Mohon tunggu...
Made Dike Julianitakasih I
Made Dike Julianitakasih I Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Made Dike Julianitakasih Ilyasa. Pegiat Komunitas Ruang Imajinasi Sastra IMM FAI UMY. Pernah Meraih Juara Penulisan Cerpen Pekan Seni Mahasiswa Tingkat Nasional (PEKSIMINAS) Kemdikbud

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Tembang Perpisahan

24 Mei 2023   10:09 Diperbarui: 9 Juni 2023   21:11 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar instagram @made_dikee

“Tolong. Jangan. Hidup cuma satu kali dan itu berharga—kamu berharga!”

Aku berbisik setengah teriak di hadapannya. Dia masih bergeming. Rambut hitam legamnya bergelombang tertiup desau angin. Jelas saja, dia tidak bisa melihatku.

Karena aku bukan manusia.

“Kalau kamu tidak bisa hidup untuk dirimu sendiri, setidaknya…” Aku menjeda, ada bagian dari tubuh ini yang rasanya nyeri entah di mana. “…hiduplah untukku.”

Sejauh mata memandang adalah warna hijau dari tumbuhan padi yang mulai merunduk. Deru mesin kereta api terdengar di kejauhan, rel dengan roda bersinggungan menimbulkan bunyi desing yang begitu nyaring. Aku panik, tetapi dia tampak tidak goyah sedikitpun.

“Aku tidak menyesal.” Ia tersenyum, matanya berlinang. “Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi, tak akan ada yang menangisi kepergianku. Hidup atau mati sungguh tak ada bedanya.”

Ia berbicara kepada langit, kepada burung, kepada dedaunan, kepada awan yang sebentar lagi mengabu. Ia yatim sejak lahir, tidak ada sanak saudara yang mau menampungnya. Besar di panti, kini tumbuh sebagai gadis remaja yang sangat cantik. 

Tanpa dia memberitahu pun aku sudah tahu, karena aku sudah bersamanya bahkan sejak kedatangannya baru disambut oleh semesta. Itulah tugas malaikat penjaga.

“Bu, mereka bilang parasmu rupawan dan lemah lembut. Kata mereka juga, Ayah keras tetapi selalu membela yang lemah dan tertindas. Benarkah itu?” Ia menengadah. “Katanya, aku adalah perpaduan sempurna dari Ayah dan Ibu. Mereka tidak pernah menyimpan foto kalian berdua, karena itu aku pun tidak mengenali kalian. Hanya dari ‘katanya’, kata mereka…”

Kereta api melaju cepat, terlihat semakin nyata mendekat. Kedua tungkainya gemetar, ia memejamkan mata rapat-rapat.

“Kita akan segera berte—”

“AWAS!”

Sontak aku mendekapnya kuat hingga terdorong jatuh. Pasir-pasir tanah beterbangan akibat tubuh kami yang terhempas. Setelah bertahun-tahun lamanya, aku baru merasakan sakit di sekujur tubuh. Aku mewujudkan diri.

Ia terbelalak. Sesaat sebelum tubuh ini menghilang, kami bersitatap.

***

“Tak ada pengampunan dari Tuhan. Perbuatanmu sungguh terlaknat.”

Aku menarik napas tertahan.

Sidang luar biasa digelar tidak lama berselang kejadian di pematang sawah. Bukan perkara sulit mengumpulkan para malaikat ke tempat ini dalam satu waktu. Kecepatan yang sama sekali tidak bisa ditakar oleh kemampuan manusia.

“Tuhan memberikan kuasa penuh kepada forum untuk menjatuhkan hukuman pada makhluk ini.” Ucap Tama selaku ketua sidang. Ia memandang rendah padaku, menyebut namaku pun ia tidak sudi. “Makhluk yang sudah tidak pantas disebut malaikat.”

Gadis itu seharusnya mati di rel, tetapi akulah yang menyelematkannya. Dan, mengubah takdir manusia memang merupakan pelanggaran berat. 

Tidak ada istilah kawan ketika terjadi hal seperti ini, seolah waktu yang telah kudedikasikan seluruh hidupku pada tugas mulia dari Tuhan bersama para malaikat lainnya tidak berarti.

“Saya serahkan kepada forum untuk memberikan opsi hukuman.”

Suasana sidang hening mencekam. Beberapa malaikat tampak berdiskusi, beberapa memandangku prihatin. Para malaikat mengisi tribun, melingkari sekelilingku yang berhadapan dengan pimpinan sidang.

Sesosok malaikat mengangkat tangan. Tama mempersilakan.

“Hidup seperti tidak hidup, mati tetapi tidak mati. Tidak ada hukuman yang lebih berat daripada itu.”

Ramai kasak-kusuk mematahkan sunyi. Aku tahu arah pembicaraan ini, dan aku juga tahu itu akan menyakitkan. Karena tidak lain maksudnya adalah…

“Regi harus hidup sebagai boneka, atau maneken. Memiliki kesadaran penuh, namun tidak punya kehendak.”

Dengan kata lain, nyawaku berada dalam benda mati. Apa lagi mimpi buruk yang lebih mengerikan dari itu? Rasanya bahkan mati sebagai manusia jauh lebih baik.

“Bukankah itu berarti ia masih hidup?” Tama menimpali. “Dan selama sesosok makhluk masih hidup, otomatis ia memiliki kehendak, keinginan. Itu sudah hukum semesta.”

“Jikapun Regi mempunyai kehendak dan memberi kuasa pada dirinya untuk mewujudkan keinginan tersebut, ia akan menghilang.”

“Maksudmu meninggal?”

“Lebih buruk.” Malaikat itu menatap Tama lurus-lurus. “Lenyap selama-lamanya dari semesta, seumpama dirinya tidak pernah ada. Dulu, sekarang, maupun nanti.”

***

Keputusan dalam sidang luar biasa itu mengantarkan nasibku pada bertahun-tahun menjelang.

“Aku baik-baik saja, tidak usah khawatir.” Ia tersenyum mendengar seseorang di seberang panggilan sana begitu mencemaskannya. “Semuanya berkat kamu.”

“Nuha, pernikahan kita tinggal besok dan kamu belum istirahat yang benar seminggu belakangan ini, rehatlah. Kalau memang besok tidak bisa sekalian launching busana juga tidak apa-apa, acara pernikahan kita saja sudah cukup meriah. Mau kubawakan sop kesukaanmu?” Suara laki-laki itu terdengar karena panggilan dalam mode loudspeaker.

Nuha menggeleng, meski tahu laki-laki itu tidak akan bisa melihatnya. “Aku sudah makan siang, baru saja.” Ia memandang meja makan yang sejak kemarin bersih. “Vio, sudahlah. Aku bisa mengurus diriku sendiri.”

Sepi sejenak diantara mereka.

“Mungkin aku juga terlalu kepikiran karena besok. Maafkan aku,” kata Vio pelan. “Jaga dirimu baik-baik.”

Panggilan berakhir. Nuha menghela napas. Lingkar hitam menghiasi kedua matanya yang cekung karena kelelahan. Ia mendekatiku, air mukanya tampak senang dan puas.

“Besok adalah perayaan semesta,” ujar Nuha sumringah sembari menatapku. Tidak kusangka gadis yang dulu hendak bunuh diri di rel kereta api, kini sudah menjadi wanita dewasa seutuhnya yang siap membuat lembaran baru dalam hidup. 

Sepanjang hari ini kulihat senyum merekah di bibirnya yang ranum. Kostum kasual pria yang kupakai sekarang akan dipamerkan besok pada hari pernikahannya, didesain dan dibuat sendiri oleh Nuha. 

