Pada 26 September lalu, Reuters – Inggris dan Buletin Manila masing-masing melaporkan bahwa Duterte mengatakan kepada wartawan hari itu di istana presiden, dia berencana mengunjungi Tiongkok untuk mengatasi masalah konflik maritim dan memperkuat hubungan bisnis belateral, serta mengunjungi Rusia untuk menghidupkan kembali perdagangan bilateral.
Duterte menyerukan : Aku berkata “Rusia, bawa penguasahamu” Anda mungkin memiliki sesuatu yang kita butuhkan. Saya akan mengadakan aliansi perdagangan dengan Rusia dan Tiongkok.
Duterte ingin menyeimbangkan yang tadinya terlalu ketergantungan pemerintahan terdahulu kepada AS, ada penagamat dan analis yang menyebutnya “strategi untuk menyeimbangkan Asia (Duterte)” Hal ini yang telah mendorong kebijakan AS “menyimbangkan Asia-Pasifik” dan Laut Tiongkok Selatan berada pada persimpangan jalan.
Analia dan pengamat melihat, saat ini, ada dua kekautan yang mendorong situasi Laut Tiongkok Selatan: Satu kekuatan yang mendorong isu Laut Tiongkok Selatan menuju titik mengentasan dan diskusi antara semua pihak . Dan kekuatan lain yang mendorong Laut Tiongkok Selatan menjadi isu-isu konflik-konflik hak maritim, dan ini ebenarnya adalah masalah hukum untuk dijadikan konflik geostrategis.
Belakang ini kita bisa melihat kapal perusak, kapal induk dan pesawat tempur dan sejenisnya sering muncul di kawasan ini, dan Jepang berkesempatan mengipasi api dengan mengatakan akan melakukan patroli bersama, mengadakan pelatihan dan latihan militer bersama di lokasi tersebut. Arus kekuatan ini yang mendorong situasi ke arah konflik geostrategis. Dan karena itulah kedua kekuatan ini saling mendorong dengan tajamnya.
Dengan Duterte yang rasional, kembali melakukan penyesuaian kebijakan luar negeri Filipina, beberapa analis Filipina telah menunjukkan bahwa ini akan menyebabkan reaksi berantai di kawasan Asia Tenggara, selanjutnya strategi AS untuk menekan Tiongkok juga akan menghadapi bahaya terurai atau menjadi mentah.
Dengan strategi AS untuk mengintevensi di Asia-Pasifik dan menekan Tiongkok dengan menggunakan hasil keputusan “arbitrase Laut Tiongkok Selatan” yang dimenangkan pemerintahan terdahulu Filipina, yang awalnya sepertinya akan bergerak telah dibuat usang dengan Duterte begitu menjabat sebagai presiden.
Meskipun Duterte tidak membantah penilaian yang dibuat arbitrase pada bulan Juli lalu, tapi tidak seperti pendahulunya dia jelas tidak mau memperlakukan ini sebagai prioritas utama bagi Filipina yang hanya untuk menghibur AS.
Sehari setelah putusan arbitrase dirilis, “World News” Filipina menerbitkan editorial pada 13 Juli 2016 dengan mengatakan, “pengadilan telah membuat penilaian ini benar-benar absurb, ini benar-benar telah membuat hal-hal akan menjadi kacau, dan menyerukan pelaku yang sebenarnya dibalik isu Laut Tiongkok Selatan --- adalah AS yang diibaratkan seperti cumi-cumi yang berharap melumpuri air di Laut Tiongkok Selatan.”
Sebagai salah satu pihak dalam pengadilan, respon pemerintahan baru Duterte dengan sendirinya menyebabkan “reaksi berantai.” Selama Petemuan Para Menlu ASEAN, ASEAN menolak AS dan negara-negara lain ikut campur tangan, dan tidak meng-agendakan arbitrase Laut Tiongkok Selatan dalam pertemuan.
Dua bulan kemudian pada KTT ASEAN, pernyataan ketua KTT juga tidak menyebutkan arbitrase Laut Tiongkok Selatan, dan menekankan untuk mempercepat pentingnya dan urgensi negosiasi untuk melaksanakan “Deklarasi tentang Perilaku Para Pihak di Laut Tiongkok Selatan.” (Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea).