Ridha sebagian besar bersandar pada kepentingan umum dalam upayanya menjelaskan kewajiban-kewajiban kaum muslim yang menetap di wilayah non-muslim. Telah kami jelaskan sebelumnya bahwa wacana Ridha bukannya tanpa preseden dalam wacana hukum Islam. Kenyataannya, di bawah judul “menyebarnya korupsi” (‘umûm al-fasâd), para pakar hukum muslim sering kali mendiskusikan sebuah situasi di mana tidak mungkin bagi seorang muslim di wilayah tertentu (muslim maupun non-muslim) untuk melaksanakan perintah-perintah hukum Islam tanpa menderita kerugian material. Dengan kata lain, hukum-hukum atau praktik-praktik di wilayah tempat tinggal muslim benar-benar bertentangan dengan hukum Islam sehingga jika seseorang akan bersikukuh melaksanakan perintah-perintah hukum Islam, secara tak-terhindarkan ini akan mengarah pada kerugian material.
Contoh yang sering kali diberikan oleh para pakar hukum tersebut adalah tentang seorang muslim yang ingin membeli sebuah rumah tanpa terlibat dalam kesepakatan-kesepakatan finansial yang dilarang Islam. Muslim tersebut dihadapka dengan sebuah pilihan: membeli rumah itu dan melanggar hukum Islam atau menghormati hukum Islam, tidak membeli rumah itu, dan dipaksa untuk bersandar pada rumah sewaan atau semacamnya. Tanggapan yang diberikan oleh para pakar hukum muslim atas situasi ini tidak begitu jelas (clear-cut). Ini tergantung pada apakah tidak memiliki sebuah rumah akan menyebabkan kaum muslim tidak berdaya dan bergantung. Seperti dalam banyak kasus lainnya, para pakar hukum muslim menjelaskan prinsip-prinsipnya, tetapi membiarkan aplikasinya untuk dilaksanakan atas dasar kasus-perkasus.
Sebagai contoh, pakar hukum Abu Bakr al-Kindi (w. 1162) berargumen kaum muslim yang menetap di wilayah non-muslim (baik berarti wilayah non-muslim maupun wilayah yang korup) boleh bercocok-tanam atau bertani meskipun mereka harus membayar pajak yang tidak adil. Mereka boleh mencari pekerjaan dengan orang-orang non-muslim untuk menghindari kemiskinan dan penderitaan. Seorang muslim boleh terlibat dalam tindakan-tindakan ini meskipun ini melibatkan berlangsungnya penindasan atau penghinaan tertentu. Akan tetapi, al-Kindi tidak menjelaskan berapa banyak penindasan dan penghinaan [yang dianggap] melampaui ikatan-ikatan legalitas dan mengharuskan hijrah.
Terdapat dimensi lebih lanjut bagi argumen tersebut. Alquran berulang kali memerintahkan kaum muslim untuk memenuhi janji-janjinya dan memegang teguh perjanjian-perjanjian mereka.33 Para pakar hukum muslim berpendapat bahwa seorang muslim yang memasuki atau menetap di wilayah non-muslim dapat melakukannya hanya dengan syarat adanya janji atas jaminan keamaannya (aman). Dengan kesepakatan ini negara non-muslim berjanji melindungi penduduk muslim dan penduduk muslim berjanji untuk mematuhi perintah-perintah negara yang menjadi tuan rumahnya dan menahan-diri untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang merugikannya.
Seluruh pakar hukum muslim sepakat bahwa persyaratan untuk memenuhi syarat-syarat jaminan keamanan (safe-conduct) itu sangat ketat. Jika seorang muslim tidak ingin mematuhi syarat-syarat kesepakatan tersebut maka dia tidak boleh masuk atau menetap di wilayah non-muslim. Jika tidak ada kesepakatan yang tegas mengenai jaminan keamanan maka hukum Islam mengisyaratkan bahwa kesepakatan semacam ini inheren dalam izin yang diberikan untuk memasuki atau menetap di wilayah tersebut. Selain itu, ada syarat-syarat tertentu yang mungkin ditetapkan dalam sebuah kesepakatan jaminan-keamanan.
Hukum Islam mengimplikasikan syarat-syarat tertentu berdasarkan hukum, termasuk larangan melawan pengkhianatan, kebohongan, penipuan, dan pencurian; kaum muslim juga tidak boleh melanggar kehormatan atau merampas hak-milik orang-orang non-muslim. Seorang muslim harus dengan tepat melaksanakan kewajiban-kewajiban kontraktual dan membayar seluruh utangnya. Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan ini adalah dosa. Sebagian besar para pakar hukum muslim juga sepakat bahwa negara Islam memiliki kekuasaan untuk menuntut seorang muslim karena melanggar syarat-syarat implisit atau eksplisit dari jaminan keamanan tersebut. Demikianlah, mislanya, jika seorang muslim melukai seorang non-muslim atau menolak membayar utang dan melarikan-diri ke wilayah muslim, maka negara muslim dapat memperoleh kompensasi bagi para korban dan mengirimkan uangnya ke negara non-muslim tersebut.
Mazhab Hanafi sepakat bahwa seorang muslim melakukan dosa dengan melanggar syarat-syarat jaminan keamanan, tetapi menyangkal bahwa negara muslim memiliki yurisdiksi untuk menjalankan atau melaksanakan syarat-syarat kesepakatan jaminan keamanan karena pelanggaran yang terjadi di luar wilayah teritorial negara muslim tersebut, sedangkan negara itu tidak memiliki yurisdiksi di sana. Akan tetapi, jika seorang muslim memperoleh jaminan keamanan sementara masih berada di wilayah muslim, atau memperoleh jaminan keamanan melalui aturan-aturan resmi maka, sejauh hukum itu diperhatikan, jaminan keamanan ini diperoleh melalui otoritas negara muslim, dan negara muslim tersebut kemudian menjadi bagiannya sebagai penjamin atau penanggungnya. Dalam situasi ini, para pakar hukum Hanafi berargumen, negara muslim memiliki yurisdiksi untuk melaksanakan atau mendorong dipenuhinya syarat-syarat jaminan keamanan tersebut.
Sekali lagi, para pakar hukum muslim dapat menjelaskan prinsip-prinsip umum yang seharusnya membimbing kaum muslim ketika menetap di wilayah non-muslim, tetapi tidak memecahkan ketegangan-ketegangan yang muncul dalam praktik. Sebagai contoh, mereka tidak menjelaskan kapan syarat-syarat jaminan keamanan menjadi tidak sejalan dengan kewajiban-kewajiban Islam hingga menjadi penghalang untuk tinggal di wilayah non-muslim. Para pakar hukum muslim itu juga tidak menjelaskan keseimbangan yang tepat antara kebutuhan untuk memanifestasikan agama kita di wilayah non-muslim dan perintah untuk mematuhi syarat-syarat kesepakatan jaminan keamanan.
Kegagalan para pakar hukum muslim untuk menentukan aturan-aturan yang rinci dan spesifik yang mengatur perilaku kaum muslim di wilayah non-muslim tidaklah mengejutkan dan bukan hal luar biasa. Wacana yuridis Islam tentang minoritas-minoritas muslim memberi respons terhadap dan berinteraksi dengan realitas-realitas historis yang dihadapai kaum muslim pada zaman tertentu. Dari wacana para pakar hukum muslim yang merespons invasi Kristen dan Mongol pada abad keenam/kedua belas dan ketujuh/ketiga belas hingga wacana Ridha yang merespons situasi kolonial tertentu, para pakar hukum muslim mendamaikan kategori-kategori konseptual Islam mereka dengan tuntutan-tuntutan politik dan sosial pada zaman itu.
Tentu saja, wacana itu tidak berakhir dengan Ridha. Mahmud Syaltut (w. 1963), rektor al-Azhar, misalnya, berargumen bahwa hijrah di zaman kontemporer utamanya berarti hijrah spiritual (spiritual migration). Ia adalah hijrah jiwa dan hati untuk mendukung kaum muslim yang melawan penindasan di seluruh dunia. Syaltut tidak mempertanyakan apakah kaum muslim boleh atau tidak boleh menetap di wilayah non-muslim. Dalam pandangan Syaltut persoalan sebenarnya yang dimaksud oleh ayat Alquran tentang hijrah adalah perlawanan terhadap penindasan, baik secara aktif maupun secara spiritual.35 Lagi-lagi, kategorisasi Syaltut bukan tanpa preseden; ia berkembang dan dibangun atas wacana yang sudah ada dalam sejarah Islam. Seperti para pakar hukum sebelumnya, Syaltut menggunakan istilah-istilah dan konsep-konsep yang telah ada dalam warisan Islam sementara merekonstruksi dan menuangkan-kembali wacana hukum Islam tersebut.
Proses rekonstruksi dan penuangan-kembali wacana hukum Islam tentang minoritas-minoritas muslim ini bukanlah urusan eksklusif kaum muslim. Beberapa sarjana Orientalis, dibimbing oleh rekonstruksi-rekonstruksi mereka sendiri atas sejarah Islam, telah ikut bergabung dalam pembahasan tersebut. Para sarjana ini berargumen bahwa sejak permulannya Islam dan negara tidak dapat dipisahkan. Fungsi utama negara adalah mengimplementasikan hukum Islam, dan karenanya legitimasi negara sepenuhnya bergantung pada peran religiusnya. Tetapi terlebih lagi, hukum Islam dan agama Islam adalah satu dan sama.