Lavrov juga mengatakan bahwa kedua pihak tidak membahas sanksi AS terhadap Rusia. Tillerson juga mengatakan bahwa pertemuan itu telah sangat konstruktif untuk masa depan, pemerintah AS akan mencari peluang untuk bekerjasama dengan Rusia di sektor-sektor yang menguntungkan rakyat Amerika.
Tapi ada yang penuh trik dan sulit pada hari yang sama, Menhan baru AS--James Mattis juga menghadiri pertemuan para Menhan anggota NATO yang menyatakan bahwa AS tidak ada berniat terlibat dalam kerjasama militer dengan Rusia.
James Mattis mengatakan: “Saya pikir untuk Rusia, mereka harus mau hidup mematuhi hukum internasional, seperti yang kita harapkan bagi semua bangsa yang sudah dewasa di planet ini. Dan apa yang akan kita lakukan adalah kita akan terlibat politik, posisi kita sekarang tidak akan melakukan kolaborasi pada tingkat militer (dengan Rusia), tetapi pemimpin politik kita akan terlibat dan mencoba untuk menemukan kesamaan atau jalan ke depan dimana Rusia sampai mau hidup memenuhi komitmennya, setelah itu barulah mereka bisa kembali untuk bermitra dengan NATO. Tapi yang pertama Rusia harus membuktikan diri dan hidup sesuai dengan komitmen yang telah mereka buat dalam perjanjian Rusia-NATO.”
“The New York Times” menuliskan: “Sehari yang lalu, beberapa pejabat Rusia sedang minum sampanye untuk merayakan kemenangan Trump dalam pemilihan presiden, tapi kemarin rasanya manis telah menghilang, sepertinya suka cita akan perlahan-lahan diganti dengan kewaspadaan.”
Pada kenyataannya “gelombang anti-Rusia” yang kuat sudah melanda AS. Sebuah kapal mata-mata Rusia telah mengumpulkan informasi hanya dalam jarak puluhan mil dari pantai timur AS, jet tempur Rusia terbang mendekati kapal perang AS, dan NATO telah mulai mengerahkan militernya lebih lanjut.
Penasehat Keamanan Nasional AS – Flynn mengundurkan diri karena skandal “berbicara dengan musuh.” Tampaknya telah membuka katup mengeluarkan berbagai rasa ketakutan terhadap Rusia dan sentimen anti-Rusia yang terakumulasi salama “bulan madu” pendek antara AS dan Rusia.
Dalam opini publik AS, Rusia sekali lagi menjadi ancaman menakutkan bagi kemanan nasional. Dalam situasi demikian, kini nada Trump mulai berubah.
Pada 14 Pebruari, juru bicara Gedung Putih AS, saat Sean Spicer membahas isu Crimea pada konferensi pers mengatakan, Trump berharap untuk “bisa bergaul dengan Rusia” tapi untuk ke depan diharapkan Rusia mau “mengembalikan” Crimea kepada Ukraina.
Sean Spicer: “Presiden Trump dengan jelas mengharapkan pemerintah Rusia untuk meredahkan kekerasan di Ukraina dan mengembalikan Crimea.”
Beberapa jam kemudian, Trump mengatakan melalui twitternya : “Crimea diambil Rusia selama pemerintahan Obama. Apakah Obama terlalu lunak pada Rusia?” Selama kampanye, sikap Trump terhadap masalah Crimea bervariasi.