Mohon tunggu...
Salamun Ali Mafaz
Salamun Ali Mafaz Mohon Tunggu... -

Penulis, pencinta kuliner nusantara, penikmat film dan musik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wacana Islam tentang Minoritas Muslim; Sebuah Upaya Menegakkan Keseimbangan

24 April 2013   15:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:40 1395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Lebih lanjut Ridha berargumen bahwa prinsip-prinsip yang sama ini menentukan bahwa kaum muslim boleh meminjam atau meminjamkan uang dengan bunga di wilayah non-muslim. Akan tetapi, Ridha tetap menentang transaksi-transaksi berbau riba yang dianggapnya sebagai menindas secara ekonomi; ajaran-ajaran moral Islam berlaku untuk setiap muslim tanpa memedulikan tempat tinggalnya. Akibatnya, kaum muslim tidak boleh menipu, membohongi, atau menindas orang lain, tetapi menyimpan uang dalam bentuk rekening bank yang mendapatkan bunga, yang menurut argumen tertentu dilarang oleh hukum perdata Islam, tidak berlaku di negeri-negeri non-muslim. Oleh karenanya, Ridha menyimpulkan, organisasi filantropik boleh membangun dan menyewakan hotel, bahkan kepada orang-orang yang akan menjual atau mengonsumsi alkohol.

Ridha menerapkan analisis yang sama ini terhadap pertanyaan apakah kaum muslim India boleh bekerja sebagai pamong praja (civil service) Inggris-India di mana mereka akan menerapkan hukum-hukum non-muslim. Di sini Ridha menggunakan alur penalaran yang kurang-lebih sama. Dia bersikukuh bahwa fondasi Syariah adalah tujuan untuk melayani kepentingan masyarakat. Jika kaum muslim yang tinggal di India mengharamkan diri mereka dari kepamong-prajaan dan tugas pemerintahan lainnya, mereka pasti akan menjadi lemah dan tidak berdaya. Akan tetapi, dalam keadaan apa pun, kaum muslim tidak boleh membantu penindasan terhadap kaum muslim lainnya. Oleh karenanya, tidak ada larangan untuk mencari pekerjaan di bidang pemerintahan jika ini mencakup penerapan hukum-hukum non-muslim. Tetapi kaum muslim harus berhati-hati untuk tidak melaksanakan hukum-hukum yang menindas dan bekerja sama untuk menganiaya orang lain.

Secara signifikan, Ridha berargumen bahwa hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan salat, puasa, dan semacamnya mengikat setiap muslim di manapun adanya. Tetapi hukum-hukum perdata dan pidana Islam semuanya didasarkan pada ijtihad (penalaran dan opini yuridis). Ijtihad ini dilakukan sesuai dengan konteks tertentu; karenanya ia tidak dapat diterapkan di negeri-negeri non-muslim karena ia tidak dirancang untuk diterapkan di sana. Singkatnya, kaum muslim tidak berdosa jika mereka membantu mengimplementasikan hukum-hukum non-muslim di negeri-negeri non-muslim.

Para pakar hukum Syafi’i setelah abad keenam/kedua belas berargumen bahwa negeri-negeri muslim yang ditaklukkan oleh orang-orang non-muslim menjadi bagian dari kawasan non-muslim hanya dalam penampakannya; secara hukum ia tetap merupakan bagian dari kawasan Islam. Ridha membalikkan argumen ini. Dia bersikukuh bahwa negeri-negeri muslim yang terjajah dan seluruh negeri muslim di mana khalifah tidak berkuasa dan di mana hukum Islam tidak diterapkan adalah negeri muslim hanya dalam penampakannya. Secara hukum, negeri-negeri ini bukan merupakan bagian dari kawasan Islam.

Para pakar hukum Syafi’i pra-modern merespons realitas historis mereka sendiri. Dengan bersikukuh bahwa wilayah muslim yang ditaklukkan tetap menjadi bagian dari kawasan Islam, mereka mempertahankan integritas negeri-negeri muslim yang sangat luas yang ditaklukkan oleh orang-orang Mongol. Ridha merespons realitas historis yang berbeda. Kekhalifahan Turki Utsmani yang sakit tidak dapat diterima sebagai pemenuhan atas cita-cita politik Islam. Oleh karenanya, Ridha bersikukuh bahwa Kerajaan Turki Utsmani diterima sebagai khalifah karena persoalan darurat (dharûrah). Cita-cita pemerintahan Islam yang sebenarnya harus dipelihara dan dipertahankan. Ddan setelah kolonialisme, cita-cita ini akan dipenuhi dengan penciptaan negara yang sepenuhnya mengimplementasikan Syariah dan menyesuaikan hukum Syariah dengan pelbagai tantangan modernitas.

