Jika mereka dilarang melaksanakan ajaran agama mereka sama sekali, disarankan agar mereka mencari tempat aman yang memberi mereka kebebasan beragama yang mereka perlukan. Akan tetapi, Ridha melanjutkan, analisis ini hanya berlaku jika masyarakat muslim yang tinggal di wilayah non-muslim ini terdiri dari individu-individu terisolasi yang tidak mampu mengorganisasi atau melawan penindasan. Jika terdapat jumlah penduduk muslim yang cukup besar, maka alih-alih memilih melarikan-diri ke tempat yang aman, menurut Islam wajib bagi mereka untuk tetap tinggal di tempat mereka sebelumnya dan melawan penindasan.
Ridha mengutip pendapat yang penting dari seorang pakar hukum muslim abad pertengahan, al-Mawardi (w. 1058), sebagai otoritas untuk proposisinya bahkan jika kaum muslim mampu memanifestasikan dan melaksanakan agama mereka di wilayah non-muslim maka wajib bagi mereka untuk tetap berada di sana karena wilayah itu secara efektif telah menjadi bagian dari kawasan Islam. Juga selalu dimungkinkan bahwa salah seorang atau orang-orang tidak beriman lainnya akan berpindah ke agama Islam melalui hubungan dengan masyarakat muslim.
Pada akhirnya, Ridha berargumen, kaum muslim harus menegakkan keadilan dan kebenaran dan harus melawan penindasan di manapun mereka berada. Jika dan hanya jika tidak ada kemungkinan untuk melakukan hal ini, maka mereka harus bermigrasi dan mencari tempat di mana pelayanan semacam ini mungkin dilakukan. Mungkin-tidaknya hal ini dalam kasus partikular kaum muslim Bosnia merupakan masalah yang seharusnya ditentukan sendiri oleh kaum muslim Bosnia.
Masalah-masalah yang dihadapi Rasyid Ridha dalam fatwâ-nya ini bukanlah hal baru, dan tanggapan dia terhadap masalah-masalah itu adalah hal yang biasa. Minoritas-minoritas muslim telah lama hidup di wilayah-wilayah non-muslim sejak abad pertama Islam, dan setelah abad kesebelas banyak masyarakat muslim berada di bawah kekuasaan non-muslim. Akibatnya, wacana-wacana yuristik ekstensif telah lama dimunculkan, yang membicarakan status-hukum tinggal di wilayah non-muslim ini serta kewajiban-kewajiban dan tugas-tugas dari minoritas-minoritas muslim ini.
Sekarang ini, sepertiga dari 1,2 milliar kaum muslim di dunia hidup di negara-negara yang mayoritas masyarakatnya adalah non-muslim. Ini seharusnya mengingatkan kita akan fakta bahwa wacana yuristik lama tentang status-hukum tinggal di wilayah non-muslim, sementara jelas relevan, agak artifisial. Praktik yang terus berlangsung di kalangan banyak minoritas muslim sepanjang sejarah muslim sama banyaknya dengan artikulasi Islam dan juga tulisan-tulisan yuristik para sarjana muslim. Sementara tulisan-tulisan para pakar hukum muslim memiliki nilai yang sangat normatif, akan merupakan sebuah kesalahan metodologis yang serius jika kita menyamakan pandangan-pandangan para pakar hukum muslim itu dengan apa yang sebenarnya diyakini dan dipraktikkan oleh minoritas-minoritas muslim dalam konteks sejarah tertentu.
Sebagian besar sumber-sumber hukum Islam telah ditulis oleh para pakar hukum yang, seperti Rasyid Ridha, menjalani sebagian besar hidupnya di negeri-negeri muslim di antara mayoritas-mayoritas muslim yang jelas. Sumber-sumber ini memainkan peran signifikan dalam wacana sosial dan teologis yang mendefinisikan Islam di zaman dan tempat tertentu.
Tetapi sumber-sumber ini tidak memainkan satu-satunya peran, dan bahkan bukan peran yang paling penting, dalam menentukan apa yang harus dikatakan Islam tentang masalah tertentu berkaitan dengan minoritas-minoritas muslim.
Minoritas-minoritas muslim sendirilah, melalui praktik-praktik historis mereka yang terus berlangsung, yang memainkan peran menentukan dalam wacana tersebut. Rasyid Ridha mengakui fakta ini ketika dia menegaskan dalam fatwâ-nya, bahwa pada akhirnya kaum muslim Bosnialah “yang merupakan hakim terbaik bagi masalah-masalah mereka sendiri.” Dengan kata lain, kum uslim Bosnialah yang dapat menilai dengan paling baik apakah mereka yang tetap tinggal di bawah kedaulatan Austria itu konsisten dengan kewajiban-kewajiban agama mereka.
Para pakar hukum muslim yang membicarakan masalah-masalah minoritas muslim telah berusaha untuk mengartikulasikan parameter-parameter moral di mana mereka seharusnya memimpin diri mereka sendiri. Secara konsisten mereka telah mendefinisikan parameter-parameter ini dalam terang sumber-sumber doktrinal Islam, yaitu Alquran dan Sunnah. Tetapi sepanjang sejarah Islam parameter-parameter ini telah secara konstan didefinisikan-ulang, diartikulasikan-kembali, dan dituangkan-kembali dalam terang lingkungan sejarah tertentu yang dihadapi kaum muslim pada waktu tertentu. Ini utamanya benar berkaitan dengan perkembangan wacana yuridis tentang hijrah kaum muslim dari negeri-negeri non-muslim menuju kawasan muslim.
Alquran (4: 97-100) tidak memerintahkan kaum muslim untuk tinggal di kawasan muslim. Akan tetapi, Alquran memerintahkan agar umat melaksanakan segala urusan mereka sesuai dengan wahyu Tuhan (5: 44). Alquran memerintahkan agar kaum muslim menghindari penindasan dengan melakukan hijrah di jalan Allah:
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab: “Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).” Para malaikat berkata: “Bukankah Bumi Allah ini luas, sehingga kamu dapat berhijrah di Bumi ini?”…Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka Bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.