Dia bilang belum pernah ada yang melakukan itu. Nuha ingin membuat pernikahannya berbeda, spektakuler, dan tidak terlupakan oleh orang-orang yang nanti hadir di sana. Kudengar begitu ketika Vio bertandang ke sini mendiskusikan rencana pernikahan mereka

Nuha menyentuh setiap jengkal busana yang kukenakan, memastikan tidak ada cacat. Rasanya aneh sekaligus rindu.

“Entah mengapa, aku merasa kamu itu sebenarnya hidup.” Senyumnya sirna, sorot matanya menggelap. Sentuhannya berakhir dengan menggenggam tanganku yang kaku. “Sejak kamu di sini, aku tidak pernah merasa sendiri.”

Kamu benar. Aku memang hidup. Kata-kata itu menggema dalam diri, tetapi tidak bisa keluar. Aku tidak kuasa menyuarakannya.

Nuha menyandarkan kepalanya di pundakku. “Kalau saja benar ada kehidupan selanjutnya, aku ingin kita bertemu lagi. Barangkali sebagai sepasang merpati yang mendendangkan nyanyian asmara di pucuk pohon cemara, atau sepasang anyelir yang mekar bersama lantas layu karena hama. Romantis, bukan?” Ia tertawa pelan, tetapi aku merasakan basah di pundak.

“Terima kasih… Regisa.”

Nuha berbisik sebelum melepaskan diri dariku, kemudian melenggang pergi ke kamar.

**

Orang-orang berbusana modis dan necis silih berganti mengisi keramaian di ballroom hotel.  Mereka adalah para konglomerat yang mungkin tidak pernah menginjakkan kaki di angkringan seumur hidupnya. 

Tamu undangan berseling menghiraukanku yang dipajang di samping piano, ekspresi mereka menunjukkan antusiasme yang menakjubkan. Boleh jadi mereka lebih menantikan launching busana yang kukenakan daripada acara pernikahan itu sendiri.

Kulihat rona Nuha berseri-seri. Untuk pertama kalinya, ia memanggil namaku kemarin. Bertahun-tahun silam seusai diputuskan hukuman untukku, Tama yang berganti wujud menjadi manusia mengantarkan maneken ke rumah Nuha. Maneken itu tidak lain adalah aku. 

“Sebagai hadiah sekaligus ucapan selamat atas pameran busana Anda yang sukses digelar di Men’s Fashion Week,” ujarnya tulus, kemudian menyerahkanku begitu saja kepada Nuha yang tertegun. 

“Namanya Regisa, jikalau Anda ingin mengetahuinya.” Tama pun pergi. Nuha, meski kebingungan, membawaku ke dalam rumah. Menjadikanku model busana yang ia kerjakan sendiri desain dan produknya selama bertahun-tahun. Hingga detik ini.

Sepasang calon suami istri di muka panggung itu memikat perhatian seisi ruangan dengan cara yang mengagumkan. Sesekali Vio membisikkan sesuatu, kemudian Nuha tertawa anggun. Pembawa acara meminta hadirin agar mengikuti rangkaian acara dengan kondusif. Sumpah setia itu hendak diikrarkan.

“Saya, Viode Gumelar, menerima engkau, Nuha Kinwara, sebagai istri satu-satunya yang sah. Saya berjanji akan mengasihimu, baik dalam keadaan suka maupun duka, kaya maupun miskin, sehat maupun sakit, sampai maut memisahkan kita. Saya berjanji bahwa segala milikku adalah milikmu juga.”

Nuha memandang Vio lekat-lekat. Giliran Nuha yang bersumpah, namun ia masih mematung. Sebersit perasaan tidak ikhlas menghampiri diri ini. Kalau sumpah itu sampai terucap juga oleh Nuha, aku... Aku tidak tahu akan bagaimana jadinya.

Nuha tampak memantapkan dirinya. “Saya, Nuha Kinwara, menerima engkau, Viode Gumelar, sebagai suami satu-satunya yang sah. 