Sementara itu, kaum muslim yang menghadapi tantangan-tantangan modernitas dalam sebuah zaman yang tidak akomodatif tidak harus terhambat dengan hukum-hukum Syariah yang tidak dapat diterapkan. Lebih jauh, berargumen bahwa kaum muslim boleh menetap di wilayah non-muslim hanya jika mereka dapat dengan aman melaksanakan ajaran agama mereka dan kemudian menyangkal pelbagai cara untuk melakukan pemberdayaan politik dan ekonomi merupakan sebuah kontradiksi yang inheren. Kaum muslim tidak dapat dengan aman melaksanakan ajaran agama mereka kecuali mereka cukup memiliki kekuatan untuk melawan upaya-upaya yang menyangkal kebebasan beragama mereka. Mereka tidak dapat mencapai posisi ini kecuali mereka mampu bekerja dalam pemerintahan non-muslim dan terlibat dalam kegiatan ekonomi. Jika tidak, izin yang diberikan kepada kaum muslim untuk menetap di wilayah non-muslim menjadi tak-bermakna.

Ringkasnya, Ridha merumuskan sebuah argumen bercabang-tiga: (1) sebagian besar negeri tempat menetapnya kaum muslim bukan merupakan bagian dari kawasan Islam dan, karenanya (2) hukum-hukum perdata dan pidana Islam tidak mengingkat; (3) akibatnya, dalam batasan-batasan moral tertentu, kaum muslim dapat melakukan apa pun yang diperlukan untuk memberdayakan mereka secara politik dan ekonomi.

Ridha tidak menciptakan doktrin-doktrin yang didukungnya. Dia mengambil doktrin-doktrin yang sudah muncul dari sejarah hukum Islam dan menuangkannya kembali untuk disesuaikan dengan situasinya. Demikian, misalnya, para pakar hukum Hanafi pra-modern telah secara konsisten mendukung aplikabilitas hukum Islam yang terbatas. Menurut mazhab Hanafi, larangan-larangan Islam tertentu berlaku tanpa memedulikan wilayahnya. Misalnya, pembunuhan, pencurian, perzinahan, kumpul-kebo, dan meminum alkohol dilarang baik di wilayah muslim maupun non-muslim. Tetapi larangan-larangan ini hanya pada level moral. Jika seseorang melakukan salah satu dari tindakan-tindakan ini di wilayah non-muslim, maka orang tersebut akan bertanggung jawab di hadapan Tuhan pada hari akhir kelak. Akan tetapi, negara muslim tidak memiliki yurisdiksi untuk menghukum pelanggaran-pelanggaran ini, meskipun si pelanggarnya kembali ke wilayah muslim dan mengakui kejahatan tersebut. Yurisdiksi hukum Islam hanya bersifat teritorial, dan karenanya sebuah negara muslim hanya dapat menghukum pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan di wilayahnya.

Para pakar hukum Hanafi tersebut lebih lanjut berargumen bahwa hukum-hukum Islam tertentu tidak dapat diterapkan, bahkan pada level moral, di wilayah non-muslim. Seluruh kebijakan Islam yang berkaitan dengan ekonomi tidak memiliki aplikabilitas di luar wilayah Islam. Akibatnya, kaum muslim yang menetap di wilayah non-muslim hanya terikat oleh hukum-hukum negara tempat dia tinggal, dan boleh terlibat bahkan dalam transaksi-transaksi yang melibatkan riba.

Secara konsisten, Ridha mengutip mazhab Hanafi untuk mendukung argumen-argumennya. Akan tetapi, dia betul-betul menyadari bahwa mazhab-mazhab hukum muslim lainnya tidak sepakat dengan pandangan mazhab Hanafi tersebut.

Kenyataannya, para pakar hukum mazhab Syafi’i, Hanbali, Maliki, dan Syi’ah semuanya secara konsisten berargumen bahwa hukum-hukum Syariah dapat diterapkan baik di wilayah muslim maupun di wilayah non-muslim. Al-Syafi’i (w. 819-20), misalnya, menulis:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun