"Hati-hati hidup di kota metropolitan seperti Jakarta. Jangan mudah percaya dengan orang yang baru dikenal."
Sekarang semua telah terlanjur. Rasa sesal tidak pernah di depan.
"Marisa, jangan menangis. Hapus air matamu. Kamu sudah tidak perawan lagi. Tidak ada laki-laki yang mau dengan perempuan murahan sepertimu. Ahkiri saja hidupmu. Pergilah ke dapur dan ambil pisau dan putuskan urat nadimu."
Suara itu terdengar sangat jelas di telinga Marisa. Â "Ayo Maria lakukan...Lakukan...Lakukan Sekarang juga mumpung tidak ada orang." Â
Suara itu datang lagi dan begitu mempengarui pikirannya.
Ia melangkah ke dapur dan mencari pisau. Diambilnya pisau itu dari rak piring ditempelkanya di pergelangan tangannya. Sekali seset urat nadi itu pasti putus dan darah menguras dari tubuhnya.
"Ayo Marisa jangan ragu tempelkan pisau itu dan tariklah" kata-kata itu sekali lagi mempengaruhinya.
"Marisa anakku, jangan lakukan itu sayang. Ingat, ingat anakku tidak ada suatu masalah yang tidak bisa diselesaikan. Sadarlah Marisa!" Â Â Â
Bisikan Ibunya terdengar mengingatkan. Dua bisikan saling mempengaruhi. Kali ini bisikan Ibunya cukup kuat. Untuk kedua kalinya ia mengucap istighfar dan mengusap wajahnya. Â Â Â Â Â Â
Waktu di jam dinding kamar tengah menunjukkan pukul 21. 05.
Ada pesan di whatsapp Marisa masuk.