Perintah untuk menghindari penindasan tidak disyaratkan dengan menemukan kawasan yang mengikuti Syariah atau spesifikasi yang sama. Nash tersebut tampaknya menyeru kaum muslim untuk melarikan-diri dari penindasan dalam pengertian yang absolut.
Nabi Islam, Muhammad, menghindari penindasan di Mekah dengan berhijrah ke Madinah di mana beliau menegakkan sebuah negara-kota Islam yang berkembang dengan pesat. Setelah mengorganisasi negara-kota di Madinah Nabi mengizinkan suku-suku badui yang telah memeluk agama Islam tetapi tidak ingin berhijrah ke Madinah untuk tetap tinggal di kampung halaman mereka. Akan tetapi, Nabi menekankan keutamaan berhijrah dan bergabung bersama beliau dan para sahabatnya di Madinah. Dari sudut pandang taktis, bukan hanya negara-kota di Madinah yang masih muda itu membutuhkan dukungan dari seluruh muallaf yang dapat dikumpulkannya, tetapi dari perspektif ideologis, apakah yang lebih baik bagi seorang muslim baru selain tinggal dekat dengan Nabi dan para sahabatnya, di mana dia dapat menerima ajaran tentang agama baru itu?.
Dengan menyebarnya kerajaan Islam pada pakar hukum muslim awal terus-menerus menekankan keutamaan tinggal di antara kaum muslim. Mereka yang memeluk agama Islam tidak harus terus hidup di antara orang-orang kafir, tetapi harus bergabung bersama kaum muslim lainnya di negeri-negeri muslim. Sahnun (w. 854) dan Malik (w. 796) sangat mencela kaum muslim yang hidup di negeri-negeri non-muslim dengan alasan tidak dapat diterima bagi seorang muslim untuk tunduk pada hukum-hukum non-muslim.
Sebagian pakar hukum menekankan risiko-risiko inheren yang dilibatkan jika kita menetap di negeri-negeri non-muslim. Di negeri-negeri muslim, demikian argumen tersebut, memeluk Islam akan menikmati keamanan yang lebih besar karena neger-negeri itu tidak berisiko memaksa kita pindah agama atau membujuk kita untuk keluar dari Islam. Akan tetapi, para pakar hukum semisal Syafi’i (w. 819-20) berargumen bahwa kaum muslim boleh tinggal di kawasan non-muslim selama mereka tidak takut akan dibujuk untuk meninggalkan agama mereka. Yang lainnya, semisal Ja’far al-Shadiq (iman Syi’ah keenam yang wafat pada 765), menekankan kualitas substantif dari wilayah itu di atas kategorisasi formalnya. Dalam keadaan apa pun, negeri-negeri di mana keadilan dan pengetahuan yang nyata dapat ditemukan adalah lebih utama dibandingkan negeri-negeri yang secara formal dinisbahkan dengan Islam.
Selama lima abad pertama sejarah Islam, para pakar hukum terus-menerus mengekspresikan varietas pandangan-pandangan tak-sistematik yang membentang dari rejeksionis hingga akomodasionis. Akan tetapi, hakikat dari wacana itu berubah secara material pada abad keenam/kedua belas, ketika sebagian besar kawasan muslim jatuh di bawah kekuasaan non-muslim. Dan dengan adanya realitas historis yang melimpah ini para pakar hukum muslim dipaksa untuk mengembangkan argumen sistematik berkaitan dengan status-hukum menetap di kawasan-kawasan non-muslim.
Kawasan barat kerajaan Islam dikepung oleh orang-orang Kristen dan pada abad ketujuh/ketiga belas orang-orang Mongol menyerbu kawasan timur. Sebagian besar pakar hukum Maliki, yang mazhabnya tersebar luas di Spanyol, Sisilia, dan Crete, menanggapi konflik politik yang berlanjut dengan agama Kristen dengan mengadopsi pandangan yang tanpa kompromi. Abu al-Walid Ibn Rusyd (w. 1122), misalnya, berargumen bahwa seharusnya tidak ada muslim yang menerima degradasi dengan hidup di bawah kekuasaan non-muslim. Setiap muslim seharusnya langsung hijrah dari kawasan non-muslim menuju negeri-negeri muslim yang aman.
Pandangan Maliki ini pertama-tama dan terutama dimotivasi secara politis. Dalam terang kekalahan-kekalahan memalukan yang diderita di Andalusia, Sisilia, dan Crete, keputusan untuk tetap tinggal di bawah kekuasaan non-muslim dianggap sebagai pengkhianatan melawan kemuliaan Islam. Ini, misalnya, tampak jelas dalam polemik salah seorang pakar hukum Maliki yang paling berpengaruh, al-Wansyarisi (w. 1508). Dalam tulisan panjang yang berisi kecaman-kecaman melawan kaum muslim yang memilih tetap tinggal di Marbella setelah ia jauh ke tangan Kristen, al-Wansharisi memeringatkan masyarakat muslim bahwa ia diwajibkan untuk menghilangkan bahasa dan kebudayaannya. Yang lebih penting, al-Wansyarisi berargumen bahwa dengan menolak untuk hijrah ke negeri-negeri muslim, masyarakat muslim ini secara efektif mendeklarasikan keunggulan kawasan non-muslim ini dibandingkan kawasan Islam. Meskipun pandangan-pandangan Ibn Rusyd dan al-Wansyarisi merupakan representasi dari sebagian besar pendapat yang berlaku di antara para pakar hukum Maliki di Afrika Utara, pandangan-pandangan tersebut tidak universal: sebagian pakar hukum Maliki, misalnya al-Mazari (w. 1141) tidak memiliki pandangan yang sama.
Setelah abad keenam/kedua belas, para pakar hukum Hanbali dan Syi’ah berargumen bahwa memang lebih baik bagi kaum muslim untuk menetap di negeri-negeri muslim. Ini bukan karena Syariah diterapkan kawasan muslim—sebagai masalah faktual, Syariah tidak diterapkan oleh pelbagai dinasti muslim pada waktu itu—tetapi hidup di kawasan non-muslim melibatkan risiko-risiko yang tak-terhindarkan: misalnya, seorang muslim dapat secara kurang hati-hati memberikan sumbangan kekuatan material kepada orang-orang non-muslim yang dapat digunakan untuk melawan kaum muslim. Akan tetapi, mazhab-mazhab ini berargumen, jika kaum muslim secara fisik aman dan dapat dengan bebas melaksanakan ajaran agama mereka di negeri-negeri non-muslim, mereka dapat terus tinggal di antara orang-orang non-muslim. Dalam keadaan semacam ini, hijrah dianjurkan tetapi tidak diperintahkan. Akan tetapi, dalam keadaan apa pun, jika minoritas muslim menderita karena jenis kekerasan fisik atau finansial tertentu yang menyebabkan sulitnya hijrah ke negeri-negeri muslim, maka minoritas muslim diizinkan untuk tetap tinggal di sana hingga kekerasan itu tidak ada lagi.
Tanggapan-tanggapan yang paling sophisticated terhadap persoalan kaum muslim yang tinggal di kawasan nonmuslim berasal dari mazhab Hanafi dan Syafi’i. Pelbagai pendekatan mazhab-mazhab ini merupakan tanggapan langsung atas invasi Mongol, ketika sebagian besar wilayah dari kawasan Islam jatuh ke tangan orang-orang Mongol dan sebagian besar masyarakat muslim menemukan diri mereka berada di bawah kekuasaan non-muslim. Bahkan para pakar hukum yang mengartikulasikan tanggapan-tanggapan tersebut, meskipun dari jantung kawasan Islam, sebenarnya berada di bawah dominasi Mongol, sehingga teori-teori mereka sangat banyak merefleksikan realitas yang mereka alami.
Para pakar hukum Hanafi dan Syafi’i ini berargumen bahwa, tergantung pada situasi-situasi tertentu, hijrah dari negeri-negeri non-muslim kadang diperintahkan, dianjurkan, diperbolehkan, atau juga dilarang. Jika kaum muslim yang tinggal di negeri-negeri non-muslim tidak dapat melaksanakan ajaran agama mereka, mereka harus hijrah ke tempat mereka dapat melaksanakannya. Akan tetapi, jika kaum muslim mampu melaksanakan ajaran agama mereka dan mereka berharap dapat menjalankan Islam di kawasan non-muslim tempat mereka tinggal, disarankan agar mereka tetap tinggal di sana. Akan tetapi, jika kaum muslim dapat secara trbuka melaksanakan ajaran agama mereka dan mampu mempertahankan tingkat otonomi dan independensi tertentu, diperintahkan agar mereka tetap tinggal di kawasan non-muslim tempat mereka hidup sekarang ini karena kawasan tersebut kemudian dianggap, pada level moral, sebagai bagian dari kawasan Islam dan karena kaum muslim ini sekarang berada dalam posisi yang tepat untuk menjalankan Islam.
Para pakar hukum muslim secara efektif merekonstruksi wacana teologis dan hukum dalam terang realitas-realitas historis yang mereka hadapi. Apakah mereka memilih untuk memberikan legitimasi kepada minoritas-minoritas muslim yang menetap di luar kawasan muslim atau memilih untuk menentangnya, keduanya merupakan respons atas situasi historis tertentu. Yang memiliki arti-penting partikular adalah bahwa para pakar hukum muslim menegosiasikan-kembali dan merumuskan-kembali konsep dâr al-islâm tersebut dalam terang realitas-realitas historis ini.