Cerpen "Pertanda Higanbana"
"Brengsek! Mati kamu! Gara-gara kamu, Bapak ninggalin Ibu! DASAR ANAK HARAM!"Â
"Ampun, Bu...!"Â Maafkan Ilona. "Ilona salah. Ilona sayang Ibu, tolong jangan pergi..."Â Jangan tinggalkan Ilona sendiri.
"Seharusnya dulu kugugurkan saja...," Ibu menceracau. "Kenapa jadi begini..."
Palu di tangan Ibu melibas kepala Ilona, kuat dan cepat. Gadis belia itu tidak sempat melawan. Boneka beruang mungil terlepas dari genggaman. Likuid kental berbau amis pekat meriak keluar dari ubun-ubun, menyaput warna lantai kamar mandi.
Seringai lebar tersungging di bibir pucat Ibu, ia gemetar hebat. "Memang, seharusnya seperti ini..."
**
Atha terperanjat saat Arga menepuk pelan pundaknya.
"Lu kenapa?"
Atha mengusap wajah. "Sori, gue..." ia terdiam sejenak. "Lu tadi ngomong apa?"
"Capek banget, 'kan, lu? Pulang aja, lah. Baru hari pertama masuk kantor juga, udah ngelembur."
"Tinggal cari bahan untuk headline besok, kok. Sebentar lagi habis itu langsung cabut."
"Iya, deh, iya. Our one-man-show prince," cibir Arga. Ia melirik laci meja kerja Atha yang setengah terbuka. Sticky notes warna-warni menempel di berbagai bingkisan bermotif. "Buset, lu dapat ini semua dari para karyawan cewek?"
Atha mengedikkan bahu. "Mungkin? Gue belum ngecek. Kirain emang udah ada di laci dari sebelum gue di sini."
"Enggak, lah. Parah lu." Arga berdecak kagum. "By the way, lu kenapa enggak jadi model aja, sih? Atau artis gitu. Malah jadi kuli tinta di kantor baru kayak begini pula. Padahal lu bisa mandi uang dengan modal tampang doang," tandas Arga gemas.
"Stop, deh. Jangan berlebihan."
"Ya udah, gue cabut duluan." Arga mengambil satu bingkisan dari laci. "Jangan lama-lama. Tinggal lu yang masih di sini."
Atha menggumam sebagai jawaban.
Koran-koran dari pelbagai redaksi menumpuk di hadapannya. Ia lanjut menyortir satu per satu sesuai kategori.
"Edisi Kamis tanggal lima belas... Jum'at enam belas... oke, sip."
Selesai, Atha menghempaskan diri di sofa. Hanya terdengar bunyi detik jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan. Segera ia beranjak ke depan komputer, membuka notepad untuk menyiapkan bahan berita besok.
Dering ponsel memekik nyaring. Atha tersentak, seolah nyawanya nyaris melesat ke surga saat itu juga. "Halo?"
"Athaya, ini saya. Untuk headline tolong dikonsep materinya tentang kriminalitas. Nanti bisa diolah dari hasil wawancara Bu Sena, atau kalau kesulitan dari dokumen-dokumen di Pusdalitbang juga boleh."
"Baik, Pak Deni." Atha menyahut cepat. "Ruang Pusdalitbang di mana, ya?"
"Lantai lima. Nanti minta tolong Mbak Irma saja untuk carikan dokumen sekitar tiga puluhan tahun yang lalu berkaitan dengan kriminalitas. Kalau tidak salah, ya. Tiga puluhan tahun yang lalu."
"Siap, Pak," jawab Atha tanggap. Pak Deni mengucap terima kasih setelahnya.
Atha melangkah menuju lift. Dua lantai ke atas dan sampailah ia di Pusdalitbang. "Pusat Data Penelitian dan Pengembangan...," gumamnya, sebelum kemudian mendorong pintu ruangan tersebut. "Dikunci."
Tentu saja. Ini, 'kan, sudah lewat jam pulang. Ia membatin. "Lanjut besok, deh." Lantas memutuskan kembali ke ruang redaksi.
Atha pun duduk di depan komputer, bersiap menutup beberapa laman. Mendadak jari jemarinya terhenti kala menatap notepad. Matanya mengerjap untuk memastikan pandangannya tidak keliru.
Tolong aku.
Atha mendesah pelan.
"Not again..."
Ia menekan tombol silang di ujung kanan.
Do you want to save changes to Untitled?
Don't Save
"Aku tahu kamu bisa melihatku."
Atha mematikan komputer, mengemas barang-barang untuk dibawa pulang. Seketika lampu ruang redaksi meredup-menyala dengan tempo cepat, hawa dingin menggelitik tengkuk sampai pundaknya. Ia bergegas menuju pintu keluar.
Terkunci.
"Ibu membenciku?"
Atha menoleh dengan berat hati. Gadis belia itu menatap sendu. Kepalanya miring, wajah hancur dan koreng di sekujur tubuh. Pemandangan menyedihkan seperti itu bukan yang kali pertama, tetapi bukan berarti Atha sudah terbiasa.
"Aku tidak tahu," balas Atha singkat. "Maaf, aku tidak bisa membantu."
Berurusan dengan arwah yang tidak tenang selalu merepotkan. Atha ingin segera pulang dan istirahat.
"Ibu kasih Bebi buat Ilona, tapi Ilona enggak tahu Bebi di mana. Bebi... satu-satunya yang Ilona punya. Kalau Kakak tidak mau bantu..." Ilona menjeda.
Kedua tungkai Atha melemas. Perasaan Ilona merasuk batinnya dengan paksa, ia nyaris kehilangan kesadaran. Gadis itu hendak mengambil alih tubuhnya.
"Aku akan coba cari," sahut Atha cepat. Tapi tidak janji.
Ilona menghentikan niatnya, bergeming. Tiba-tiba terdengar suara kunci pintu terbuka.
**
Â
"Boneka beruang? Punya kamu? Hilangnya kapan?"
"Iya, punya saya. Hilangnya...," Atha termangu. "...beberapa tahun yang lalu, sepertinya sudah agak lama."
"'Kan, kamu baru hari ini kerja di sini?"
Atha gelagapan. "Dulu saya pernah ke sini, tapi sudah banyak sekali yang berubah. Jadi kurang yakin juga."
Pak Satpam termenung.
"Kalau barang-barang dari bangunan sebelumnya mungkin udah enggak ada, Dik. Kantor ini, 'kan, baru beroperasi dua tahun belakangan, ya. Sebelum itu enggak ada yang nempati lama sekali, bertahun-tahun."
"Dulunya ini tempat apa, Pak?"
"Dengar dari orang-orang di sekitar, sih, rumah satu keluarga. Tapi lama sekali itu, ada mungkin tiga puluh empat sampai tiga puluh enam tahun yang lalu."
"Kenapa lama kosong, Pak?"
"Nah, itu saya juga kurang tahu persis. Hanya dengar katanya pernah ada kejadian mengenaskan, begitu. Tetapi pastinya apa, saya tidak tahu. Mereka enggan membicarakannya." Pak Satpam teringat sesuatu. "Dik, kamu tadi cari boneka, bukan? Coba saja cari di gudang, sebelah kamar mandi basement. Kalau enggak salah ingat pernah ada yang beres-beres gudang, banyak barang yang enggak dipakai lalu dibuang. Besoknya, orang ini, yang bersihkan gudang, mau ambil sesuatu di sana. Ternyata..." Pak Satpam menghentikan ucapannya sesaat. "...boneka itu ada lagi."
"Apa memang boneka beruang, saya lupa-lupa ingat. Barangkali itu yang Adik cari," lanjut Pak Satpam, melirik basement yang lenyap ditelan gelap. "Besok saja lagi, Dik."
"Terima kasih banyak, Pak. Saya cari sekarang saja, besok kayaknya enggak akan sempat." Atha tersenyum sekilas. Berjalan menuju basement sembari menyalakan senter ponsel. Pak Satpam memandang cemas dari kejauhan.
Atha membuka pintu gudang. Tidak membutuhkan waktu lama baginya untuk menemukan boneka beruang yang terletak di kursi sudut ruangan. Sablon tulisan 'Bebi' terpatri di baju boneka tersebut, berdebu seolah tidak pernah tersentuh barang seujung kuku.
Sekeluarnya dari gudang, Atha menyorot cahaya ponsel ke kamar mandi sebentar. Ia langsung bisa merasakan atmosfer kejadian ganjil yang pernah terjadi di sana. Dan, kejadian itulah yang ia lihat sebelum Arga menepuk pundaknya.
Sosok wanita dalam kejadian tersebut, meski sayup-sayup, seperti tidak asing bagi Atha.
**
Â
"Larut sekali pulangnya, Nak." Sesosok wanita menyambut kedatangan Atha. Usia senja tidak menyurutkan kecantikan rupanya di masa muda.
"Iya, Ma. Langsung dikasih tugas liputan. Seharian persiapan untuk besok."
"Jangan terlalu rajin, nanti cepat keriput kayak Mama, lho." Mama menahan tawa. "Minum dulu tehnya." Atha menurut.
Mama duduk di seberang meja makan, mengamati anak lelaki satu-satunya itu dengan saksama. Kemudian tersenyum hangat. "Kamu ini kucel aja ganteng tapi, kok, belum punya pacar satupun."
Atha tidak mengindahkan pertanyaan retoris Mama. "Bumbu nasi gorengnya di tas."
Mama menggeleng heran, beranjak menuju tas Atha.
Seketika ia terpaku.
"Kamu dapat ini dari mana?" tanya Mama, suaranya bergetar.
"Aku beli di tempat biasa." Atha menoleh. Mama tengah menggenggam Bebi. "Oh, itu. Dari gudang di kantor."
"Enggak beres kantormu itu. Mama, 'kan, udah bilang enggak usah melamar di sana." Raut wajah Mama menegang.
"Kenapa, memang?"
"Pokoknya jangan terlibat lagi sama kantor itu, dan apapun yang ada di sana." Mama masih menjaga intonasinya agar tetap tenang.
"Karena Ilona?" Tiba-tiba saja nama itu meluncur dari benak dan bibir Atha. Sekonyong-konyong tamparan keras mendarat di pipinya.
"JANGAN PERNAH SEBUT NAMA ITU LAGI!"
Atha tercengang. Belum mengerti situasi yang sebenarnya.
"Setelah bertahun-tahun, Mama melupakan semuanya... Memulai hidup yang baru. Tapi kamu, KAMU! Kenapa menyinggung dia lagi?!"
Mama melempar barang-barang di dekatnya ke arah Atha. Pecahan cangkir teh mengenai pelipis pemuda tersebut. Wanita tua itu berangasan layaknya orang kerasukan.
"Memulai hidup yang baru?" Atha mulai menangkap maksud Mama, ia menggeleng keras. Enggak mungkin.
"Bapak mencampakkan Mama karena anak haram itu lahir! Mana bisa Mama memaafkannya? Dia pantas mendapatkan itu semua!"
Atha menatap Mama tidak percaya. "Bagaimana bisa Mama berpikir begitu?"
Wanita itu tertawa getir. "Sungguh memuakkan, mendengar namanya disebut lagi setelah tahun-tahun yang sulit kulalui sendiri..."
"Mama bisa saja memulai hidup baru sewaktu-waktu, seperti yang Mama bilang barusan. Tapi Ilona?" Atha terguncang, intonasinya meninggi. "Hidup sudah berakhir bagi dia. Enggak ada artinya lagi."
"Cukup..."
"Ilona masih di sana, di tempat terakhir kali Mama melihatnya membuka mata. Baginya, waktu enggak beranjak maju ataupun mundur. Ia terjebak masa lalu, bertanya-tanya seumur hidupnya: apa Ibu membenci Ilona?" Mengapa Mama memukul Ilona? Padahal, Ilona menyayangi Mama seutuh napasnya. Hati Atha nyeri mengingat insiden kematian gadis belia tersebut.
"CUKUP!"
Mama menampar Atha untuk yang kedua kali. Atha tidak melawan. Apa yang dirasakan Ilona berpuluh tahun silam jauh lebih menyakitkan.
Perdebatan sengit antara Mama dan Atha membuat mereka baru menyadari keberadaan seseorang di muka pintu depan.
"Papa?"
**
Â
Sekelompok orang tengah kasak-kusuk membicarakan berita yang menggemparkan seisi kantor.
"Ingat, enggak? Bulan lalu Wara dipanggil ke ruang Pak Sutan. Dia bilang di meja Bapak ada bunga warna merah, baru lihat yang jenisnya kayak begitu. Sedikit mirip bunga bakung."
"Iya, bener! Persis yang dibilang Yanti minggu kemarin setelah dipanggil Bapak ke ruangan beliau."
"Kebetulan aja, enggak, sih?"
"Enggak mungkin kebetulan! Kok, bisa setiap ada yang cerita habis ke ruangan Bapak terus lihat bunga itu, langsung yang bersangkutan meninggal? Dulu Wara, sekarang Yanti. Malah sebelum Wara pernah juga beberapa karyawan meninggal, 'kan? Dan mesti kejadiannya setelah lihat bunga itu di meja Bapak."
Percakapan menghebohkan itu ditutup dengan kesunyian. Semua orang saling berpandangan. Tidak berani menyimpulkan kebenaran lebih lanjut. Kebenaran yang membawa malapetaka.
**
Â
"Kematian Ilona dan Meningkatnya Kasus Kehamilan di Luar Pernikahan..."
Atha tersadar dari lamunannya.
Lelaki paruh baya di hadapan Atha mengangguk-angguk sembari membaca portofolio. "Headline ini sangat bagus untuk anda yang notabene baru pertama kali membuat di koran lokal. Kantornya di Jakarta, bukan? Dan, ini headline anda yang pertama sekaligus terakhir di sana?" Lelaki itu tertawa pelan. "Kenapa?"
Atha tersenyum canggung. "Saya harus mendampingi ibu, saat ini sedang dirawat di RSJ Grhasia. Jadi sekalian pindah tempat tinggal dan kerja di sini."
"Oh, begitu..." Lelaki itu mengerutkan kening tanda prihatin. "Di sini tinggal dengan ayah?"
"Tidak, saya sendiri. Ayah masih di Jakarta karena urusan pekerjaan."
Lelaki itu mengangkat bahu. "Baiklah, minggu depan anda sudah boleh masuk kerja. Soal gaji, saya hanya bisa menjanjikan sesuai UMR di sini, bagaimana?"
"Tidak masalah, Pak." Atha merespons antusias.
Lelaki itu tersenyum puas. Ia mengambil beberapa tangkai kembang dari lemari, kemudian menaruhnya di vas meja kerja. Kehadiran kembang itu mencuri perhatian Atha.
"Suka?" tanya lelaki paruh baya tersebut.
"Aromanya unik."
"Ya, 'kan? Di Jepang, bunga ini disebut higanbana."
Atha menajamkan penglihatannya. "Bentuknya seperti laba-laba."
Lelaki di hadapannya tergelak. "Benar sekali. Karena itu, nama lainnya adalah red spider lily."
Untuk sesaat, memori Atha mengalami kilas balik ke waktu di mana terakhir kali dirinya bertemu dengan Ilona. Permintaan terakhir gadis itu sudah lunas. Semua orang harus tahu kenyataan di balik misteri kematiannya. Hanya itu yang bisa dilakukan Atha untuk Ilona sebagai saudara kandung seibu satu-satunya. Setelah insiden di malam seluruh rahasia terungkap, Mama terus mencerocos tentang Ilona sampai pada tahap tidak wajar. Papa pun memutuskan untuk memindahkan Mama ke Yogyakarta, didampingi Atha.
"Anda boleh meninggalkan ruangan ini, jika masih ada aktivitas lain." Lelaki tersebut mempersilakan secara halus. "Astaga, saya malah belum memperkenalkan diri, ya?"
Atha menyambut uluran tangan lelaki itu.
"Perkenalkan, saya Sutan Wisaksono. HRD di sini." Pak Sutan tersenyum lebar.
***
MDJI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H