***
Keputusan dalam sidang luar biasa itu mengantarkan nasibku pada bertahun-tahun menjelang.
“Aku baik-baik saja, tidak usah khawatir.” Ia tersenyum mendengar seseorang di seberang panggilan sana begitu mencemaskannya. “Semuanya berkat kamu.”
“Nuha, pernikahan kita tinggal besok dan kamu belum istirahat yang benar seminggu belakangan ini, rehatlah. Kalau memang besok tidak bisa sekalian launching busana juga tidak apa-apa, acara pernikahan kita saja sudah cukup meriah. Mau kubawakan sop kesukaanmu?” Suara laki-laki itu terdengar karena panggilan dalam mode loudspeaker.
Nuha menggeleng, meski tahu laki-laki itu tidak akan bisa melihatnya. “Aku sudah makan siang, baru saja.” Ia memandang meja makan yang sejak kemarin bersih. “Vio, sudahlah. Aku bisa mengurus diriku sendiri.”
Sepi sejenak diantara mereka.
“Mungkin aku juga terlalu kepikiran karena besok. Maafkan aku,” kata Vio pelan. “Jaga dirimu baik-baik.”
Panggilan berakhir. Nuha menghela napas. Lingkar hitam menghiasi kedua matanya yang cekung karena kelelahan. Ia mendekatiku, air mukanya tampak senang dan puas.
“Besok adalah perayaan semesta,” ujar Nuha sumringah sembari menatapku. Tidak kusangka gadis yang dulu hendak bunuh diri di rel kereta api, kini sudah menjadi wanita dewasa seutuhnya yang siap membuat lembaran baru dalam hidup.
Sepanjang hari ini kulihat senyum merekah di bibirnya yang ranum. Kostum kasual pria yang kupakai sekarang akan dipamerkan besok pada hari pernikahannya, didesain dan dibuat sendiri oleh Nuha.
Dia bilang belum pernah ada yang melakukan itu. Nuha ingin membuat pernikahannya berbeda, spektakuler, dan tidak terlupakan oleh orang-orang yang nanti hadir di sana. Kudengar begitu ketika Vio bertandang ke sini mendiskusikan rencana pernikahan mereka