Saya berjanji akan mengasihimu, baik dalam keadaan suka maupun duka, kaya maupun miskin, sehat maupun sakit, sampai maut memisahkan kita. Saya berjanji bahwa segala milikku adalah milikmu juga.”

Tepuk tangan dan sorak sorai hadirin menggenapi kebahagiaan sepasang suami istri tersebut yang kini telah sah, tidak ada seorangpun yang mempedulikanku. 

Semuanya bersukacita tanpa tahu ada bagian dari diri ini yang teriris. Aku yang telah menariknya dari garis takdir yang keji, aku yang menjalani hidup seperti orang mati, dan aku juga yang ditinggalkan pergi.

Meski sejak awal kita tidak pernah bersama seutuhnya, tidakkah kau tahu bahwa akulah yang paling mengasihimu, bahkan jauh sebelum kau mengenal dunia?

Tidak luput lagi, keinginan dahsyat itu menguasai diriku—meledakkan energi besar yang mengguncang seisi ruangan. Para manusia itu berlarian bagai puing-puing, kecuali Nuha. Ia susah payah menopang dirinya sendiri supaya tetap bertahan di tempat, menatapku tidak percaya.

Aku telah mewujudkan diri, melangkah dengan tenang menuju piano. Jari jemari ini mulai menekan tuts-tuts, menghasilkan irama yang menenangkan jiwa. Beberapa kali kulihat dan kudengar Nuha melantunkan tembang ini sembari bekerja.

“Mengapa aku mesti duduk di sini,
Sedang kau tepat di depanku?
Mestinya aku berdiri, berjalan ke depanmu. Kusapa,
Dan kunikmati wajahmu,
Atau kuisyaratkan cinta.
Tapi semua tak kulakukan.
Kata orang cinta mesti berkorban.”

Aku berhenti, beranjak ke samping piano memandangi Nuha yang gemetar. Ah, terakhir kali aku melihatnya demikian bertahun-tahun lalu ketika kereta api biadab itu hendak melibas dirinya.

“Apakah suaraku seburuk itu sampai kau mau bunuh diri untuk yang kedua kali?” Aku tersenyum hangat, tidak dengannya.

Nuha berlari dan mendekapku erat, seperti yang kulakukan dulu kepadanya. “Kenapa… kenapa baru sekarang…” Suaranya parau dan bergetar.

Baju putih yang kukenakan ini senada dengan gaunnya. Andai akulah yang di sampingnya, mengucap sumpah setia itu…

“Jangan sia-siakan hidupmu, karena aku telah mempertaruhkan segalaku untuk itu,” tandasku lembut. Aku merasakan seluruh tubuhku seperti terbakar, jari jemariku pun mulai tidak kasat mata. Nuha menyadarinya.

“Jangan pergi lagi, tolong…! Tinggallah bersamaku, Regi. Kita memulai semuanya dari awal…”

Aku merasakan hembusan napasnya yang tergesa. Penglihatanku perlahan mengabur.

“Barangkali di kehidupan selanjutnya, seperti katamu waktu itu.”

Tubuhku bersubstitusi menjadi bola-bola cahaya, mengelilingi Nuha yang terhempas ke depan, memeluk busana tidak bertuan. Ia jatuh, berpeluh, menangis sekencang-kencangnya.

“Aku tidak siap, Regi. Hidup tanpamu, untuk apa…?”

Kalimat itulah yang kudengar sebelum benar-benar menghilang dari semesta. Sungguh menyesakkan harus melihatmu seperti itu di saat-saat terakhirku. Andai, andai waktu itu aku tidak menyelamatkanmu, mungkin… kita bisa bertemu meski bukan sebagai manusia dan malaikat penjaga.

***

Disclaimer: Lirik lagu “Lagu untuk Sebuah Nama” dipopulerkan oleh Ebiet G. Ade

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun