“Mengapa aku mesti duduk di sini,
Sedang kau tepat di depanku?
Mestinya aku berdiri, berjalan ke depanmu. Kusapa,
Dan kunikmati wajahmu,
Atau kuisyaratkan cinta.
Tapi semua tak kulakukan.
Kata orang cinta mesti berkorban.”
Aku berhenti, beranjak ke samping piano memandangi Nuha yang gemetar. Ah, terakhir kali aku melihatnya demikian bertahun-tahun lalu ketika kereta api biadab itu hendak melibas dirinya.
“Apakah suaraku seburuk itu sampai kau mau bunuh diri untuk yang kedua kali?” Aku tersenyum hangat, tidak dengannya.
Nuha berlari dan mendekapku erat, seperti yang kulakukan dulu kepadanya. “Kenapa… kenapa baru sekarang…” Suaranya parau dan bergetar.
Baju putih yang kukenakan ini senada dengan gaunnya. Andai akulah yang di sampingnya, mengucap sumpah setia itu…
“Jangan sia-siakan hidupmu, karena aku telah mempertaruhkan segalaku untuk itu,” tandasku lembut. Aku merasakan seluruh tubuhku seperti terbakar, jari jemariku pun mulai tidak kasat mata. Nuha menyadarinya.
“Jangan pergi lagi, tolong…! Tinggallah bersamaku, Regi. Kita memulai semuanya dari awal…”
Aku merasakan hembusan napasnya yang tergesa. Penglihatanku perlahan mengabur.
“Barangkali di kehidupan selanjutnya, seperti katamu waktu itu.”
Tubuhku bersubstitusi menjadi bola-bola cahaya, mengelilingi Nuha yang terhempas ke depan, memeluk busana tidak bertuan. Ia jatuh, berpeluh, menangis sekencang-kencangnya.
“Aku tidak siap, Regi. Hidup tanpamu, untuk apa…?”