“Tidak ada perbedaan antara dâr al-harb, kawasan perang dan dâr al-islâm berkaitan dengan hukum-hukum yang telah diperintahkan Tuhan kepada umat-Nya. …[Nabi] tidak mengecualikan setiap umatnya dari perintah-perintahnya, dan beliau tidak mengizinkan umatnya untuk melakukan apa pun yang dilarang di dâr al-harb. Apa yang kami katakan ini sesuai dengan Alquran dan Sunnah, dan inilah yang dapat dipahami dan disepakati oleh masyarakat rasional. Yang diizinkan di bilâd al-islâm, negeri-negeri Islam, juga diizinkan di bilâd al-kufr, negeri-negeri non-muslim, dan yang dilarang di bilâd al-islâm juga dilarang di dâr al-kufr, kawasan non-muslim. Jadi siapa pun melakukan sebuah pelanggaran tunduk pada hukuman yang telah diperintahkan Tuhan dan [kehadirannya di] bilâd al-kufr tidak mengecualikan dia dari apa pun”.
Para pakar hukum dari mazhab-mazhab hukum ini berargumen bahwa jika seorang muslim melanggar hukum Islam di negeri-negeri non-muslim, muslim tersebut harus menerima hukuman ketika dia kembali ke kawasan Islam. Dengan kata lain, kawasan Islam memiliki yurisdiksi ekstrateritorial untuk menghukum pelanggaran-pelanggaran atas hukum Islam jika pelanggarnya adalah muslim dan jika pelanggar itu kembali ke wilayah muslim. Pakar hukum Syafi’i al-Syirazi (w. 1414-15) menyatakan, “Karena larangan-larangan itu sama di kedua wilayah, maka tidak ada alasan bagi perbedaan hukuman dalam pengertian apa pun.”
Pakar hukum Syafi’i al-Mawardi berargumen bahwa perintah-perintah Tuhan berkaitan dengan pembunuhan, pernizahan, pencurian, atau penipuan sama dengan perintah-perintah-Nya berkaitan dengan salat dan puasa. Jika seseorang berargumen bahwa tidak ada yurisdiksi untuk menghukum pelanggaran-pelanggaran pidana hukum Islam yang dilakukan di luar wilayah Islam ini merupakan pengakuan tersirat bahwa hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah, seperti puasa dan salat, juga tidak mengikat atas kaum muslim di wilayah non-muslim. Implikasi ini, demikian argumen al-Mawardi, harus dihindari.
Pandangan mazhab-mazhab hukum ini memunculkan persoalan serius bagi perdebatan tentang menetap di wilayah non-muslim. Jika kaum muslim yang menetap di wilayah non-muslim terikat untuk menerapkan hukum Islam dengan seluruh rinciannya maka menetapnya mereka merupakan sebuah kemustahilan menurut hukum (legal impossibility). Dengan kata lain, jika kaum muslim harus menerapkan hukum Islam dengan seluruh bagiannya maka argumen yang menginzinkan kaum muslim tinggai di wilayah non-muslim menjadi tak-bermakna.
Hal ini tidak menjadi persoalan bagi sebagian besar pakar hukum Maliki. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, mereka menentang kaum muslim untuk tinggal di wilayah non-muslim dan memerintahkan hijrah dengan cara apa pun. Tetapi para pakar hukum Syafi’i, Hanbali dan Syi’ah mengizinkan untuk menetap di wilayah non-muslim, dan persoalannya kemudian menjadi bagaimana menyelesaikan inkonsistensi yang jelas ini.
Argumen yang mendukung aplikabilitas universal hukum Islam selalu dibuat dalam konteks penolakan polemik atas pandangan Hanafi bahwa kaum muslim yang menetap di wilayah non-muslim boleh melakukan transaksi riba. Sebagian besar pakar hukum muslim menolak pendapat itu, dengan mendukung universalitas hukum Islam. Tetapi para pakar hukum non-Hanafi tidak berargumen bahwa hukum Islam harus dilaksanakan oleh kaum muslim di manapun mereka berada. Namun, para pakar hukum ini berargumen bahwa hukum Islam memiliki yurisdiksi universal. Perbedaannya tak-kentara tetapi penting. Seorang muslim yang melakukan pelanggaran kejahatan harus bertanggung jawab di pengadilan Islam setelah dia kembali pada yurisdiksi muslim; ia tidak berkaitan dengan tempat dilakukannya pelanggaran tersebut. Tetapi itu tidak berarti bahwa sebuah negara Islam memiliki kemampuan untuk melaksanakan hukum-hukum Islam di wilayah non-muslim maupun bahwa kaum muslim yang menetap di wilayah non-muslim terikat untuk melaksanakan hukum Islam dengan totalitasnya.
Tidak jelas berapa banyak hukum Islam yang harus diimplementasikan oleh minoritas muslim agar menetapnya dapat dianggap legal. Dengan kata lain, ketika para pakar hukum muslim berargumen bahwa kaum muslim boleh menetap di wilayah non-muslim yang memberikan kebebasan kepada mereka untuk melaksanakan Islam, apakah sebenarnya artinya itu?.
Para pakar hukum muslim menggunakan ungkapan-ungkapan yang samar semisal iqâmât amr al-dîn (menegakkan urusan-urusan agama), izhâr al-dîn (memanifestasikan agama), dan al-qiyâm bi wâjibât al-islâm (melaksanakan kewajiban-kewajiban agama Islam) untuk menggambarkan berapa banyak kebebasan beragama yang harus eksis sebelum menetapnya seorang muslim di negeri-negeri non-muslim dianggap legal. Ungkapan-ungkapan ini tampaknya membuang seluruh determinasi legalitas menetap [di wilayah tertentu] atas landasan kasus-perkasus. Berapa banyak praktik keagamaan dianggap cukup sebelum menetapnya seorang muslim dapat dianggap legal akan bergantung pada keadaan-keadaan khusus dan masing-masing kasus diwajibkan untuk mengungkapkan fakta-faktanya.
Rasyid Ridha telah menasihati kaum muslim Bosnia bahwa mereka adalah para hakim terbaik bagi persoalan-persoalan mereka sendiri. Mungkin sikap yang sama terletak di balik ketidakjelasan para pakar hukum muslim mengenai persoalan ini: mereka secara sengaja tidak menjelaskan tentang berapa banyak hukum Islam yang harus dipraktikkan sebelum menetapnya minoritas-minoritas muslim dapat dianggap sebagai legal karena tidak mudah untuk mengartikulasikan standar-standar yang ketat dan spesifik mengenai persoalan tersebut.
Ketika para pakar hukum Syafi’i disuguhi kasus-kasus aktual di mana minoritas muslim mampu melaksanakan aspek-aspek agama tertentu tetapi tidak mampu menunaikan kewajiban-kewajiban lainnya dengan tepat, para pakar hukum ini tetap bersikukuh bahwa hijrah dari wilayah non-muslim di mana minoritas muslim tinggal tidak diperlukan. Dalam salah satu kasus semacam ini kaum muslim Malibar memberitahukan kepada pakar hukum Syafi’i Ibn Hajar al-Haytami (w. 1566-67) bahwa mereka mampu melaksanakan salat dan puasa, tetapi tidak mampu memberikan perlindungan kepada orang-orang Kristen yang memeluk agama Islam. Jika mereka memberi perlindungan kepada para muallaf Kristen, niscaya mereka akan mendapatkan perlakukan yang semena-mena dan menindas.
Pertanyaannya adalah, haruskah mereka memberikan perlindungan kepada para muallaf tersebut dan menanggung akibatnya, yang mungkin saja mereka akan diusir dari kampung halaman mereka? Ibn Hajar memberikan tanggapan bahwa, dalam kondisi seperti itu, mereka tidak diwajibkan untuk memberi perlindungan dan harus tetap menetap di Malibar. Salah satu kewajiban moral yang paling fundamental bagi seorang muslim adalah membantu dan melindungi kaum muslim lainnya. Diriwayatkan Nabi pernah bersabda, “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya; dia tidak boleh menyakitinya, atau menyerahkannya kepada musuh. Barang siapa melepaskan penderitaan seorang muslim maka Allah akan melepaskan salah satu penderitaannya. …” Akan tetapi, kepentingan umum minoritas muslim di Malibar mengandaikan pengecualian atas kewajiban moral ini, dan pengecualian ini tidak dapat didapatkan tanpa mempertimbangkan kondisi-kondisi khusus minoritas tersebut.