus memenuhi janji. Jika kaum muslim memasuki atau menetap di wilayah tertentu, mereka harus mematuhi syarat-syarat menetap yang jelas. Lebih-lebih, moralitas Islam mengandaikan janji menahan-diri untuk tidak merugikan negara tuan rumah dan mematuhi perintah-perintah negara tuan rumah. Tetapi yang bertentangan dengan perintah ini adalah prinsip Islam yang sangat kuat bahwa manusia tidak boleh menaati manusia lainnya jika itu melibatkan pembangkangan terhadap Tuhan.
Apakah keseimbangan tepat yang harus ditegakkan di antara perintah untuk menghindari penindasan, menegakkan hukum Islam, melayani kepentingan umum dan individu kaum muslim, serta melaksanakan janji yang tersirat maupun tersurat yang dibuat kepada negara non-muslim? Menegakkan keseimbangan yang tepat di antara pertimbangan-pertimbangan yang saling bersaing bukanlah hal luar biasa; ia berada di jantung wacana hukum yang kaya dan canggih serta wacana hukum Islam tentang minoritas-minoritas muslim sekaligus.
Keseimbangan tersebut tidak dapat ditegakkan dalam konteks ahistoris yang abstrak, dan ia tidak dapat ditegakkan oleh para pakar hukum dari periode sejarah tertentu dan ditetapkan untuk seluruh zaman yang akan datang. Lebih-lebih, keseimbangan itu tidak dapat direpresentasikan atau direngkuh dengan pelbagai visi absolutis sebagian penulis Orientalis. Keseimbangan yang dicapai kaum muslim dalam periode sejarah tertentu, dalam lokalitas khusus, hanya menginformasikan pilihan-pilihan bagi para partisipan masa depan. Keseimbangan ini sedang ditegakkan dan akan terus ditegakkan oleh minoritas-minoritas muslim di seluruh dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H