“Tolong. Jangan. Hidup cuma satu kali dan itu berharga—kamu berharga!”
Aku berbisik setengah teriak di hadapannya. Dia masih bergeming. Rambut hitam legamnya bergelombang tertiup desau angin. Jelas saja, dia tidak bisa melihatku.
Karena aku bukan manusia.
“Kalau kamu tidak bisa hidup untuk dirimu sendiri, setidaknya…” Aku menjeda, ada bagian dari tubuh ini yang rasanya nyeri entah di mana. “…hiduplah untukku.”
Sejauh mata memandang adalah warna hijau dari tumbuhan padi yang mulai merunduk. Deru mesin kereta api terdengar di kejauhan, rel dengan roda bersinggungan menimbulkan bunyi desing yang begitu nyaring. Aku panik, tetapi dia tampak tidak goyah sedikitpun.
“Aku tidak menyesal.” Ia tersenyum, matanya berlinang. “Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi, tak akan ada yang menangisi kepergianku. Hidup atau mati sungguh tak ada bedanya.”
Ia berbicara kepada langit, kepada burung, kepada dedaunan, kepada awan yang sebentar lagi mengabu. Ia yatim sejak lahir, tidak ada sanak saudara yang mau menampungnya. Besar di panti, kini tumbuh sebagai gadis remaja yang sangat cantik.
Tanpa dia memberitahu pun aku sudah tahu, karena aku sudah bersamanya bahkan sejak kedatangannya baru disambut oleh semesta. Itulah tugas malaikat penjaga.
“Bu, mereka bilang parasmu rupawan dan lemah lembut. Kata mereka juga, Ayah keras tetapi selalu membela yang lemah dan tertindas. Benarkah itu?” Ia menengadah. “Katanya, aku adalah perpaduan sempurna dari Ayah dan Ibu. Mereka tidak pernah menyimpan foto kalian berdua, karena itu aku pun tidak mengenali kalian. Hanya dari ‘katanya’, kata mereka…”
Kereta api melaju cepat, terlihat semakin nyata mendekat. Kedua tungkainya gemetar, ia memejamkan mata rapat-rapat.