Pentingnya Pertimbangan Substansial dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Substansi adalah prinsip dasar setiap norma, yang menentukan "apa" yang ingin dicapai, sedangkan aspek normatif mengacu pada "bagaimana" prinsip tersebut diwujudkan secara formal. Oleh karena itu, norma tidak boleh menjadi penghalang dalam mencapai keadilan substantif. Koreksi hanya mungkin dilakukan pada hal-hal yang bersifat formalistik, bukan pada hal-hal yang substansial. Dalam situasi di mana keadilan substantif terhalang oleh regulasi yang tidak jelas, maka pertimbangan substantif harus diutamakan, bahkan jika itu berarti mengesampingkan pertimbangan normatif.
Keadilan memang merupakan objek perdebatan filosofis yang tak berujung, keputusan harus tetap dibuat untuk mewujudkan kepastian hukum yang diperkuat oleh pandangan salah satu ahli hukum Tata Negara "Dalam konteks bernegara, kita tidak bisa berdebat terus menerus mengenai keadilan, keputusan harus dibuat demi kepastian hukum," tegasnya. Namun, hal ini tidak berarti mengabaikan aspek substansial.
Kepastian Hukum dalam konteks bernegara dan kepastian hukum dalam konteks hukum itu berbeda, kepastian hukum dalam konteks bernegara merujuk pada pembentukan norma-norma hukum seperi UU, sedangkan dalam konteks peradilan, kepastian hukum berarti mencapai suatu putusan keadilan substantif sesuai dengan amanah UUD 1945 yang menegaskan negara ini sebagai negara hukum yang berarti merujuk kepada substansi hukum itu sendiri bukan pada formalitas norma yang kaku. Jika negara hukum diartikan hanya sebagai negara berdasarkan norma-norma hukum, maka tidak akan ada terobosan atau reformasi hukum yang dapat dilakukan oleh lembaga peradilan, terutama MK, karena inovasi hukum hanya dapat dilakukan melalui pertimbangan yang mencerminkan komitmen terhadap prinsip-prinsip keadilan (substansial), bukan kepada keadilan formalistik (Normatif).
Jika tujuan utama hukum diletakan kepada pencapaian keadilan normatif saja, maka lembaga peradilan dalam sebuah negara tidak lagi diperlukan, karena sangsi dari suatu norma atau UU dapat berlaku langsung pada saat yang sama tanpa memerlukan proses peradilan, dan konsep eigenrichting tidak lagi relevan dimaknai sebagai delik.
Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga kestabilan hukum dan menegakkan supremasi konstitusi. Sebagai lembaga peradilan yang tertinggi dalam hal konstitusi, MK harus memastikan bahwa setiap putusan yang diambilnya mencerminkan nilai-nilai hukum yang fundamental dan prinsip-prinsip keadilan.
Pertimbangan substansial menjadi kunci dalam memastikan bahwa putusan MK tidak hanya didasarkan pada pertimbangan politik atau kepentingan tertentu, tetapi juga mempertimbangkan aspek-aspek hukum yang relevan serta nilai-nilai keadilan yang diatur dalam konstitusi. Dengan demikian, MK dapat memastikan bahwa keadilan konstitusional tercapai dan integritas lembaga peradilan tetap terjaga.
Tanpa pertimbangan substansial yang memadai, risiko terjadinya putusan yang tidak adil atau tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum akan meningkat. Oleh karena itu, penting bagi MK untuk secara hati-hati mengevaluasi semua aspek yang relevan dalam setiap kasus yang dipertimbangkan, untuk memastikan bahwa keputusannya sesuai dengan konstitusi dan nilai-nilai keadilan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.
 Aspek Hukum dalam Pertimbangan Substansial
Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan interpretasi terhadap ketentuan-ketentuan konstitusi untuk memahami makna dan ruang lingkupnya berdasarkan kewenangan yang diberikan UUD 1945 Khususnya pada pasal 24C ayat 1. Interpretasi konstitusi ini menjadi landasan utama dalam pembuatan keputusan MK, namun proses ini melibatkan langkah-langkah yang cermat dan kompleks.
MK tidak hanya memeriksa teks konstitusi secara harfiah, tetapi juga mempertimbangkan tujuan dan nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi tersebut. Proses interpretasi ini mencakup pemahaman mendalam terhadap konteks sejarah, filosofis, dan sosial dari ketentuan-ketentuan konstitusi yang relevan.